The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SINAR HARAPAN


SINAR HARAPAN, Sabtu, 24 Desember 2005

Natal = Jangan Takut?

Oleh Pdt Dr Jan S. Aritonang

HAMPIR dapat dipastikan pada sore dan malam ini, Sabtu 24 Desember 2005, bahkan sampai besok, umat Kristiani di seluruh Indonesia, bahkan di hampir seluruh dunia, berbondong-bondong ke gereja untuk mengikuti ibadah dan perayaan Natal. Kalau di hari-hari dan minggu-minggu lain tidak ke gereja, itu tidak mengapa. Tetapi untuk hari istimewa dan peristiwa sekali setahun ini, ada sesuatu yang terasa hilang dan rugi kalau tidak hadir. Kapal selam pun sekali-sekali perlu muncul juga ke atas permukaan air.

Apa tidak takut datang ke gereja? Bukankah Kepala BIN sendiri telah menengarai bahwa pada masa-masa Natal 2005 ini ada rencana kaum teroris untuk melancarkan aksinya? Bahkan di internet telah beredar isu bahwa sekurang-kurangnya sebelas gedung gereja di Jakarta akan menjadi sasaran kaum teroris pada sore/malam ini.

Sebagian besar umat Islam di negeri ini sebenarnya sudah dengan tegas menyatakan perang dan penolakan terhadap teroris yang sering berkedok Islam ini, tetapi kaum teroris ini tetap saja bergeming dan bersikukuh dengan militansi, radikalitas dan ekstremitasnya, seakan-akan aksi mereka itulah cara yang paling sahih untuk mendapat ridha Allah dan masuk surga.

Masih cukup segar dalam ingatan kita peristiwa ledakan bom pada malam Natal 24 Desember 2000 di beberapa lokasi di Jakarta maupun kota-kota lainnya. Sekurang-kurangnya ada 15 korban tewas, di samping puluhan yang luka-luka dan sejumlah kerugian material. Bukan tidak mungkin peristiwa itu terulang lagi, paling tidak para teroris itu berencana demikian. Toh umat Kristiani tetap berbondong-bondong juga.

Mereka dimotivasi dan diberanikan oleh tema Natal yang ditetapkan oleh PGI dan KWI untuk tahun 2005 ini, “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau” (Yesaya 41:10a). Sungguh keberanian yang mengharukan dan membanggakan, serta patut dipuji dan disyukuri.

Tetapi itu sajakah arti dari firman Tuhan yang menjadi tema Natal ini? Apakah sekadar jangan takut datang ke gereja pada sore/malam ini dan besok? Bagi umat Israel yang menjadi alamat pertama sabda Tuhan melalui nabi Yesaya ini lebih dari 2.500 tahun yang lalu, seruan ini memang dimaksudkan untuk menghibur dan menguatkan hati mereka ketika menjalani masa pembuangan di Babylon.

Penyertaan Tuhan juga diyakini sebagai jaminan tentang “hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11). Dengan demikian mereka diajak bersukacita di tengah berbagai penindasan dan derita. Apalagi seruan Tuhan itu juga dibarengi dengan janji akan datangnya Mesias, Juruselamat, Sang Imanuel, untuk membebaskan mereka dari pembuangan, bahkan dari dosa dan kebinasaan.

Bagi kita di Indonesia, apakah seruan dan janji Tuhan ini serta-merta membebaskan kita dari ketakutan akibat ancaman teroris, dari pembatasan beribadah dan mendirikan rumah ibadah, bahkan dari berbagai derita, termasuk yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM, PHK, pengangguran, berbagai wabah penyakit, dan bencana kelaparan di berbagai penjuru negeri?

Apakah juga dapat membebaskan kita - bukan hanya umat Kristiani, melainkan juga seluruh warga bangsa - dari ancaman tsunami dan berbagai bencana alam lainnya, termasuk banjir yang diakibatkan oleh pembabatan hutan, yang sewaktu-waktu bisa datang lagi?

Tetap Takut

Kalau saya ditanya, apakah pada masa raya Natal ini saya sudah terbebas dari rasa takut, jujur saya jawab dan akui, saya masih diliputi berbagai rasa takut. Bukan karena saya kurang meyakini kebenaran firman dan kepastian janji Tuhan ini, melainkan karena adanya indikasi bahwa banyak orang, termasuk dari kalangan Kristiani di tengah bangsa kita, beranggapan penyertaan Tuhan itu merupakan sesuatu yang otomatis, sebaik atau seburuk apapun perilaku kita.

Coba lihat, kendati upaya pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan jabatan terkesan sedang digencarkan, toh tidak banyak warga bangsa yang mengaku sangat religius ini - termasuk yang Kristen - yang lalu takut melakukannya. Walaupun terjadi berbagai kemunduran dan kemerosotan dalam kehidupan bangsa ini, entah itu di bidang pendidikan, olahraga, kesehatan, gizi, dsb, tetap saja ada orang yang mengaku wakil rakyat berfoya-foya menghamburkan uang negara ke luar negeri.

