Suara Merdeka, Senin, 03 Oktober 2005
Tajuk Rencana
Bom Lagi, Mengapa Terus Terjadi?
- Kita tidak mampu menjawab, mengapa bom meledak lagi, mengapa jatuh korban
lagi, dan mengapa teror terus membayangi? Otoritas-otoritas yang terkait dengan
keamanan juga tidak mungkin memberi jaminan, apakah kawasan tertentu
benar-benar dapat dikatakan aman, dan apakah tidak akan ada bom lagi setelah
rentetan kejadian dari tahun ke tahun, bulan ke bulan menyajikan tragika
kemanusiaan yang mengerikan. Termasuk di negeri tercinta ini. Ketika bom
menewaskan sekian jiwa manusia, sebuah pelajaran selalu didapat, termasuk
bagaimana kita bersikap preventif untuk meningkatkan kewaspadaan. Namun terbukti
sang peledak dan jaringannya seperti menyampaikan pesan bahwa mereka lebih lihai
dari kemungkinan intaian dunia intelijen.
- Ketika akhir pekan kemarin enam ledakan mengguncang Bali, menewaskan puluhan
jiwa manusia serta ratusan mengalami luka-luka, kita tidak tahu apakah itu menjadi
yang terakhir. Rasa aman kini ibarat rancangan kehidupan yang meniscayakan
berbagai kemungkinan: karena maut dengan cara mengerikan bisa mengancam
kapan saja, di mana saja, tanpa jaminan kemampuan prima untuk mengendalikan
dan mengendusnya. Sebagai bangsa, kita dihentakkan ke trauma 12 Oktober 2002,
ketika bom meluluhlantakkan kawasan wisata di Legian, Kuta, menewaskan 210
orang dan melukai ratusan lainnya. Tragika itu tercatat sebagai teror terdahsyat yang
pernah terjadi di Indonesia, dan setelah itu mengetengahkan rentetan teror bom.
- Yang secara maksimal bisa dilakukan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono saat ini kiranya sudah tepat, yakni segera menyampaikan kutukan dan
janji untuk menggulung pelakunya. Statemen ini menjadi penting di tengah lalu lintas
global, karena terkait dengan persoalan-persoalan citra pariwisata, dan
politik-ekonomi khususnya investasi. Kesigapan dan kecepatan kepolisian dalam
menggulung komplotan pelaku bom Bali pada 2002, mendapat pujian dari masyarakat
internasional. Demikian jugalah yang kita harapkan pada kejadian akhir pekan lalu.
Investigasi cepat dan memberi gambaran tentang pelaku, berpeluang untuk
memulihkan kepercayaan dunia. Selebihnya, sekali lagi adalah pelajaran untuk
berlaku preventif.
- Kebiadaban di Pulau Dewata itu jelas memperkeruh suasana pemulihan
perekonomian yang kini sedang di babak-babak awal setelah pengurangan subsidi
harga BBM, dua hari lalu. Rakyat masih merasakan pukulan berat kenaikan harga
BBM yang mencapai 87 persen. Bukan hanya dari komposisi harga yang baru,
melainkan juga kelangkaan minyak yang dialami dalam beberapa pekan terakhir,
yang menciptakan tekanan-tekanan psikologis tersendiri. Belum lagi menjelang bulan
Ramadan, Lebaran, dan Natal ini dipastikan indeks harga kebutuhan pokok akan
membubung. Dari sisi ini saja, betapa pelaku pengeboman di Bali benar-benar tidak
berperikemanusiaan. Apa pun agenda pelakunya, rakyat jugalah yang akan
bertambah menderita.
- Berbagai upaya pemulihan kunjungan wisata ke Bali pascabom 2002, sebenarnya
sudah membuahkan hasil. Bahkan, di tengah berbagai ledakan bom di Bandara
Soekarno - Hatta (27 April 2003), Hotel JW Marriot (5 Agustus 2003), di Palopo (11
Januari 2004), di Jl Soekarno - Hatta Riau (4 Mei 2004), di depan Kedubes Australia
di Jakarta (9 September 2004), serta di Poso (28 Mei 2005), arus wisatawan ke Bali
tidak terpengaruh. Artinya, recovery dapat dicapai, dan trauma sudah mulai dapat
dikikis. Tetapi bagaimana dengan enam ledakan yang baru saja mengguncang?
Pekerjaan baru pun mengadang, maka kita patut memberikan support penuh kepada
pemerintah dan aparat keamanan untuk mengambil langkah-langkah pemulihan
secepatnya.
- Agenda-agenda tersembunyi jaringan pelaku teror terbukti masih sulit untuk
diidentifikasi secara tuntas. Sel-sel yang dibangun sudah sedemikian rupa
membentuk akar yang kuat. Di tengah kecemasan yang terus membayangi
Indonesia, Asia Tenggara, dan dunia, dua buron Mabes Polri, yakni Dr Azahari dan
Noordin Moh Top, hingga sekarang belum juga dapat dibekuk. Walaupun kita tidak
tahu persis apakah teror akhir pekan lalu itu terkait dengan kedua nama utama itu
atau tidak, tetapi ''sirnanya'' Azahari dan Noordin bagaimanapun terus menumbuhkan
rasa waswas. Target agenda politik terorisme, sebagian memang sudah terbaca.
Persoalannya, mengapa target itu dengan enteng mengorbankan nyawa manusia
seolah-olah tidak ada lagi harganya?
Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA
|