SINAR HARAPAN, Kamis, 17 November 2005
Tolak Pilkada Irjabar
DPR Papua Ancam Referendum
Oleh Soehendarto/ Odeodata H Julia
Jayapura – Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) menolak pelaksanaan
pemilihan kepala daerah (pilkada) gubernur dan wakil gubernur provinsi Irian Jaya
Barat (Irjabar) tanggal 28 November 2005. Apabila pilkada Irjabar dipaksakan, DPRP
akan meminta referendum di Provinsi Papua.
Pernyataan sikap tersebut dituangkan dalam surat keputusan (SK) yang disahkan
dalam rapat paripurna khusus DPRP, Rabu (16/11) malam, di Jayapura. Acara
dipimpin Ketua DPRP, John Ibo, didampingi Wakil Ketua, Jop Kogoya, dan dihadiri 42
anggota dewan.
Pernyataan sikap yang dibacakan anggota dewan Weinand Watori itu menolak tegas
keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 120.82-1009 tanggal 11 November 2005
tentang persetujuan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Irjabar untuk
melaksanakan pilkada di Provinsi Irjabar 28 November 2005, dan meminta Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan keputusan Mendagri itu.
Apabila pernyataan tersebut tidak diterima oleh pemerintah pusat, DPRP akan
mengadakan sidang paripurna dengan agenda pengembalian UU No 21/2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua kepada pemerintah pusat, dan meminta untuk
referendum di tanah Papua.
Weinand Watori juga menyebutkan pernyataan sikap tersebut memperhatikan pula
unjuk rasa Dewan Adat Papua (DAP) bersama rakyat Papua pada 12 Agustus 2005
tentang pengembalian Otsus kepada pemerintah pusat. Setelah pernyataan sikap itu
selesai dibacakan, pimpinan sidang John Ibo mengesahkannya, setelah mendapat
persetujuan aklamasi anggota dewan.
SK itu ditandatangani oleh pimpinan, semua ketua fraksi dan seluruh anggota dewan
dan dikirimkan kepada Presiden, Menko Polhukam, Mendagri, Ketua MPR, Ketua
DPR, Ketua DPD, Ketua MRP, Gubernur Papua, Muspida Papua dan Ketua
Pengadilan Tinggi Papua.
Seusai rapat paripurna khusus tersebut, Ketua DPRP, John Ibo menolak memberikan
keterangan pers. Bahkan dia menolak pertanyaan SH, mengapa begitu berani
mengancam referendum, apakah sudah dikaji secara matang dampaknya nanti.
Subversif
Sementara itu, J.R.G Djopari, mantan Wakil Gubernur Irian Jaya dan pakar
pemerintahan, menilai ancaman referendum yang dikeluarkan lembaga resmi
pemerintah tersebut, sudah merupakan tindakan subversif karena menentang
kebijakan pemerintah pusat.
Dalam masalah ini bukan masalah demokrasi lagi, tapi upaya terus menerus untuk
melaksanakan tujuannya yaitu disintegrasi bangsa. Upaya melepaskan Papua dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) jelas tindakan subversif, mengancam
pemerintah dengan referendum. "Itu tidak benar," ujarnya.
Djopari juga mengatakan, pemerintah wajib mempertahankan setiap jengkal wilayah
negara. Seperti tindakan makar terhadap negara, pemerintah wajib menindak mereka
dan tidak bisa terus menerus dibicarakan. Hal itu hanya keinginan segelintir orang, ia
mengingatkan.
Senada dengan Djopari, Frans Maniagasi, seorang pengamat masalah Papua,
menegaskan, ancaman seperti itu tidak benar, sudah termasuk makar. Bagaimana
Otsus dikembalikan, tapi dana otsus yang jumlahnya triliunan rupiah, sudah dinikmati
di Papua sejak tahun 2002.
Menurut Djopari, uang yang diturunkan di Papua sehubungan dengan statusnya
sebagai daerah otonomi khusus berjumlah sekitar Rp 9 triliun atau US$ 1,3. Kalau
dihitung secara bodoh, uang sebanyak itu lebih baik dibagikan kepada 2,5 penduduk
Papua, setiap orang akan mendapatkan US$ 52 per tahun. Kalau dihitung dengan
kurs rupiah, tiap bulan setiap orang mendapat Rp 43 juta.
Bertentangan UU Otsus
Keputusan Mendagri No 120.82-1009 tentang persetujuan pelaksanaan pilkada
Irjabar, menurut MRP, bertentangan dengan UU No 21/2001 tentang Otsus Papua dan
PP No 54/2004 tentang MRP, sehingga seharusnya dicabut dan pilkada Irjabar
ditunda.
Ketua MRP, Agus Alua kepada wartawan di Jayapura, Rabu, mengatakan
mekanisme pemekaran Provinsi Papua diusulkan oleh Gubernur dan DPRP,
kemudian mendapat persetujuan MRP. Tetapi ternyata SK Mendagri tidak melalui
mekanisme tersebut.
Terkait dengan terbitnya SK Mendagri tersebut, MRP akan menemui Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan Mendagri M Ma'ruf agar mencabut SK tersebut dan
menunda pelaksanaan pilkada Irjabat. "Masalah ini harus disampaikan ke pemerintah
pusat, karena seringkali Jakarta yang membuat masalah, tidak konsisten, sehingga
kita di daerah yang pusing," katanya. "Buat apa kami dilantik, tetapi ternyata tidak
diberikan kewenangan. Kami dilangkahi dalam tugas-tugas kami." (*)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|