SINAR HARAPAN, Senin, 28 November 2005
Laporan Khusus
Luka Setelah Pepera
Oleh Inno Jemabut
JAKARTA - Pada tanggal 15 Agustus 1962 bertempat di Markas Besar Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, disepakati sebuah persetujuan
antara pemerintah Indonesia dengan Belanda tentang penyelesaian masalah Irian
Barat (kini Papua). Dengan kesepakatan tersebut wilayah yang dijajah Belanda sejak
24 Agustus 1828 itu diserahkan ke tangan PBB pada 30 September 1962.
Kesepakatan di New York tersebut mengatur cara masy! arakat Papua menentukan
masa depannya, apakah bergabung dengan Indonesia atau tidak, sebab Indonesia di
bawah pemerintahan Soekarno mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian dari
negara Indonesia yang harus direbut dari Belanda. Ini yang kemudian melahirkan
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tanggal 29 Juli 1969 yang diadakan oleh
pemerintah Indonesia dengan disaksikan oleh PBB.
Pepera adalah sebuah gambling bagi negara induk kalau hitungannya matematis. To
be or not to be! Jika hasilnya sebuah pemisahan diri maka malapetaka bagi sebuah
negara induk, tetapi sebaliknya jika menghasilkan sebuah pengukuhan akan
menamatkan riwayat para gerilyawan yang ingin mengambil pilihan merdeka.
Pasalnya, negara punya alasan sah untuk menggunakan kekuatannya.
Tapi bagaimana kalau mekanisme penentuan pendapat rakyat itu dilanggar dan
hasilnya menguntungakan satu pihak dan merugikan pihak lainnya? Tentu Pepera
bukan sebuah penyelesaian. Memikirkan sebuah negosiasi ulang bagi kedua belah
pihak mungkin bisa jadi pilihan. Apa yang terjadi di Irian Barat bisa jadi seperti ini.
Setelah Pepera, pemasalahan tak kujung usai.
Dalam pasal XXII persetujuan antara Indonesia dan Belanda 43 tahun lalu ditegaskan
bahwa "UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) dan Indonesia akan
menjamin hak-hak bebas berbicara, bebas bergerak dan berkumpul dan bersidang.
Hak-hak ini akan mencakup hak-hak penduduk dari wilayah yang telah ada pada
waktu penyerahan pemerintahan pada UNTEA (ayat 1). Setelah Indonesia mengambil
pemerintahan, Indonesia akan menempati janji-janji tersebut yang tidak bertentangan
dengan kepentingan perkembangan ekonomi rakyat wilayah tersebut (ayat3)". Dalam
pasal XV disebutkan bahwa tugas utama pemerintah Indonesia adalah mempergiat
lebih lanjut pendidikan rakyat, pemberantasan buta huruf, kemajuan perkembangan
social kebudayaan dan ekonomi.
Penentuan pend! apat rakyat pada hakikatnya adalah wujud demokrasi langsung di
mana setiap penduduk dewasa memiliki hak untuk memilih dan tidak dapat
diwakilkan oleh siapapun. One man one vote! Tetapi apa yang terjadi di Papua saat
itu sebaliknya. Dengan alasan mengkuti sebuah kebiasaan bermusyawarah untuk
mencapai kesepakatan, masyarakat yang belum paham dengan Pepera serta kondisi
wilayah yang tidak memungkinkan untuk bisa berkumpul membuat Pepera diwakili
oleh sebuah dewan. UNTEA adalah perwakilan dari PBB yang sengaja dibentuk untuk
menangani masalah Papua. Demikian juga dengan Dewan Musyawarah Penentuan
Pendapat Rakyat (DM Pepera) hanya dikenal dalam penentuan pendapat rakyat di
Papua untuk mewakili suara rakyat yang sebetulnya tidak dapat diwakilkan.
Di belahan dunia lain, kita tidak mengenal dewan yang bertugas untuk mewakili suara
rakyat seperti ini dalam hal penentuan pendapat. Lebih lagi, penentuan dewan ini
tidak melibatkan masyarakat sendiri! . Masyarakat Papua tidak mengenal dari mana
datangnya DM Pepera tersebut sebab dalam persetujuan sama sekali tidak
disebutkan bagaimana warga memilih dewan tersebut.
Negosiasi Ulang
Penulis buku An Act of Free Choice, Profesor Pieter Drooglever yang meneliti
masalah Pepera mengaku banyaknya kelemahan yang terjadi dalam melaksanakan
Pepera. Meski ia juga mengatakan belum cukup alasan agar proses tersebut bisa
diulang kembali. Baginya, masa depan Papua dengan Indonesia sangat tergantung
pada bagaimana Indonesia memperlakukan wilayah tersebut. Sulit untuk memungkiri
kalau Pepera telah memperdayai setidaknya 700.000 penduduk yang tidak ikut
menentukan sendiri pendapatnya karena adanya dewan perwakilan.
Dengan merujuk ke tulisan Pieter Drooglever itu saja cukup untuk mengatakan bahwa
adanya negosiasi ulang antara pemerintah Indonesia dengan masyarakat Papua saat
ini adalah sesuatu yang me! ndesak.
Memang kita tidak bisa mengabaikan usaha pemerintah Indonesia dalam
menyelesaikan masalah ini. Lihat saja betapa banyaknya undang-undang yang sudah
dihasilkan agar masalah di Papua bisa tuntas, baik ekonomi, politik, budaya dan
sebagainya. Namun, sejauh mana penghargaan terhadap hak asasi dalam upaya
tersebut mesti dipikirkan kembali.
Tentu dengan merujuk kembali pada persetujuan 43 tahun lalu di atas. Pasal XIV
menegaskan "Undang-undang dan peraturan baru atau perubahan-perubahan pada
undang-undang dan peraturan-peraturan yang telah ada dapat dijalankan menurut jiwa
persetujuan ini". Adakah ini yang terlupakan dalan setiap kali pemerintah
mengeluarkan undang-undang untuk Papua? Mampukah pembuat undang-undang di
Indonesia sekarang menangkap semangat persetujuan tersebut? n
Copyright © Sinar Harapan 2003
|