SUARA PEMBARUAN DAILY, 01 November 2005
Konflik Poso Tiada Akhir (1)
Dari Air Mata, Darah, dan Nyawa
Tragedi berdarah kembali terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Kepercayaan warga
kepada pemerintah semakin meluntur. Kepada siapa lagi harus mengadu? Demikian
banyak jumlah aparat keamanan bertugas, tetapi aksi-aksi pembunuhan misterius,
teror bom, terus terjadi. Wartawan Pembaruan, Jeis Montesori melaporkan dari Poso
dua tulisan yang dimuat hari ini dan besok Rabu (2/11).
[PHOTO: DIMAKAMKAN - Jenazah korban Theressia Morangke (16) dan Alfita Poliwo
(15) dimakamkan satu liang di taman pekuburan Kristen di Dusun Buyumboyo,
Kelurahan Bukit Bambu, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah,
Minggu {30/10}. Pembaruan/Jeis Montesori S.]
PULUHAN warga duduk dengan wajah muram di teras rumah berukuran empat kali
enam meter persegi. Tak banyak yang bercakap-cakap. Sebagian, kaum ibu dan
bapak-bapak, mengenakan pakaian serba hitam. Suasana kepedihan terpancar di
wajah-wajah mereka. Mata bengkak, sembab, merah.
Dua aparat berbaju loreng dengan senjata lengkap berjaga-jaga. Tetapi warga tak
ambil pusing. Perasaan sedih, cemas, kecewa, takut, lebih mengalahkan
segala-segalanya.
Mereka, warga Dusun Buyumboyo, Kelurahan Bukit Bambu, Kecamatan Poso Kota,
Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), seperti tidak punya pengharapan lagi.
Berkali-kali mereka menjadi korban pembantaian dari orang-orang yang tak
bertanggung jawab di Poso. Rumah-rumah mereka dibakar, warga dikejar dan
dibunuh.
Pada April 2000, ketika pecah kerusuhan Poso III, seluruh warga Buyumboyo
mengungsi karena dikejar para perusuh. Rumah-rumah mereka hangus, rata tanah,
dibakar. Dan yang sangat menyedihkan, ketika semua itu terjadi, warga Buyumboyo
merasa sama sekali tidak dilindungi. Aparat keamanan, bahkan negara yang sangat
mereka cintai, seperti membiarkan mereka, meninggalkan mereka.
Hingga terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan Sabtu (29/10) lalu. Tiga gadis
Buyumboyo dibunuh secara sadis oleh orang tak dikenal di Poso. Ketiga gadis itu,
Theressa Morangke (16), Alfita Poliwo (15), dan Yarni Sambue (15), dibantai,
dipenggal lehernya, dalam perjalanan menuju sekolahnya di SMU Kristen Poso.
Sekolah itu berjarak sekitar 3,5 km dari rumah para korban.
Dipenggal
Seperti biasanya, Theressa, Alfita, Yarni, dan seorang lainnya, Nofiana Malewa,
berangkat ke sekolah pukul 06.30 waktu setempat. Mereka berjalan kaki, karena
angkutan umum memang masih sulit menembus dusun tempat tinggal mereka yang
lumayan jauh dari Kota Poso itu. Gadis-gadis yang masih bersaudara sepupu itu,
melewati jalanan setapak sambil membawa bunga furing, pesanan Mama Glend,
keluarga para korban di Kota Poso.
Tetapi, tiba di pertengahan jalan, gadis-gadis Buyumboyo yang duduk di kelas 1 dan
3 SMU itu, tiba-tiba dicegat empat lelaki bertopeng. Laki-laki bertopeng itu langsung
mengayunkan parangnya, menebas kepala hingga terpisah dari badan.
