Suara Merdeka, Minggu, 23 Oktober 2005 : 20.53 WIB
Pencabutan SKB Bisa Timbulkan Benturan
Ambon, CyberNews. Menteri Agama Mafthuh Basyuni mengatakan bahwa bila Surat
Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menag No 1 tahun 1969 dicabut maka
tidak mustahil akan timbul benturan.
"Karena itu yang dibutuhkan adalah revisi SKB. Berhubung SKB itu dikeluarkan pada
tahun 1969, sementara Indonesia saat ini sudah banyak berubah," kata Menag dalam
dialog antar-umat beragama di Gereja Meranatha Ambon, Minggu (23/10).
SKB terdahulu, lanjutnya, sangat singkat dan multi-interpretasi, karena itu perlu
direvisi dengan SKB yang lebih menguraikan seperti pembentukan forum komunitas di
tingkat grassroot. Selain itu SKB juga harus didasarkan UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemda, guna menggantikan UU terdahulu pada tahun 1975.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Balitbang Depag Atho Mudzar menyangkal
tuduhan bahwa SKB menghalangi kebebasan beragama untuk membangun rumah
ibadah karena sejak tahun 1977 hingga 2004 jumlah rumah ibadah telah bertumbuh
sangat pesat. "Jika dibandingkan antara tahun 1977 dan 2004, jumlah rumah ibadah
meningkat pesat," Atho Mudzar.
Menurut data Depag, rumah ibadah Islam mengalami kenaikan 64,22 persen dari
392.044 menjadi 643.834 pada tahun 2004. Sementara rumah ibadah umat Kristen
melonjak 131,38 persen dari 18.977 menjadi 43.909, dan Katholik 152,79 persen dari
4.934 menjadi 12.473 bangunan pada tahun 2004.
Lebih lanjut ia menegaskan, SKB juga tidak bertentangan dengan Pasal 29 UUD
1945, karena dimaksudkan untuk membina kerukunan umat beragama di Indonesia.
Meski demikian, ia mengakui bahwa SKB itu memang sulit diterapkan di tingkat
lokal.
Atho mengatakan SKB tahun 1969 hanya terdiri atas 6 pasal. Dari 33 provinsi yang
ada di Indonesia, hanya enam provinsi yang menjabarkannya ke dalam peraturan di
bawahnya. "Provinsi itu antara lain DKI Jakarta, Bengkulu, Riau, Sultra, dan Bali,"
ucap Atho. ( ant/cn05 )
Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA
|