SINAR HARAPAN, Senin, 14 November 2005
Bersama Kababinkam ke Sulteng (1)
Di Poso, Polisi Pun Terteror
Oleh Kristanto Hartadi
Pengantar: Selama tiga hari (6-8 November) wartawan SH ikut dalam rombongan
Kababinkam Mabes Polri ke Pali dan Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), sebagai
persiapan memperbaiki pola operasi polisi di sana. Laporan perjalanan tersebut
dimuat hari ini dan besok.
Poso – Lapangan terbang Kasigancu, pintu gerbang ke kota Poso, tampak lengang.
Tak terlihat petugas di terminal. Ruangan milik maskapai penerbangan Dirgantara Air
Service dan Merpati Nusantara, terkunci rapat, tidak ada yang menjaga. Lapangan
rumput seputar landasan pacu ditumbuhi ! ilalang setinggi 30 cm.
Lapangan terbang di Lembah Poso itu, kini hanya didarati pesawat Skytruck atau
helikopter Polisi Udara, yang lalu lalang Poso-Palu. Wisatawan, apalagi dari
mancanegara, sudah enggan ke sini untuk melihat keindahan Danau Poso atau
Taman Laut Togean.
Paling banter mereka pergi ke Donggala, 30 km barat Palu, atau sekitar 300 km dari
Poso, menyelam di Taman Laut Lore Lindu. Perjalanan dari lapangan terbang ke Kota
Poso juga harus melalui pemukiman sepanjang kawasan Poso Pesisir yang lengang,
rumah-rumah tertutup pintunya, tidak ada orang lalu lalang di jalan atau beraktifitas di
halaman rumah.
Keramaian baru terasa ketika masuk kota. Namun memang terasa ada ketegangan
terpendam di wilayah ini. Ketegangan ini meningkat pascaperistiwa pemenggalan
kepala tiga siswi SMU Kristen GKST pada 29 Oktober lalu, yakni Ida Yarni Sambue
(15), Theresia Morangke (15) dan Alfita Poliwo (19), sedangkan satu korban lain
Noviana Malewa, selamat m! eski mengalami luka bacok yang parah di bagian kepala
dan harus menerima 60 jahitan.
Kasus yang Terungkap
Para pelaku kebiadaban ini seperti ingin menegaskan bahwa konflik di Poso belum
selesai dan perlu dikobarkan lagi. "Kalau saya tanya kepada mama dan papa apakah
mau kembali ke Poso setelah Novi sembuh, mereka berkata "sudah tidak ada lagi
masa depan buat kita di Poso", kata David Malewa, kakak kandung Novi, kepada SH.
David bertutur, keluarganya dan banyak keluarga lain, telah kembali dari pengungsian
di Tentena, Kecamatan Pamona Utara, 55 km dari Poso, sejak setahun lalu dan
memulai lagi kehidupan normal menggarap ladang di desa Bukit Bambu, kampung
halaman mereka. "Tapi kini yang tinggal di kampung hanya mereka yang kuat lari.
Selebihnya sudah kembali mengungsi," tuturnya.
Kasus pemenggalan kepala itu menambah daftar tindak kekerasan (pembunuhan,
pengeboman, penganiayaan berat) dan teror yang mencapai lebih da! ri 120 kasus
sejak ditandatanganinya Perjanjian Malino pada Desember 2001.
Meski perjanjian itu dirancang untuk mengakhiri konflik yang pecah sejak 1998,
ternyata tetap saja ada yang masih ingin pertumpahan darah berlanjut atau
memuaskan dendam. Inilah masalahnya, dari begitu banyak kasus, ternyata hanya
satu dua yang berhasil diungkap oleh polisi.
Dan ketika di Poso sedang ada dua komisaris jenderal polisi, terjadi penembakan
terhadap dua siswi SMEA Poso (8/11), yang hanya sekitar 30 meter dari markas
Polres Poso. Kapolda Sulteng yang baru, Kombes Oegroseno mengakui situasi Poso
memang pelik dan butuh pembenahan segera.
"Polisi harus mampu mengungkap kasus-kasus ini, kalau tidak kepercayaan
masyarakat yang sudah demikian rendah akan semakin tenggelam, dan ini
berpotensi memicu konflik baru," kata Sekretaris Umum GKST, Pdt Irianto Kongkoli,
dalam sebuah percakapan telepon dengan SH.
