SUARA PEMBARUAN DAILY, 3 Januari 2006
Kontras Pesimistis Polisi Dapat Ungkap Tuntas Kasus Palu
JAKARTA - Pemerintah didesak membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk
mengusut kasus bom Palu, Tentena dan pemenggalan tiga siswa di Poso. Tanpa
membentuk TPF, Kontras pesimis pengusutan kasus-kasus tersebut yang sampai
sekarang dilakukan aparat penegakan hukum, seperti Polri akan tuntas.
Hal itu dikatakan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras), Usman Hamid dalam konferensi pers di kantor Kontras, Senin
(2/1). Selain Usman, turut hadir dalam acara itu adalah Lilis Setyowati dari
Kalyanamitra (Solidaritas Perempuan); Astuti Liestyanigrum dari LBH Apik,
Mugiyanto dari Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) dan Rafendi Djamin dari Human
Rights Working Group (HRWG).
Sebagaimana diberitakan sebuah bom meledak di Jalan Sulawesi, Palu, Sulawesi
Tengah, Sabtu (31/12) pukul 07.00 WIB. Akibat dari bom itu, tujuh orang meninggal
dunia dan 54 orang luka-luka.
Pada 26 Oktober 2005 lalu, tiga orang siswi yakni Theresia Morangki (17), Ida
Lambuaga (15) dan Alfitha Poliwo (15), ketiganya siswi SMA Kriten Poso, ditemukan
tewas mengenaskan di Kelurahan Bukit Bambu menuju ke sekolahnya di kota Poso.
Lebih ke belakang lagi, Sabtu, 28 Mei 2005 lalu, dua bom meledak di Tentena, yang
menewaskan setidaknya 22 orang serta melukai puluhan orang lainnya. Sampai
sekarang pengusutan kasus-kasus tersebut tidak jelas.
Menurut Usman, masyarakat Poso dan Palu sendiri beberapa kali turun ke jalan
untuk menuntut pembentukan TPF untuk mengusut kasus-kasus kekerasan di Poso,
Palu dan sekitarnya. TPF yang dimaksud, jelas Usman, fungsinya bukan hanya
mengumpulkan fakta, tetapi juga mengevaluasi dan mendorong kinerja aparat dalam
mengusut kasus-kasus kekerasan di Poso, Palu dan sekitarnya.
Ia mengatakan, TPF itu harus dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres).
Selain itu, orang-orang yang direkrut dalam TPF itu adalah orang-orang yang
independen, berintegritas dan mempunyai kemampuan intelektual yang memadai.
"Saya pikir tim ini sungguh membantu pemerintah dan aparat dalam mengusut
kasus-kasus yang ada di sana," kata dia.
Menurut Usman, untuk meredam dan mengusut kasus kekerasan di Poso dan Palu,
pemerintah tidak perlu membuat desk khusus, seperti untuk masalah Aceh dan
Papua. Sebab, penyelesaian masalah Aceh dan Papua bukan karena peran dari desk
khusus tersebut.
"Saya pikir, yang terpenting langkah nyata seperti pembentukan TPF," kata dia.
Dalam pernyataan sikap bersama para aktivis itu, menyatakan prihatin atas jatuhnya
korban jiwa dan luka-luka pada peristiwa ledakan di Palu, Sabtu, 31 Desember 2005.
Mereka mengecam pelaku di balik peristiwa yang terus mengulangi aksinya di Poso,
Palu dan sekitarnya.
Mereka juga mempertanyakan terulangnya kembali kegagalan intelijen menyediakan
sistem peringatan dini aksi pemboman. Jaringan aktor pelaku bisa beraksi di saat dan
di lokasi tertentu yang tak termonitor aparat yang menjaga keamanan.
Untuk mencegah kekerasan berlanjut, kata mereka, pemerintah segera menangkap
serta mengungkap pelaku dan motif pemboman secepatnya. Masyarakat lelah dan
bosan dengan aksi teror dan kekerasan di kota Palu dan Sulawesi Tengah pada
umumnya tanpa diiringi proses hukum yang antisipatif, cepat dan tanggap.
Atas pemboman di Palu, Sabtu lalu itu, Presiden mengutuk dan meminta Kapolri
melakukan pengusutan dan pengembangan dengan kasus-kasus lainnya. Sementara
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan akan membuat sebuah task force
khusus mengenai peledakan di Palu. Task force ini akan berperan melakukan
kegiatan intelijen dan penindakan.
Para aktivis itu menilai, respon negara seperti itu bukan hal baru. Pengusutan dan
membuat tim khusus bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat atas kekerasan di
Poso dan Palu.
Sejak 2003 telah digelar operasi intelijen, Operasi Sintiwu Maroso, pembentukan
Satgas Menkopolhukam serta penunjukan Kepala Badan Reserse dan Kriminal
Mabes Polri sebagai tim penegakan hukum atas kekerasan di Poso. Setiap aksi
kekerasan terjadi ada respon cepat, tapi tanpa hasil dan gagal meredam aksi
berikutnya. Respon pemerintah tidak dianggap serius oleh pelaku kekerasan. (E-8)
Last modified: 3/1/06
|