Kepala yang dipenggal itu dimasukkan ke dalam plastik hitam, dibuang pada jarak
10-15 km dari lokasi pembunuhan. Kepala Theressa dan Alfita dibuang di
semak-semak di pinggir jalan antara Desa Tagolu, Kecamatan Lage, dan Kelurahan
Sintuwu Lembah, Kecamatan Poso Kota. Daerah itu dikenal sebagai daerah kilometer
9, bekas pusat Pesantren Walisongo, yang sudah ludes dibakar massa pada
kerusuhan Poso tahun 2000. Kepala Yarni dibuang di depan rumah penduduk, dekat
Gereja Pantekosta, Kelurahan Kasiguncu, Kecamatan Poso Pesisir. Kejadian itu
berlangsung begitu cepat. Pembunuhan ketiga korban terjadi sekitar pukul 07.00
waktu setempat, dan kepala-kepala korban termasuk tubuhnya ditemukan hanya
selang satu jam kemudian.
Satu-satunya korban yang selamat dalam peristiwa itu Nofiana Malewa (16), yang
turut serta bersama ketiga korban untuk ke sekolah. Nofiana sempat ditebas pipi
kirinya, tetapi gadis itu cepat melompat ke jurang dan lari menyusuri sungai hingga
tiba di perkampungan. Ia diselamatkan penduduk.
Orang-orang Terlatih
Sumber di Mapolres Poso menyebutkan, kasus pemenggalan ketiga gadis di Poso
itu, sangat sempurna. Kasus itu mengingatkan pada kasus lain yang menimpa Agus
Pasule dan Stefanus, warga Desa Masani, Kecamatan Posisir, yang sampai
sekarang pelakunya belum ditemukan.
Kapolres Poso AKBP Soleh Hidayat mengemukakan, pelaku pembunuhan sadis itu
diduga lebih dari tiga orang dan mereka sangat memahami situasi di sekitar lokasi
kejadian. "Pelakunya juga diduga sudah merencanakan pembunuhan itu, dan
motifnya ingin memecah belah warga Poso yang saling berbeda agama," ujarnya,
saat memaparkan hasil penyelidikan sementara atas kasus tersebut dalam
pertemuan dengan Kapolri Jendral Sutanto di Poso, Minggu (30/10).
Pertanyaan yang sangat mendasar pun muncul, di mana aparat keamanan saat
terjadi pembunuhan yang menghebohkan dunia itu? Bukankah di Poso tersebar
ratusan pos pengamanan yang melibatkan sekitar 3.500 personel TNI/Polri, atau
setara dengan tiga satuan setingkat batalion (SSK) yang sedang melakukan tugas
operasi pemulihan keamanan Poso (Operasi Sintuwu Maroso)? (Bersambung)
SUARA PEMBARUAN DAILY, 02 November 2005
Konflik Poso Tiada Akhir (2 - Habis)
"Kami Berusaha Menemukan Pelaku ..."
Tragedi berdarah kembali terjadi di Poso, Sulawesi Tengah. Kepercayaan warga
makin meluntur. Kepada siapa lagi harus mengadu? Demikian banyak jumlah aparat
keamanan bertugas, tetapi aksi-aksi pembunuhan misterius, teror bom, terus terjadi.
Berikut laporan terakhir wartawan Pembaruan Jeis Montesori dari Poso.
BERTUBI-TUBI pencobaan menimpa warga Dusun Buyumboyo, Kelurahan Bukit
Bambu, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Berkali-kali mereka menjadi korban pembantaian orang- orang tak bertanggung jawab.
Pada April 2000, ketika pecah kerusuhan Poso III, warga Buyumboyo mengungsi
karena dikejar perusuh. Rumah-rumah mereka dibakar. Dan, tragisnya, aparat tak
berdaya mencari pelakunya.
Sabtu (29/10) lalu, kembali terjadi peristiwa tragis. Tiga gadis Buyumboyo dibunuh
orang tak dikenal.
Ketiganya, Theressia Morangke (16, bukan Theressa, Red), Alfita Poliwo (15), dan
Yarni Sambue (15), dibantai, dipenggal lehernya, dalam perjalanan menuju sekolah,
SMU Kristen Poso. Sekolah itu berjarak sekitar 3,5 km dari rumah korban.
