The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SINAR HARAPAN


SINAR HARAPAN, Senin, 26 Desember 2005

Natal: Solidaritas Allah dengan Dunia Ini

Oleh Andreas A. Yewangoe

Ketika kita memasuki Natal tahun ini, kita menyadari bahwa bangsa kita masih belum terbebas sepenuhnya dari berbagai kesulitan. Peristiwa busung lapar di Yahukimo, Papua, yang menghebohkan itu, adalah salah satu puncak dari sekian banyak kesulitan yang melanda bangsa kita, kendati para pejabat kita berusaha menutup-nutupinya dengan memformulasikannya sehalus mungkin.

Sebelumnya kita dihebohkan dengan wabah flu burung, yang sampai sekarang masih belum ditemukan penawarnya. Lalu malapetaka demam berdarah, yang kendati menyampari kita setiap tahun, toh tetap saja kita panik menghadapinya.

Yang lebih memilukan lagi adalah dampak kenaikan harga BBM yang memperlemah kemampuan daya beli sebagian besar rakyat kita. Kompensasi Rp 100.000 yang secara langsung dibayarkan kepada rakyat, tidak menyelesaikan akar persoalan yaitu kemiskinan struktural.

Bahkan di beberapa tempat penyaluran bantuan langsung itu telah menjadi petaka ketika orang mengantre untuk memperolehnya. Konon, sebagai salah satu dampak kenaikan harga BBM ini, jumlah orang miskin sudah makin bertambah.

Tentu saja dampak ikutannya juga akan semakin banyak semisal, makin maraknya perbuatan-perbuatan kriminal dan berbagai perbuatan kejahatan lainnya. Kita pun masih terus dibayang-bayangi oleh teror bom di mana-mana. Kita merisaukan teror semacam itu justru ketika kita merayakan Natal yang adalah wujud damai-sejahtera yang diperlihatkan Allah kepada kita.

Bukankah suatu ironi, ketika damai-sejahtera dirayakan kedatangannya, kita justru dibayang-bayangi oleh berbagai macam ancaman yang menegaskannya?

Keprihatinan

Dapatlah difahami apabila terdapat perasaan kekuatiran, bahkan keputusasaan yang meluas di tengah-tengah masyarakat kita. Dalam keadaan seperti ini mereka mengharapkan solidaritas dari para pemimpin bangsa kita, hal yang tidak selalu diperoleh. Harian Media Indonesia dalam Editorialnya tanggal 21 Desember 2005 menyoroti besaran gaji pejabat Bank Indonesia yang luar biasa besarnya, bahkan lebih besar dari gaji Presiden dan Wakil Presiden.

Ini sekadar sebuah contoh dari sekian banyaknya keanehan di negeri kita. Tetapi yang mendalam dari itu adalah gambaran betapa kurangnya perasaan solidaritas sejati diperlihatkan di tengah-tengah kesengsaraan rakyat yang cukup besar ini. Maka pertanyaan, masihkah kita memasuki tahun 2006 dengan optimisme besar menjadi sangat absah.

Di bawah bayang-bayang kegelisahan itu, Natal dirayakan. Tentu saja kita mengharapkan Natal ini dirayakan dengan khikmat, sebagaimana lazimnya sebuah perayaan keagamaan. Tetapi lebih dari itu kita pun mendambakan suatu perayaan yang penuh dengan keprihatinan mendalam. Bukan dengan mengumbar nafsu konsumerisme yang berlebih-lebihan. Atau pesta pora yang melampaui batas kepatutan.

Maka dalam spirit itulah, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) memilih tema perayaan Natal tahun ini, kutipan dari Yesaya 41:10a, "Janganlah takut sebab Aku menyertai engkau…"Seruan ini, yang aslinya ditujukan kepada umat Israel yang sedang berada di dalam tawanan di Babilonia, sekarang juga disampaikan kepada bangsa kita.

Tentu saja kita bukan tawanan dari bangsa lain. Tetapi kita bisa menjadi tawanan dari perasaan pesimisme kita sendiri. Maka tepatlah seruan ini pun ditujukan kepada bangsa kita.

Solidaritas Allah

Bukankah Allah adalah Allah bangsa-bangsa, yang juga berarti Allah dari bangsa Indonesia? Kalau Allah adalah Allah bangsa Indonesia, yang pernah memberikan harapan kepada sebuah bangsa yang sedang berputus asa, maka harapan itu juga ditawarkan kepada bangsa kita. Kendati kita berada dalam berbagai kesulitan, jangan takut sebab Allah menyertai kita.

Seruan, "Jangan takut…" inilah pula yang disampaikan kepada para gembala ketika Kristus lahir di Bethlehem. Konon, dalam peristiwa Natal itu, ketika para gembala sedang menjaga domba-dombanya di padang Efrata, serombongan malaekat menampakkan diri kepada mereka.

Dalam kebiasaan orang Yahudi, penampakan diri malaekat selalu mempunyai dua kemungkinan, memperoleh kabar baik atau kabar buruk. Maka kemungkinan untuk takut besar. Tetapi di tengah-tengah perasaan tidak menentu itu, malaekat berseru supaya jangan takut. Para gembala tidak perlu takut sebab Allah sedang datang kepada mereka. Kedatangan Allah ini bukan untuk menghukum, tetapi untuk memperlihatkan solidaritas dengan manusia.

Menurut iman Kristiani, mewujudnya Allah dalam Diri Yesus Orang Nazaret itu adalah perwujudan solidaritas Allah yang paling otentik. Ia memasuki kedagingan manusia. Berarti pula, Ia memasuki berbagai peristiwa manusia, persoalan-persoalan mereka, keputusasaan mereka, tetapi juga harapan-harapan mereka. Allah menjadi satu sejarah dengan manusia.

Ini sangat luar biasa, sebab dengan demikian Ia memberikan kekuatan kepada manusia yang sedang berputus asa itu untuk keluar dari keputusasaannya, dan menatap lagi kemungkinan-kemungkinan baru untuk terus berjalan ke depan. Inilah juga yang hendak dikatakan kepada bangsa kita, ketika kita sekarang merayakan Natal.

Selamat Natal dan Tahun Baru 2006.

Penulis adalah Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia

Copyright © Sinar Harapan 2003
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/haroekoe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044