SINAR HARAPAN, Selasa, 22 November 2005
Fakta: Memang Banyak Teroris di Indonesia
Oleh Tjipta Lesmana
Tiga tahun lalu Wakil Presiden Hamzah Haz dengan lantang mengatakan di Indonesia
tidak ada teroris. "Kalau ada teroris, saya orang pertama yang akan menangkapnya".
Padahal, ketika itu Dr Azahari dan kaki-tangannya yang orang Indonesia sudah aktif
melancarkan teror bom di berbagai kota.
Dua tahun sebelum pernyataan itu muncul dari mulut Wakil Presiden, lebih dari 10
gereja di enam kota besar Indonesia mendapat serangan bom pada Malam Natal
2000. Puluhan warga tidak berdosa tewas dan luka berat.
Apakah itu bukan terrorist act? Menurut mantan Perdana Menteri Malaysia, Dr
Mahatir Mohamad, pelaku serangan bersenjata maupun serangan lainnya terhadap
waga sipil harus dianggap sebagai teroris, terlepas apakah tindakan itu inisiatif pribadi
atau atas perintah. Jadi, kata kunci terorisme, menurut Mahatir, adalah (1) serangan
bersenjata dan (2) target atau korbannya adalah warga sipil.
Jelas bahwa serangan bom pada Malam Natal dan serangan bom lainnya di Jakarta,
Poso, Maluku dan sebagainya adalah tindak terorisme. Setelah Hamzah Haz,
Presiden Megawati pun kemudian menyatakan Indonesia bukan sarang teroris.
Padahal dua tahun sebelumnya, salah satu pembantu terdekatnya sendiri, yaitu
Kepala Badan Intelijen Negara, A.M. Hendropriyono, mengungkapkan keberhasilan
anak-buahnya membongkar tempat latihan teroris di Poso.
Ketika itu, Hendropriyono dikecam berbagai kalangan dalam negeri, khususnya
kalangan LSM. Polisi pun menolak permintaan BIN untuk mengejar para teroris di
Poso dengan alasan informasi dari BIN itu baru sebatas data intelijen, sehingga tidak
bisa ditindaklanjuti.
Keraguan Pupus
Ketika berita penangkapan Al Farouq oleh BIN mengemuka pada pertengahan 2002,
tidak sedikit kalangan yang juga mengecam BIN. Hendropriyono dituding hanya
menjual sensasi. Sejumlah pejabat Polri tidak dapat menyembunyikan
kejengkelannya, seolah-olah Polri di-fait-accompli.
Tiga tahun kemudian, dalam wawancaranya dengan sebuah stasiun televisi di
Jakarta, Hendropriyono "buka kartu" kenapa instansinya bertindak sendiri menangkap
gembong teroris itu. Karena polisi tidak mau bertindak setelah diberi informasi oleh
BIN. Lagi-lagi, alasannya, informasi itu baru sebatas data intelijen.
Setelah Dr Azahari tertangkap dan tewas 10 hari lalu – setelah ada tragedi berdarah
yang bernama Bom Bali I, Bom Hotel Marriot, Bom di depan Kedutaan Besar
Australia, dan Bom Bali II dengan korban terwas ratusan nyawa manusia – keraguan
dan sikap picik sementra pihak terpupus sudah. Kematian Azahari, dengan demikian,
membawa blessing in disguise yang dahsyat.
Polisi dengan cepat berhasil membongkar sebagian jaringan terorisme di dalam
negeri. Pemburuan besar-besaran terhadap teroris, dilancarkan Polri dibantu aparat
intelijen TNI dan BIN.
Dalam konteks ini, langkah Wakil Presiden Jusuf Kalla memutar rekaman video berisi
pengakuan 3 teroris pelaku Bom Bali II di hadapan 12 ulama kenamaan Jawa Timur
merupakan langkah tepat dan patut dipuji. Dari perspektif ilmu komunikasi, apa yang
dilakukan Jusuf Kalla bertujuan untuk "to clear up the confusion".
Kita tahu salah satu persoalan pokok dalam proses komunikasi adalah pesan yang
tidak jelas atau remang-remang, sehingga komunikan sulit menginterpretasikan
makna pesan tadi. Hal ini bisa disengaja, bisa juga karena ketidakmampuan
komunikan – karena berbagai faktor – untuk menangkap arti pesan yang
disampaikan komunikator.
Dalam masalah terorisme, hingga sebelum terbunuhnya Azahari, aparat keamanan
tidak pernah mendapatkan pengakuan blak-blakan dari pelaku. Bahkan di pengadilan
sekali pun, terdakwa masih berkelit membantah telah melakukan aksi pengeboman.
Menyesatkan
Jusuf Kalla, tentu, mempunyai maksud tertentu dengan menayangkan video itu
kepada para ulama. Tujuan itu tidak lain untuk meyakinkan ulama bahwa jaringan
teroris di negeri kita bukan lagi sebatas gosip, tapi suatu realita. Melalui para ulama,
pemerintah tentu berharap mereka tergerak melakukan sosialisasi ke akar-rumput
tentang ajaran sesat yang dikampanyekan kaum teroris.
Sekaligus membekali umat untuk menolak ajakan teroris melancarkan aksi jihad
yang menyesatkan seperti yang dikemukakan Prof Din Syamsuddin, Ketua Umum
Muhammadiyah. Selama ini, jika pemerintah yang angkat suara, masyarakat –
khususnya LSM – cenderung tidak percaya, bahkan menuding pemerintah
macam-macam.
Setelah Dr Azahari tewas, pertanyaan kita adalah: Apakah aksi-aksi terorisme di
Indonesia akan surut, atau justru sebaliknya akan semakin ganas? Pertanyaan ini
tampaknya terkait erat dengan perkiraan seberapa kuat jaringan atau kaderisasi yang
selama ini telah dilakukan oleh Azahari.
Jangan-jangan Azahari dan Nurdin M. Top tidak lebih 'the tip of the iceberg". Di bawah
permukaan gunung es tsb. terdapat badan yang maha kokoh. Ingat, Azahari sudah
beroperasi di Indonesia sejak 1999 atau awal 2000.
Kita berharap Polri mau bekerja sama dengan intelijen lain, khususnya BIN dan BAIS.
Manfaatkanlah segala informasi yang dimiliki kedua instansi ini. Boleh jadi, BIN
selama ini sudah tahu banyak tentang kegiatan terorisme di dalam negeri. Bahkan
tidak tertutup kemungkinan BIN memiliki semacam "peta kekuatan" terorisme di
dalam negeri.
Apa salahnya jika Polri duduk bersama mereka, dan melakukan operasi bersama,
terutama memanfaatkan jaringan yang sudah dimiliki BIN di seluruh Tanah Air.
Penulis adalah pengajar Universitas Pelita Harapan.
Copyright © Sinar Harapan 2003
|