Sebelum kasus pembunuhan itu, Pembaruan mencatat sejak Agustus - Oktober,
empat warga Poso tewas ditembak penembak miste- rius.
Sampai sekarang pelakunya belum diketahui. Korbannya, Budianto, Sugito, Asrin
Lajidi, dan anggota Polres Poso Briptu Agus Soleman.
Pada 28 Mei lalu, terjadi ledakan bom di Pasar Tentena, yang menewaskan 22 orang
dan melukai 78 warga sipil lainnya. Yang mengherankan, tak satu pun pelaku berhasil
ditangkap.
"Aparat yang ditugaskan di Poso bukan hanya tidak memiliki kemampuan
menangkap pelaku, tetapi juga tidak mampu mendeteksi secara dini segala rencana
jahat yang hendak dibuat pelaku untuk menghabisi korban-korban yang tak berdosa
di Poso," kata Sekretaris Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah
(GKST) Pdt Irianto Kongkoli kepada Pembaruan, di Tentena, Senin (31/10).
Ia melihat sudah terjadi kejenuhan aparat yang bertugas dalam Operasi Sintuwu
Maroso di Poso. Perlu ada penyegaran, "Kalau perlu, mereka yang sudah tidak
memiliki kemampuan, diganti saja."
Profesional
Bukannya tak ada aparat bertugas di Buyumboyo ketika tiga siswi itu dibantai. Di
dusun yang berjarak sekitar enam kilometer dari Kota Poso itu terdapat dua pos
keamanan TNI dan Polri, masing-masing dijaga sepuluh petugas. Namun,
pembunuhan itu sendiri terjadi sekitar satu kilometer dari pusat permukiman
penduduk atau pos keamanan.
"Waktu korban berteriak minta tolong, sama sekali tidak ada aparat yang mendengar.
Teriakan minta tolong didengar warga yang kebetulan lewat tidak jauh dari lokasi
pembunuhan. Merekalah yang melapor ke aparat," ujar Yuyun (30), warga dusun itu.
Direktur Lembaga Pengembangan Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (LPSHAM)
Sulteng Syamsul Alam Agus, menyatakan pelaku pembunuhan itu tidak hanya
terlatih tetapi sangat berani dan profesional. "Bayangkan, kepala korban dengan
darah-darah segarnya dibawa melewati pos-pos keamanan TNI/Polri di sepanjang
jantung Kota Poso dan selanjutnya diletakkan di permukiman," katanya.
Ia menilai kemampuan deteksi aparat keamanan di Poso sangat buruk akibat
kepentingan dan sistem komando yang berbeda. Telah terjadi infiltrasi kekuatan
politik dan bersenjata terhadap kelompok terorganisasi di Poso yang diduga berada di
balik aksi-aksi pembunuhan keji itu.
"Negara telah gagal memberi memenuhi kewajibannya memberi rasa aman, keadilan,
dan tegaknya kebenaran bagi rakyat di Poso," katanya.
Itu sebabnya ketika Kapolri Jenderal Sutanto mengunjungi Poso, Minggu (30/10),
warga Buyumboyo maupun warga Poso pada umumnya, berpendapat kunjungan itu
tak banyak pengaruhnya. "Seratus kali pun Kapolri berkunjung, kalau tidak mampu
menangkap pelaku-pelaku pembunuhan itu, kunjungan itu tak ada artinya. Yang kami
butuhkan saat ini, tangkap dan hukum pembunuh biadab yang menghancurkan
kehidupan kami," ujar Sartje Tangkidi (62).
Tiga hari sebelum kejadian, atau Rabu (26/10), warga Buyumboyo itu sempat melihat
dan berpapasan dengan tiga orang mencurigakan berkeliaran di jalan setapak
menghubungkan Buyumboyo dan Kelurahan Sayo Poso itu. Saat itu ia bersama
anaknya yang masih kecil hendak berjualan sayur ke pasar.