Kepercayaan Warga
Kar! ena kebuntuan seperti ini, kepercayaan masyarakat, dari kedua komunitas,
terhadap Polri dan pemerintah kini berada di titik nadir. Kelompok Kristen yang sejak
Perjanjian Malino senantiasa menjadi korban aksi teror, menuding polisi tidak
bersungguh-sungguh dan melindungi para teroris.
Sementara kelompok Muslim menilai polisi sering main asal tangkap, menganiaya
mereka yang ditangkap, namun ternyata belakangan tidak bisa membuktikan apa
pun. Akibatnya, kedua komunitas sama-sama tidak percaya kepada polisi.
Karenanya, sudah lazim setiap ada penangkapan dalam sebuah kasus, Polres Poso
didatangi masyarakat yang berunjuk rasa menuntut pembebasan warga mereka.
Misalnya, aksi unjuk rasa 1.500 warga Muslim yang tergabung dalam FSPUI pada
Juni lalu yang menuding polisi asal tangkap dalam upaya mengungkap kasus bom di
Tentena. Setelah Kapolda ketika itu Brigjen Aryanto Sutadi turun tangan, tiga orang
dilepas, dan massa pun surut. Kemandulan polisi ini, kemudian jug! a dimanfaatkan
oleh teroris dan provokator untuk menteror warga agar tidak membantu polisi, bahkan
polisi juga diteror.
Pendekatan represif terbukti membuat masyarakat semakin jauh dari polisi.
Indikasinya, kalau ada yang ditangkap, masyarakat langsung protes, tutup mulut,
polisi, jaksa dan hakim diteror, masyarakat pun takut bersaksi.
Dalam catatan cukup banyak aksi teror di Poso selama 2005 terkait dengan
pengungkapan kasus, misalnya, kantor LPMS dan Pusat Resolusi Konflik dan
Perdamaian (PRKP) Poso dibom orang tak dikenal (28/4). Budianto ditembak Rabu
(3/8), kemudian Sarlito tewas ditembak, Kamis (4/8), juga Asrin Ladjidji (35) tewas
ditembak Kamis (29/9), lalu Milton Tado’a (51) juga tewas ditembak orang-orang tak
dikenal.
Mereka semua saksi kasus teror. Sebelum peristiwa pemenggalan, Briptu Agus
Sulaiman, anggota Reskrim Polres Poso, juga tewas ditembak usai berbuka puasa,
pada 10 Oktober lalu. Kemudian, pendekatan penanganan daerah ! konflik akan terus
memicu terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat Polri.
Kenyataan bahwa sesama anggota Polri di jajaran Polda Sulteng saling tidak
mempercayai juga diakui beberapa anggota yang bercakap dengan SH, termasuk
pengakuan bahwa banyak anggota polisi yang takut bertindak di wilayah ini. Seorang
perwira menengah di Polda Sulteng yang tinggal di Palu mengakui dia tak pernah jauh
dari pistolnya, bahkan bila sedang mandi sekalipun, karena rawannya keamanan.
Pola Operasi
Kepala Biro Operasional Polda Sulteng, Kombes Bung Jono, mengakui ada yang
keliru, yakni selama ini Polri mengedepankan pendekatan daerah konflik di Poso, dan
itu diwujudkan dalam gelar Operasi Sintuwu Maruso (Simar) I-VII. "Tidak disadari
bahwa pola pendekatan masih tetap represif menggunakan pasukan Brimob,
sweeping dll, padahal harus diubah dengan pola penegakan hukum," katanya.
Menyadari hal ini, pascaperistiwa pemenggalan itu, Mabes Polri memerintahkan
Polda Sulteng mengubah pola operasi di Poso."Persoalan Poso tidak bisa hanya
diselesaikan oleh Oegroseno, ini harus melibatkan seluruh Polda se-Sulawesi," kata
Kepala Badan Pembinaan Keamanan (Kababinkam) Mabes Polri, Komjen Ismerda
Lebang, ketika memberi briefing kepada jajaran Polda se-Sulawesi di Palu, Selasa
(8/11).
Apa yang dikemukakan oleh Ismerda Lebang ada benarnya, sebab kalau bicara
jumlah rasio polisi dan penduduk Sulawesi Tengah sudah memadai yakni 1:500,
belum lagi pasukan-pasukan BKO dari berbagai Polda lain dan Mabes Polri, tapi pada
kenyataannya hal itu tetap tidak optimal dalam mengatasi keamanan di daerah ini
pascakonflik 1998-2003. Jadi memang perlu pendekatan lain. n
Copyright © Sinar Harapan 2003
|