The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SINAR HARAPAN


SINAR HARAPAN, Senin, 12 Desember 2005

Belenggu Perempuan Buru dalam Kawin Piara

Oleh Emmy Kuswandari

JAKARTA – Anak perempuan Pulau Buru adalah korban. Di hadapan tradisi, mereka harus pasrah dipinang dalam usia belia, enam tahun atau bahkan saat masih dalam kandungan oleh lelaki dewasa yang sedang mencari istri. Dalam kebiasaan masyarakat Buru, ketika pinangan sudah dilakukan, sang anak dilarang untuk sekolah lagi.

Istilah setempat mengatakan "kawin piara". Anak yang sudah dipinang dipelihara sampai dirasa siap untuk menjadi ibu dan mengurus rumah tangga.

Sebut saja Lusia Latun. Di usia yang sudah senja tersebut bertutur, ia dipinang ketika usia enam tahun. Ayahnya pernah mendaftarkannya ke sekoah, tapi usaha tersebut terpaksa dibatalkan karena Lusi dilarang sekolah oleh keluarga calon mertuanya.

Lusi dipinang oleh Agus Hukunala menjadi istri ketiga sebagai pengganti kakak perempuan Agus Hukunala. Kakak perempuan Agus sendiri dijadikan istri kedua oleh sang ayah. Singkatnya, Lusi dipertukarkan oleh sang ayah. Dalam kebiasaan masyarakat Buru, perempuan bisa dipertukarkan bahkan diteruskan pada lelaki lain dalam satu keluarga jika suaminya telah meninggal.

Mama Lusi, demikian ia dipanggil ketika sudah menikah dengan Agus, dikarunia delapan anak. Ia berharap tidak ada lagi anaknya yang bernasib sama seperti dirinya. Namun sayang, anaknya nomor lima Ince Hukunala mengalami nasib yang sama. Gadis kecilnya tersebut pada saat tahun pertama ia menginjakkan kaki di sekolahnya.

Ince dipinangkan oleh ayahnya dengan Roby Wael, anak lelaki dusun tetangga yang baru duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Mama Lusi tidak bisa menolak. Pinangan tersebut untuk membuat tali persaudaraan kedua keluarga tersebut lebih erat.

Sama seperti mamanya dulu, Ince hanya bisa bermain di seputar rumah, menunggu Roby selesai sekolah dan menikah pada saatnya nanti. Menjadi seorang istri, melahirkan, merawat anak, memasak, ke kebun hingga ke ladang. Bekerja dari matahari terbit hingga larut malam.

Pinangan tersebut, secara adat Buru, keluarga Ince menerima uang sebesar Rp 4 juta dengan 500 jenis harta benda seperti piring, gelas, tifa, gong, tombak, dan lainnya. Itulah harga Ince.

Harta dan Perempuan

Tradisi kawin piara ini hingga kini masih ada. Perkawinan ini melibatkan harta untuk dipertukarkan dengan perempuan. Jumlah uang berkisar Rp 100.000 hingga yang tertinggi Rp 25 juta. Harta benda mencakup barang pecah belah, barang-barang dapur, kain putih yang semuanya bisa berjumlah 100–500 buah. Urusan harta ini ditentukan oleh orang tua perempuan dan diketahui kepala soa (kepala marga).

Mama Lusi dan Ince hanyalah sepenggal kisah nyata yang terangkum dalam buku Seribu Impian Perempuan Buru, Kisah-kisah Pergulatan Dalam Masalah Pendidikan yang oleh Jesuit Refugee Centre (JRS) yang sudah 25 tahun mendampingi pengungsi di berbagai tempat di Indonesia.

Buku ini lahir dari pengalaman dan pertemanan mendalam pekerja lapangan JRS dengan pengungsi korban konflik di Buru dan Maluku pada tahun 2000. Kisah-kisah yang tertuang merupakan kisah yang luar biasa. Buku ini berkisah tentang suara penduduk asli Buru dan derita perempuan Buru yang tidak pernah terekspos keluar.

