SUARA PEMBARUAN DAILY, 7 Januari 2006
Mi Sagu Tanpa Pengawet, Mudah Diproduksi dan Sehat
Masyarakat di daerah penghasil utama sagu di kawasan timur Indonesia, justru tidak
mengenal mi sagu. Para peneliti Balai Besar PascapanenBadan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pertanian telah menambahkan sedikit teknologi dalam
proses pembuatannya, dan tinggal komitmen pemerintah untuk mempopulerkannya
dan mengajak masyarakat mengonsumsi mi berbahan baku sagu.
NEGARA kita kembali dihebohkan kasus makanan yang menggunakan bahan kimia
berbahaya. Kali ini ditemukan banyak makanan, terutama mi, tahu, dan ikan
mengandung formalin yang biasa digunakan untuk mengawetkan mayat. Dampak
bahan kimia yang dijual bebas ini sungguh mengerikan, bisa menyebabkan berbagai
penyakit, antara lain tumor dan kanker.
Bahan kimia berbahaya itu telah masuk ke dalam tubuh jutaan rakyat sejak
bertahun-tahun lalu karena dipakai oleh industri makanan massal yang biasa
dikonsumsi sehari-hari. Semua pihak pun dengan mudahnya saling melempar
tanggung jawab. Bahkan ada yang dengan entengnya menyalahkan rakyat. Dampak
lainnya adalah bangkrutnya industri kecil yang memproduksi mi dan tahu.
Selama bertahun-tahun pula kita menggunakan tepung terigu dari gandum untuk
bahan baku mi dan makanan lainnya. Terigu dari gandum itu hampir semuanya
diimpor dalam jumlah jutaan ton, dan akan terus diimpor karena kita masih terus
bergantung, seolah-olah tidak ada yang layak dikonsumsi selain terigu jenis ini.
Padahal, banyak tepung dari bahan lain yang asli Indonesia. Sagu, misalnya, bisa
jadi bahan baku mi dan makanan lainnya.
Mi berbahan baku sagu sebenarnya sudah dipopulerkan dengan nama "Mi Metro"
oleh Balai Besar Pascapanen (BB-Pascapanen) Badan Penelitian dan
Pengembangan (Balitbang) Departemen Pertanian. Mi yang terbuat dari tepung sagu
(dari tanaman Metroxylon, sp) ini adalah generasi baru dari "mi gleser" yang dikenal
masyarakat Bogor, Cianjur, dan Sukabumi.
Masyarakat di daerah penghasil utama sagu di kawasan timur Indonesia, justru tidak
mengenal mi sagu. Para peneliti BB-Pascapanen telah menambahkan sedikit
teknologi dalam proses pembuatannya, dan tinggal komitmen pemerintah untuk
mempopulerkannya dan mengajak masyarakat mengonsumsi mi berbahan baku
sagu.
Mi Gleser
Di samping mi modern yang kita kenal sebagai mi instan dan terbuat dari terigu,
secara tradisional ada produk seperti mi yang berkembang terbatas di daerah Bogor,
Cianjur, dan Sukabumi. Masyarakat setempat menyebutnya "mi gleser". Sebagian
orang memberi julukan "mi pentil" lantaran kenyal mirip pentil untuk ban sepeda. Ada
pula yang menyebutnya "mi leor". Jenis produk ini seratus persen dibuat dari pati
sagu. Produk serupa ternyata juga beredar secara terbatas di daerah Riau dan
sekitarnya.
Namun, mi yang dihasilkan oleh industri rumah tangga ini sarat dengan berbagai
persoalan yang dihadapi kelompok perajin, seperti masalah bahan baku, sanitasi
selama pengolahan, penggunaan bahan pengawet, dan tentu saja masalah
permodalan.
Seringkali mi memiliki aroma khas yang kurang disukai, dan penggunaan pewarna
maupun pengawet yang tidak mengikuti persyaratan untuk bahan pangan. Pasalnya,
hingga saat ini memang belum ada prosedur baku untuk produksi "mi gleser", apalagi
yang disebut standar.