Sartje tidak mengenal mereka. Karena takut, ia memilih pulang lewat jalan lain,
membonceng sepeda motor menantunya yang juga mau ke Buyumboyo.
Orang tua Theressia, Alfita, dan Yarni, dihubungi terpisah di Buyumboyo dan Tentena,
juga mendesak pemerintah dan aparat keamanan dapat mengungkap secepatnya
pelaku-pelaku pembunuhan yang menewaskan anak kesayangan mereka. "Kami
yakin pelakunya hanya ada di sekitar dusun kami. Kalau aparat tidak menemukan
mereka, kehidupan kami tak pernah akan tenang," kata Hernius Morangke (54), ayah
Theressia.
Staf di kantor Lurah Buyumboyo itu mengaku sulit melupakan kejadian tersebut. Ia
sangat mengasihi putri bungsunya, bahkan menyiapkan anak gadisnya itu masuk
perguruan tinggi hingga tamat. "Agar ada yang bisa mengangkat kehidupan keluarga
kami," kata Hernius yang mengaku hanya tamat sekolah dasar.
Ia mengubur angan-angan itu, bersamaan penguburan putri bungsunya itu di
pekuburan Kristen Buyumboyo, dengan Alfita yang juga sepupunya. Sedangkan
Yarni, dikubur di Tentena, ibu kota Kecamatan Pamona Utara, tak jauh dari rumah
orangtuanya, yang sejak 2002 mengungsi dari Buyumboyo. "Kami serahkan semua
kepada Tuhan. Tuhan yang akan membalaskan perbuatan mereka," kata Wanggo
Sambue (48), ibu Yarni.
Memancing Konflik
Berbagai aksi kekerasan yang terus terjadi di Poso, sebenarnya berusaha
memancing konflik baru. Tetapi, warga Poso sudah sangat menyadari, dan berusaha
keras tidak terpancing. Konsep Deklarasi Malino yang mendorong perdamaian di
tingkat warga, menurut Irianto Kongkoli, sebenarnya cukup berhasil.
Yang belum berhasil, aparat keamanan menghentikan kekerasan di Poso.
"Masyarakat Poso sedang diuji kesabarannya saat ini. Tapi kalau terus-menerus
dibiarkan seperti ini, kondisinya bisa sangat berbahaya," ia menambahkan.
Kapolda Sulteng Brigjen Pol Oegroseno menyatakan peristiwa itu sebagai upaya
provokasi yang dilakukan segelintir orang, untuk memancing terjadinya lagi kerusuhan
massa seperti tahun 2000. Ia meminta warga tidak terpancing. "Dan kami akan
berusaha menemukan pelaku untuk dihukum sesuai pelanggarannya," katanya.
Ketua Forum Silahturahim Perjuangan Umat Islam Poso (FSPUIP) Ustaz Adnan Arsal
mengatakan, pasca-Deklarasi Malino (Desember 2001), tokoh-tokoh agama di Poso
selalu menggulirkan dialog-dialog antarumat beragama. Upaya membangun
harmonisasi itu berhasil. Tokoh-tokoh beragama sudah sepakat tidak saling tuduh jika
ada peristiwa-peristiwa kekerasan.
Menanggapi pernyataan warga, Kapolri Sutanto berjanji mengevaluasi dan mengubah
kebijakan Operasi Sintuwu Maroso dalam waktu dekat. Semua berharap masalah di
Poso segera berakhir, apalagi Presiden menerbitkan Inpres No 4/2005 tentang
mekanisme penyelesaian masalah Poso. Deputi IV Menkopolkam Demak Lubis
dalam kunjungan mendampingi Kapolri ke Poso menyatakan, Presiden mengeluarkan
Inpres itu untuk penanganan masalah Poso secara lebih terpadu dan komprehensif
(Habis). *
Last modified: 2/11/05
|