SINAR HARAPAN, Selasa, 15 November 2005
Bersama Kababinkam ke Sulteng (2-Habis)
Sulitnya Menjadi Polisi di Daerah Konflik
Oleh Kristanto Hartadi
PALU – Secara tidak langsung, Kababinkam Mabes Polri, Komjen Ismerda Lebang,
mengakui ada ketidakkompakan dan rasa tidak saling percaya di antara unsur polisi
di Polda Sulteng. "Saudara adalah polisi bukan utusan agama, saudara adalah insan
Tri Brata, yang rela mengorbankan diri untuk tugas-tugas kepolisian.
Kalau saudara polisi, harus berani menjalankan tugas-tugas kepolisian," begitu
katanya kepada jajaran pejabat teras Pol! da, termasuk seluruh Kapolresnya.
Di Provinsi Sulteng terdapat sembilan Polres, 74 Polsek, dengan luas wilayah daratan
yang harus diawasi 68.033 km2 dan 129.000 km2 lautan, dan anggota Polri 5.806
personel. Dengan demikian rasio polisi dengan masyarakat adalah 1:500, suatu
angka yang ideal.
Namun, ternyata Poso dan daerah-daerah lainnya tetap belum aman. Di Poso
senantiasa ada upaya untuk memancing masyarakat agar berkonflik kembali. Tapi
provokasi ini gagal mengobarkan kembali konflik, apalagi para pemimpin masyarakat
dari kedua komunitas sudah menyatakan berdamai. Siapakah provokator itu?
Tidak semua konflik di Sulawesi Tengah bernuansa agama. Yang paling kental
memang Poso, dan sampai kini untuk pengamanan, Polres setempat menggelar 55
pos yang diawaki 1.522 orang. Sedangkan di Kabupaten Morowali konfliknya
perebutan ibu kota antara Kolonedale dan Bungku, yang ujungnya juga konflik
bernuansa agama.
Di sini Polda membangun 22 pos polisi dengan kekuatan 498 personel. Ibu kota
provinsi, Palu, juga rawan konflik, karena di kota inilah Pendeta Susi dan Jaksa Ferry
Silalahi tewas ditembak. Di Donggala, konfliknya lebih pada perkelahian
antarkampung, karena masyarakatnya miskin. Sedangkan di Kabupaten Tojo
Una-Una, yang berpulau-pulau, ditengarai ada kelompok-kelompok garis keras yang
beroperasi di sana.
Sulawesi Tengah memang rawan konflik, dan itu sangat berpengaruh terhadap moral
polisi yang bertugas. Hal itu dijadikan bahan olokan di kalangan perwira. "Kalau di
Palu ada Lamadjido (salah satu marga di sana), maka kami merasa sudah
Lamasekali," seorang perwira berseloroh.
Situasi yang penuh tekanan, masyarakat yang tidak mendukung tugas penegakan
hukum dan medan yang berat, sangat berpengaruh pada kinerja Polri di sana. Tapi
siapa provokator dan teroris itu? Lebang tidak secara eksplisit m! enyebut para teroris
itu, tapi indikasinya jelas mengarah ke kelompok-kelompok garis keras, seperti di
Maluku.
Bangun Kemitraan
Tampaknya, hal itu sejalan dengan penjelasan salah seorang pejabat di Kodam
Wirabuana yang pernah mensinyalir Poso tidak akan pernah aman karena sudah
dikepung kekuatan-kekuatan sipil bersenjata, apalagi persenjataan mereka jauh lebih
kuat ketimbang yang digunakan Polri.
Untuk memulihkan keamanan, sejak 1998 digelar Operasi Sintuwu Maruso (Ops
Simar) I-VII. Bahkan dalam Ops Simar VII kali ini digelar kekuatan lebih dari 3.000
personel, termasuk pasukan-pasukan Brimob BKO (Bawah Kendali Operasi) dari
Mabes Polri ataupun Polda-polda lainnya.
Pendekatan penanganan konflik mengutamakan pengerahan pasukan Brimob,
menggelar razia dll. Padahal, konflik secara terbuka sudah reda, dan yang tersisa
aksi-aksi sporadis pascakonfli! k yang membutuhkan penegakan hukum dan
bukannya tindakan represif. "Kami menyadari selama ini Ops Simar kurang dievaluasi
secara tepat sasaran-sasarannya," aku Kapolda, Kombes Oegroseno.
Dampak pendekatan yang kurang tepat ini membuat polisi merasakan rakyat makin
menjauhinya sehingga sulit mendapatkan masukan dari masyarakat. Situasi inilah
yang ingin diubah melalui operasi baru yang sama sekali berbeda, dan menekankan
kemitraan dengan masyarakat, dengan target operasi mengungkap kasus-kasus
terorisme.
Menurut Lebang masalah Poso tidak bisa lagi diselesaikan hanya dari markas.
Semua Kapolda harus mengamati dengan cermat setiap interaksi antarmanusia di
wilayahnya. Dia memerintahkan Polda Sulteng kembali ke konsep dasar, yakni
menggalang dukungan masyarakat dengan ujung tombak Polsek. Langkah inilah
yang tampaknya akan ditempuh, menjadikan Polsek ujung tombak menggali
informasi, dan memanfaatkan pos-pos polisi guna memba! ngun kemitraan dengan
masyarakat.
Sejak dulu di Sulteng tidak pernah ada konflik. Jadi jelas ada orang dari luar Poso
yang bermain di sini. Poso memang dirancang untuk diacak-acak karena letaknya di
tengah, kata Lebang.
Diharapkannya lima Polda lain di Sulawesi menyadari konflik di Poso seharusnya
dibantu penyelesaiannya oleh Polda-polda lain di luar Sulteng. "Masalah Poso bukan
urusan Oegroseno belaka," katanya. Perencanaan disusun teroris di daerah lain, tapi
implementasinya di Poso. Lalu teroris itu kabur ke provinsi lain di Sulawesi tanpa ada
yang menahan, demikian katanya.
Latihan Militer
Ditengarai adanya latihan-latihan militer dan pembentukan laskar-laskar seperti di
Kolaka, Bitung dan sejumlah daerah lain. "Kalau ditarik lagi, ujungnya ada di
Tawi-Tawi dan Basilan, semuanya di Mindanao, Filipina. Kalau diburu larinya ke
Nunukan. Jug! a ada kelompok dari Jawa," tukas Lebang.
Tampaknya, Polri akan menggelar operasi bhakti, mirip TNI Masuk Desa Manunggal.
Targetnya memperbaiki berbagai bangunan bekas konflik yang sampai kini dibiarkan
seperti monumen di Poso Kota maupun kawasan-kawasan lain, terutama reruntuhan
rumah-rumah ibadah yang dibiarkan, tegas Kabiro Ops, Kombes Bung Jono.
Oegroseno menambahkan pola Binmas akan ditingkatkan, dan di setiap desa akan
ditempatkan 5-10 personel polisi di bawah kendali Polsek. Mereka juga akan
menggelar operasi penegakan hukum. Pola represif tidak lagi diutamakan, dan
tampaknya Mabes Polri mau belajar memahami dinamika ini. ***
Copyright © Sinar Harapan 2003
|