Suara Merdeka, Sabtu, 24 Desember 2005
Natalan di Desa Terpencil Jepara Umat Kristen dan Islam
Memasak Bareng
BERHADAPAN: Masjid Al Mubarak (kanan) berdiri berhadapan dengan sebuah gereja
(kiri) di Dukuh Pekoso, Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. (57j) -
SM/Muhammadun Sanomae
Upaya kerukunan antarumat beragama semakin digalakkan. Mereka yang berlainan
agama pun berusaha mengimplementasikan kerukunan itu menjadi lebih konkret.
Misalnya para pemuda muslim dengan sukarela menjaga keamanan pada saat Natal.
Demikianlah gambaran kehidupan antarumat Kristen dan Islam di sebuah desa
terpencil di Jepara yang cukup harmonis, seperti laporan wartawan Suara Merdeka
kali ini.
PEMANDANGAN yang cukup fenomenal. Di RT 2 RW 3, Dukuh Pekoso, Desa
Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, sebuah gereja berdiri persis di depan
masjid. Cukup dekat, hanya terpisah jalan gang yang lebarnya tak lebih dari empat
meter. Arsitektur gereja dengan luas bangunan 195 m2 itu cukup sederhana, tak
tampak mewah. Cat dindingnya bermotif kalem. Pada 1988, gereja di sebelah timur
jalan itu dibangun. Terpampang nama Gereja Injili Tanah Jawa (GITJ) di papan
terasnya.
Di seberang jalan, persis di depannya berdiri sebuah masjid. Cukup megah untuk
ukuran desa di lereng Gunung Muria atau sekitar 60 km timur laut pusat kota Jepara.
Tak berlebihan menyebut desa penghasil kopi dan cengkih itu sebagai desa terpencil
karena terletak di balik tebing-tebing. Di tengah desa itu terhampar sungai dengan
aliran air jernih. Al Mubarak, demikian nama masjid yang baru dibangun pada 2001
dengan dana swadaya masyarakat setempat.
Cukup ramai di gang jalan desa itu karena puluhan rumah warga dibangun saling
berimpitan dekat gereja dan masjid. Bisa dilihat para muda-mudi yang duduk-duduk di
teras rumah. Anak-anak yang bermain sambil berlarian. Apalagi saat musim panen
kopi dan cengkih. Warga mengeringkan dua komoditas unggulan di jalan-jalan.
Demikian pula saat musim panen jagung dan padi hingga tak ada kesan sepi di desa
berpenduduk 4000 jiwa itu.
Lupakan sejenak "serial" konflik yang (konon) berlatar belakang agama di sejumlah
daerah di Indonesia dan berbagai kota di negara lain.
Dalam masalah kemasyarakatan, umat beda agama di Desa Tempur "tak sudi"
membawa label dan simbol-simbol agama, apalagi larut dalam fanatisme "kebenaran"
teologis masing-masing. Kedekatan bangunan rumah ibadah di perkampungan itu
justru membawa keharmonisan, keakraban, dan kehangatan interaksi umat yang
majemuk.
Simaklah penuturan dua tokoh di perkampungan itu, yaitu Arifin (35) Ketua RT 2 RW
3, Dukuh Pekoso yang juga pengelola masjid dan Pdt Suwadi, pemuka umat Kristen
Protestan di Pekoso.
Arifin memaparkan bagaimana masjid itu bisa berdiri di dekat gereja. Hingga 2001,
belum ada masjid di pedukuhan itu. Umat Islam berinisiatif membangun masjid. Tak
ada tanah yang bisa dibeli kecuali tanah di depan gereja itu. Akhirnya, desa
mengumpulkan tokoh umat Islam dan Kristen di balai desa soal rencana pendirian
masjid itu.
Pada 12 Mei 2001, diperoleh kesepahaman yang terdokumentasikan dalam lembaran
bermeterai dan ditandatangani oleh perwakilan tokoh agama dari umat Islam dan
Kristen. Inti kesepahaman itu adalah masing-masing pemeluk agama harus bisa
menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat dan mememelihara toleransi dalam
beragama. "Kedua pihak sepakat untuk memegang komitmen itu," ujar Arifin.
Kesepahaman itu mengingatkan Piagam Madinah yang menjadi pijakan kehidupan
keberagamaan di Madinah pada masa Nabi Muhammad. Ketika itu, sebagian besar
penduduk Madinah adalah dari kalangan muslim. Umat Yahudi dan Nasrani menjadi
minoritas. Sejarah kedamaian tersaji di Madinah kala itu.
Pemeluk Kristen Protestan di desa itu adalah kelompok minoritas, hanya ada
sembilan keluarga. Tiap-tiap keluarga rata-rata terdiri atas empat orang. Dari jumlah
itu, tujuh keluarga tinggal di Dukuh Pekoso. Pendatang pertama yang merintis
pendirian gereja adalah Poniyah, guru SD desa setempat yang asli Yogyakarta. Dia
adalah istri Pdt Suwadi yang asli kelahiran Desa Tempur. Sebelumnya, Suwadi
adalah seorang muslim yang mengelola mushala di dukuh itu. Dia pindah agama
sejak 1988. Suwadi adalah anak terakhir dari empat bersaudara yang semua muslim.