Walaupun di Papua, yang notabene adalah salah satu daerah penghasil devisa terbesar bagi negeri ini, terjadi bencana kelaparan, toh tidak ada yang merasa bersalah dan bertanggung jawab atas keterlambatan penanggulangannya. Saya takut atau khawatir, bahwa ritual-ritual keagamaan termasuk Natal, sekadar rutinitas, dan tema-tema yang ditetapkan untuk itu menjadi semacam slogan kosong.

Tahun depan kita pilih dan tetapkan tema yang lebih keren, cari nas Kitab Suci yang lebih berwibawa, tetapi mutu perilaku kita tetap saja dari tahun ke tahun. Saya sungguh takut bahwa sukacita, kebahagiaan, damai, persaudaraan, solidaritas, dst. yang didengungkan setiap kita merayakan Natal menjadi semu, atau - meminjam istilah Karl Marx - sekadar candu, obat penenang dan pengurang rasa sakit sesaat, lalu setelah itu kita kembali tenggelam dalam berbagai permasalahan dan penyakit mental-spiritual yang kronis.

Syukurlah peristiwa Natal bukan hasil ciptaan dan rekaan manusia. Syukurlah Natal Kristus terjadi karena Allah mau tuntas mencemplungkan diri ke dalam hidup manusia yang penuh derita, penuh dosa, penuh kemunafikan, tetapi juga yang penuh harap akan belas kasih dan pertolongan Tuhan.

Syukurlah kasih Allah tidak didasarkan pada kemauan dan kemampuan manusia untuk mengimbanginya. Syukurlah Allah tidak ikut larut dalam rutinitas dan kesemuan ritual manusia; kasih-Nya selalu baru tiap pagi. Kita tahu, tanggal persis dari kelahiran Yesus Kristus tidak dapat dipastikan.

Penetapan tanggal 25 Desember didasarkan pada pertimbangan dan kebijakan gereja pada abad ke-4 untuk mengakomodasi perayaan hari kelahiran dewa matahari (Sol Invictus atau Helios) di kalangan suku-suku tertentu (German, Slav, dsb.) di Eropa.

Mengacu pada Maleakhi 4:2, gereja memahami dan menegaskan bahwa Yesus Kristuslah Matahari atau Surya Kebenaran; ketika matahari terbit kembali di kawasan Eropa Utara pada 25 Desember, gereja mengajak masyarakat ketika itu untuk memahami peristiwa itu sebagai lambang dari terbit atau lahirnya Sang Surya Kebenaran “dengan [membawa] kesembuhan pada sayapnya”.

Ketika belum mengenal dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat mereka, suku-suku di Eropa itu berpesta pora merayakan kelahiran dewa matahari itu, sejak 24 malam hingga sepanjang 25 Desember. Nabi Maleakhi memang juga mengajak umat Tuhan untuk “keluar dan berjingkrak-jingkrak seperti anak lembu lepas kandang”.

Tetapi itu tidak hendak kita pahami secara harfiah, karena kegembiraan yang dibawa Putera Allah itu bukanlah sukacita dan pesta pora lahiriah yang membuat kita mabuk dan lupa diri. Bagaimana mungkin kita bersenang-senang dan berfoya-foya menghamburkan dana atau memamerkan kemewahan, sementara banyak warga bangsa kita sedang meratap dan merintih, termasuk saudara kita di Aceh dan Nias yang belum pulih dari akibat terpaan tsunami?

Kalau peristiwa Natal Kristus bukan hasil rekayasa manusia, dan cara merayakan cinta kasih Allah di dalam kelahiran-Nya tidak bergantung pada selera, hasrat dan tabiat kemanusiaan kita, melainkan tindakan Allah sendiri dan menurut cara-Nya sendiri, maka kita pun dapat sungguh-sungguh terbebas dari berbagai ketakutan yang diakibatkan oleh ulah kita manusia, dan kita boleh kian merasakan penyertaan-Nya, pun ketika kita masih menderita.

Anak itu (Yesus) lahir tanpa kemuliaan, tetapi justru dengan demikian kesetaraan umat manusia dapat dimuliakan. Anak itu lahir tanpa gengsi, tetapi justru dengan demikian gengsi lenyap, dan muncullah harga diri. Anak itu lahir tanpa daya, tetapi dengan demikian mereka yang tanpa daya dapat diberdayakan. Anak itu mengingatkan kita bahwa Tuhan yang lemah. Hanya Tuhan yang lemah yang dapat menyelamatkan kita. (Dietrich Bonhoeffer, 1906-45).

Penulis adalah Pendeta Gereja Kristen Protestan Indonesia, Dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Copyright © Sinar Harapan 2003
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/haroekoe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044