SUARA PEMBARUAN DAILY, 2 Januari 2006
Bom Palu Pertanda Intelijen Lumpuh
[PHOTO: Pembaruan/Jeis Montesori S. JAGA LOKASI - Polisi berjaga di lokasi
ledakan di Jalan Sulawesi, Palu, Minggu (1/1)]
JAKARTA - Kasus bom Palu, Sulawesi Tengah yang terjadi akhir tahun 2005, Sabtu
(31/12) pagi pekan lalu dengan delapan orang korban dan puluhan lainnya luka-luka,
menjadi pertanda fungsi intelijen lumpuh. Karena itu, Presiden diminta tidak ragu
bertindak mengganti pejabat aparat terkait yang gagal melaksanakan tugasnya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) Ali Moachtar
Ngabalin yang sedang berada di Makassar, Sulawesi Selatan mengatakan hal itu
kepada Pembaruan Senin (2/1) pagi berkaitan dengan kasus bom Palu.
Menurut Ali Mochtar, kasus Palu merupakan peristiwa yang sangat serius, karena
bukan baru kali ini, tetapi sudah berulangkali, sementara aparat keamanan terutama
intelijen tidak mampu mengungkap siapa di balik kasus yang beruntun itu.
"Mungkin tidak hanya Kapoltabes Palu, atau Kapolda Sulteng yang perlu diganti,
pejabat intelijen, yakni Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Syamsir Siregar juga
harus dimintai pertanggungjawaban atau diganti. Apalagi, pejabat bersangkutan
menjelang akhir tahun mengeluarkan pernyataan konyol soal strategi baru teroris,
yakni penculikan," tegas Ali Mochtar Ngabalin.
Bom Palu itu, kata Ngabalin, menjadi pertanyaan besar, kenapa sampai sekarang
belum bisa terungkap siapa otak di balik semua peledakan dan aksi teror itu.
Bayangkan saja, mulai dari kasus penembakan jaksa, pendeta dan seorang dosen
hingga empat siswi di Sulteng, semuanya belum terungkap siapa sebenarnya
dalangnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR Effendy Choirie mengatakan, meledaknya bom di Kota
Palu, merupakan kado buruk akhir tahun 2005 Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla. Kasus ini makin membuktikan Pemerintahan
Yudhoyono-Kalla tidak mampu memberikan rasa aman dan janjinya hanya pepesan
kosong.
Hal itu dikemukakan Effendy Choirie kepada Pembaruan di Jakarta, Minggu (1/1).
Politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut menyatakan terkejut dengan
masih adanya kasus bom Palu yang menewaskan tiga orang dan beberapa lainnya
menderita luka-luka.
Menurut Effendy Choirie, ketidakmampuan Pemerintahan Yudhoyono-Kalla
mewujudkan rasa aman bagi rakyatnya tersebut, tidak terlepas dari kelemahan
intelijen, baik Badan Intelijen Nasional (BIN), TNI maupun kepolisian. Intelijen selalu
kecolongan, kalau pun memiliki informasi, tetap tidak mampu melakukan antisipasi.
Berkaitan dengan itu kata Wakil Ketua Komisi I tersebut, perlu ada evaluasi total atas
kinerja intelijen, terutama BIN. Mereka yang tidak mampu melaksanakan tugasnya
sebagai pejabat, perlu dipertimbangkan diganti dan diberikan kepada orang yang
sudah berpengalaman.
Pengecut
Sementara itu, salah seorang tokoh Deklarasi Malino, Pdt Damanik dalam pesan
singkatnya melalui telepon selulernya Sabtu pagi menyatakan sangat kecewa dengan
meledaknya bom di Palu. ''Saya kecewa, sedih dan marah, karena kebiadaban terus
terjadi di Sulteng. Pelaku Bom adalah manusia-manusia pengecut yang tak berani
menampakkan dirinya, saya tantang para pelaku bom, jangan korbankan rakyat,''
tegasnya.
Pdt Damanik juga menyesalkan para petinggi yang hanya menghubungi tokoh agama
setiap ada kejadian agar umat tidak terprovokasi. "Seolah-olah kami hanya seperti
pemadam kebakaran, lalu kapan aparat bisa mengungkap para pelakunya," ujarnya
kesal. Berkaitan itu pula, Damanik mengimbau warga agar tidak terprovokasi, tetapi di
sisi lain, jangan pula terlena dengan propaganda bahwa daerah ini dan itu aman.
Sebab, buktinya, kasus kebiadaan terus terulang di Sulteng, karena itu aparat
keamanan harus benar-benar profesional dan berani membuka tabir di balik
kebiadaban ini.
Deklarator Gerakan Moral Nasional (Geralnas) Indonesia, KH Drs Hasyim Muzadi
mengingatkan, peledakkan bom di Palu,, hampir dapat dipastikan terkait dengan aksi
teror bom-bom di Poso sebelumnya. Peledakkan bom di pasar daging babi tersebut
merupakan indikasi kuat bahwa tidak adanya persamaan visi, persepsi serta gerakan
antara aparat pemerintah dan tokoh masyarakat setempat.
"Sebelum saya berangkat ke Syria medio Desember lalu, tokoh masyarakat Poso
dan Palu sudah datang ke PBNU mengadukan tidak adanya persamaan itu dalam
menghadapi kekerasan dan aksi terorisme di Palu (dan Poso)," ujar Hasyim Muzadi
yang juga Ketua Umum PBNU menjawab pertanyaan Pembaruan, Minggu (1/1). Ada
selisih pemahaman yang dilakukan pihak aparat pemerintah dengan apa yang
dirasakan oleh tokoh dan masyarakat setempat.
Lebih lanjut diungkapkan, bahwa teror di Palu, yang kemungkinan besar terkait pula
dengan kekerasan di Poso (dan sekitarnya) masih saja berlanjut dan bahkan terkesan
terkatung-katung, karena tidak ada persamaan visi, persepsi serta gerakan antara
aparat pemerintah dengan tokoh masyarakat setempat. (M-15/070)
Last modified: 2/1/06
|