Giran, salah seorang kakak kandungnya, kini menjadi takmir Masjid Al Mubarak.
"Saya selalu menjalin dialog dengan saudara saya dalam menyelenggarakan kegiatan
keagamaan," tutur Suwadi.
Dia menuturkan bagaimana keharuannya saat pesta Natal 2005 yang berlangsung
pada Minggu (18/12). Ada 600-an umat Kristen yang hadir dalam pesta Natal di gereja
itu. Sebagian besar dari luar daerah. Karena ruangan dan teras gereja hanya bisa
menampung separo dari jumlah jemaat yang hadir, separo lainnya ditempatkan di
pendapa masjid.
Sebelum pesta, umat Islam laki-laki di perkampungan itu ikut sambatan mendirikan
tratak. Sementara itu, yang muslimah memasak bersama untuk menu pasugatan
Natal. Para pemeluk Kristen memberikan sedekah ala kadar untuk semua penduduk
di perkampungan itu.
Kilas balik sejarah keharmonisan mereka juga bisa ditelusuri dalam kehidupan
sehari-sehari. Sebelum masjid berdiri, acara misa di gereja biasanya dilakukan pada
Selasa, Kamis, dan Sabtu malam pukul 18.00 dengan menggunakan musik dan
paduan suara pujian. Namun sejak berdiri masjid, misa di gereja dilakukan setelah
shalat isya di masjid. Demikian pula ketika Ramadan, misa dilakukan lebih larut
malam karena menunggu selesai shalat tarawih. "Inilah toleransi kami dengan
saudara-saudara kami yang muslim," ujar Suwadi yang anak perempuannya yang
beragama Kristen menikah dengan seorang muslim.
Ingin tahu nilai yang menjadi pijakan Suwadi? Dia membuka Kitab Perjanjian Baru
terjemahan bahasa Jawa. Matheus 22: 37-40 menyatakan ajaran utama dalam hidup
adalah cinta pada Allah dengan sepenuh hati, jiwa, dan raga. Serta, mengasihi
sesama selayaknya mengasihi diri sendiri. "Dari ajaran ini, tidak ada alasan yang
membenarkan kami untuk memusuhi sesama, siapa pun mereka," ujar dia yang
bermata pencaharian sebagai petani.
Seakan berjalan alamiah, Arifin yang muslim itu pun lebih menemukan perjumpaan
ketimbang "perceraian" pemahaman hidup beragama di tengah keberagaman. "Apa
gunane rebutan balung tanpa sunsum?"
Demikianlah ungkapan Arifin sebagai spirit kehidupan keberagamaannya dan muslim
setempat. Tak ada gunanya, tandas dia, membela sesuatu yang bukan hakiki,
apalagi terbungkus dengan kebodohan.
Dia sadar, setiap orang memiliki keyakinan teologis. Namun dalam kehidupan di
masyarakat, keyakinan akan kemajemukan, kekhasan, dan perbedaan diyakini bisa
mendorong orang menjadi "lebih hidup" dalam hidup serta bisa menggairahkan
dinamika peradaban. Sebaliknya, keyakinan akan ketunggalan dalam bermasyarakat
akan membawa stagnasi dan kematian. "Karena pada dasarnya, sunah Tuhan di
alam ini adalah majemuk," katanya.
Arifin mengungkap Alquran, Surat Huud ayat 118-119, yang intinya Tuhan berkuasa
untuk membuat umat menjadi satu namun manusia tetap saja berselisih pendapat.
Sudah menjadi sunah-Nya, Tuhan mencipta alam ini dengan beragam dan
warna-warni.
"Orang yang tidak bermusuhan di tengah keragaman itulah yang akan mendapatkan
rahmat-Nya."
Masih terlalu panjang mengupas keunikan pola hubungan beragama di perkampungan
itu. Mereka tidak beragama dalam kategori sinkretis karena mereka sadar dengan
batas-batasnya sendiri.
Agama, ujar mereka yang tak mengenyam pendidikan di perguruan tinggi itu, memiliki
sisi teologi dan syariat sendiri-sendiri yang tak mungkin dipersatukan. Namun dalam
bermasyarakat, mereka lebih terbuka.
Mereka mengejawantahkan nalar agama yang "melampaui" ketimbang "merawat"
pemahaman dan klaim kebenaran yang tradisional. Tepatnya, mereka belajar dengan
baik dalam membangun dialog lintas iman yang "sadar". Sungguh, mereka melepas
kecurigaan-kecurigaan dalam beragama.(Muhammadun Sanomae-14j)
Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA
|