Buru, bagi sebagian besar ! orang, terkenal sebagai tempat tahanan politik kisaran tahun 1969-1979. Setelah masa pembuangan tapol berakhir, pemerintah menempatkan transmigran di unit-unit bekas barak tapol. Pulau Buru atau oleh penduduk asli disebut Fuka Bupolo ini ternyata masih merentang kepiluan yang panjang.

Simak misalnya kisah Ibu Nana atau yang bernama lengkap Sisilia Latbual, guru SD Darurat Wambasalahin Pulau Buru yang datang pada acara peluncuran buku akhir pekan lalu di Jakarta. Ia salah seorang perempuan yang beruntung bisa mengenyam pendidikan hingga Sekolah Keterampilan dan Kepandaian Putri (SKKP) dan mendapatkan kesempatan mengajar di sebuah SMP di Buru Selatan.

Sayang, kesempatan itu ia tolak. Ia memilih mengajar Paket A bagi anak-anak di sekolah darurat, 50 kilometer dari Kota Namlea.

Ketika konflik pecah tahun 1999, ia membantu mengobati para pengungsi. Hatinya tergerak melihat kondisi pendidikan ana! k-anak yang telantar di pengungsian yang tersebar di ketel–ketel (tempat penyulingan minyak kayu putih).

Ketel yang satu dengan yang lain terpisahkan oleh jarak berkilo-kilo dengan medan berat yang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Naik turun lereng bukit, tanaman coklat, udara panas dan serbuan nyamuk saat gelap. Pagi ia mengajar, malam harinya sibuk mengumpulkan daun-daun kayu putih di sekitar ketel tempatnya mengajar untuk menyambung hidup.

Pergulatan Ibu Nana terhadap anak-anak tidak hanya terjadi selama mengajar, tetapi juga perjuangannya bagi anak-anak yang tereksploitasi oleh tradisi lokal. Sebagai penduduk asli Pulau Buru yang sempat mengenyam pendidikan di luar Pulau Buru, ia melihat hal ini sebagai pemasungan terhadap kebebasan anak.

Tak jarang, anak didiknya yang baru duduk di bangku kelas satu dijemput orang tuanya untuk dipinangkan dengan lelaki dewasa. Itulah yang membuatny! a bersikap keras terhadap orang tua ketika dia mengajar program Paket A.

Dosen Studi Feminisme dan Filsafat Kontemporer Universitas Indonesia Gadis Arivia mengatakan seringkali argumen kultural digunakan untuk menegaskan kekerasan terhadap perempuan. Dengan mengatasnamakan kultur, perempuan didomestifikasi, tidak ditingkatkan pendidikannya, diatur dalam bertindak, berpakaian bahkan hak-hak reproduksi ditentukan bukan oleh dirinya sendiri.

Negara, menurut Gadis, ikut mendukung institusi-institusi yang memojokkan dan menegakkan argumen kultural dengan motif-motif tertentu seperti mengontrol kehidupan perempuan.

Kode-kode Rahasia

Kisah perempuan Pulau Buru ini barangkali terlalu klasik dan kuno untuk dunia yang sedang bergerak cepat. Mencermati kisah-kisah perempuan Buru ini menurut Bambang Sipayung, mantan Project Director JRS Maluku, kita justru menemuka! n kecerdasan subjek yang tanpa ragu dalam persilangan budaya dan sosial yang membingungkan. Ada rahasia tentang bagaimana mereka bertahan, beradaptasi, dan berdiplomasi dengan kekuatan-kekuatan sosial yang mengitarinya tanpa ia harus mengubah ketegangan dan konflik menjadi suatu bentuk-bentuk kekerasan yang menghancurkan kehidupan bersama. Kode-kode rahasia untuk mempertahankan kesucian hidup tanpa terjebak menjadi penghancur kehidupan atas nama alasan yang paling suci sekalipun.

Diangkatnya kisah pergulatan perempuan Buru merupakan suatu langkah untuk menemukan kode-kode rahasia dari suatu masyarakat, dari suatu budaya dan dari para perempuan Buru. n

Copyright © Sinar Harapan 2003
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/haroekoe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044