Hal tersebut merupakan kelemahan dan perlu kepedulian untuk perbaikan agar
menghasilkan pangan yang bermutu meski diproduksi oleh perajin. Sebagai industri
kecil bidang pangan yang berbahan baku lokal, semestinya mendapat perhatian dan
binaan. Mi tersebut dipasarkan dalam keadaan basah, dijual dalam keadaan curah
ataupun dibungkus dalam kantong plastik, biasanya berwarna kuning transparan
tetapi kadang-kadang ada yang berwarna kuning kemerahan. Di banding mi berbahan
baku tepung terigu gandum, mi sagu harganya sangat murah.
Perbaikan dari hasil penelitian BB-Pascapanen, antara lain penggunaan air bersih dan
sanitasi selama proses pengolahan memberikan mutu mi yang lebih baik, ini ditandai
dengan hilangnya bau yang kurang sedap. Hasil lainnya, penurunan bahan tambahan
(tawas) dari tiga persen di tingkat perajin menjadi satu persen, dengan hasil mi tetap
disukai. Perbaikan ini menghasilkan mi sagu dengan jaminan kualitas, bahan pangan
sehat hasil proses yang higienis.
Banyak Khasiatnya
Mi sagu banyak memiliki khasiat bagi kesehatan. Ir Endang Yuli Purwani MSi,
peneliti BB-Pascapanen yang menggeluti mi sagu mengemukakan, mi sagu
mempunyai kandungan resistant starch (RS) atau pati tak tercerna lebih besar
dibandingkan dengan mi instan atau mi terigu biasa. Kadar RS dalam mi sagu sekitar
45 miligram, atau 4-5 kali lebih besar dibanding mi instan. RS dihasilkan pada saat
proses perendaman helaian mi dan memicu rekristalisasi pati yang dikenal dengan
retrogradasi.
"Pati retrogradasi merupakan salah satu sumber pati yang tidak dapat dicerna oleh
enzim-enzim dalam sistem pencernaan manusia. Kemudian difermentasi oleh
mikroflora di dalam usus besar. Fungsi prebiotik ditunjukkan oleh RS dengan menjaga
keseimbangan mikroflora usus," tutur Endang.
Dijelaskan, sifat asli pati sagu tidak memiliki gluten jenis protein pada tepung terigu
yang berperan penting dalam pembentukan adonan untuk mi, sehingga teknik
pembuatan mi sagu berbeda karena adonan tidak dapat dibentuk menjadi lembaran
seperti pada cara pembuatan mi terigu.
Untuk membuat adonan diperlukan "lem sagu" yang berperan sebagai pengikat,
kemudian pati sagu kering dicampurkan dan diaduk hingga terbentuk adonan licin,
kemudian dicetak. Cetakan mi sagu berupa tabung dengan plat berlubang pada
bagian bawahnya. Adonan dimasukkan ke dalam cetakan kemudian ditekan, dan mi
sagu akan keluar dari cetakan.
Selanjutnya, mi direbus dalam air mendidih sampai mengapung dan direndam dalam
air dingin yang mengalir, kemudian ditiriskan. Untuk mempertahankan helaian mi
tidak saling melengket, mi perlu dilumuri dengan minyak sayur. Jika sudah terbiasa,
tak sulit membuat mi sagu, dan yang terpenting adalah khasiatnya itu.
Mi sagu perlu diperkenalkan ke kawasan timur Indonesia sebagai produsen sagu
utama. Bahkan juga ke seluruh Indonesia, sehingga tanaman dan industri sagu bisa
berkembang pesat. BB-Pascapanen telah merintisnya melalui kerja sama dengan
Dinas Pertanian Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, berupa sosialisasi mi
sagu dan teknologi pembuatannya.
Kegiatan itu telah membuahkan hasil dengan mulai tumbuhnya kelompok yang
memproduksi mi sagu, namun harus ditingkatkan lagi agar lebih memasyarakat.
Melalui berbagai promosi, banyak pihak di Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,
Maluku, dan Papua berminat mengadopsi teknologi pengolahan mi sagu.
PEMBARUAN/SUMEDI TP
Last modified: 7/1/06
|