SUARA PEMBARUAN DAILY, 13 Oktober 2005
Bhinneka Tunggal Ika dalam Perspektif dan HAM
JE Sahetapy
And even if we should not be able to agree, let us do so in a way which will make the
world safe and secure still in our diversity - John F Kennedy
SIAPA yang tidak mengenal dan memahami Bhinneka Tunggal Ika? Praktis semua
orang, termasuk sebagian besar orang asing atau warga negara Republik Indonesia,
dengan perkecualian orang-orang atau suku-suku tertentu di daerah pedalaman
beberapa pulau tertentu di Tanah Air kita.
Pemahaman ini tidak berarti dengan sendirinya diimplementasikannya atau dihayati
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, wakil-wakil rakyat yang
terhormat di Senayan dan para Pemimpin Bangsa dan Negara acapkali kurang
mempertimbangkannya dalam pengambilan keputusan.
Sebelum dan sesudah Indonesia diproklamasikan, bahkan sampai kini pun, selalu
ada saja yang mempersoalkan hal tersebut atau (sengaja) dilupakan aspek
Kebhinekaan, apalagi kalau itu dikaji dalam konteks dengan HAM.
Yang mengherankan parameter mayoritas seringkali yang jadi tolak ukur "absurditas".
Catatan singkat dari perspektif sejarah tanpa ingin mengelaborasi, apalagi secara
mendalam, dapat dicatat kebhinnekaan sudah diperdebatkan sejak percakapan dalam
BPUK. Ide/konsep integralistik pada mula pertama dari Prof Soepomo sesungguhnya
tidak mengakui, antara lain hak berkumpul dan hak kebebasan beragama. Kemudian
beliau menerimanya dan juga tertuang dalam Mukadimah UUD 1945 adalah
kenyataan sejarah. Itu semua karena dialektika dan dinamika waktu.
Dari segi legalistik positivistik dan persoalan akademik, Hukum Pidana seyogianya
tidak bertumpu pada konsep Bhinneka Tunggal Ika, kecuali untuk Hukum Perdata
dalam arti luas dan beberapa bidang hukum lainnya. Tetapi secara politis, konsep
pemikiran yuridis yang seharusnya bernalar nasionalistik setelah Reformasi
mengalami "Umwertung Aller Werte" setelah adanya realita NAD.
Seperti yang pernah saya tulis dalam "Dr Jekyll and Mr Hyde" (2005), di zaman
mantan Presiden Soekarno, beliau berkata bahwa, "met de juristen kunnen wij geen
revolutie maken". Tajam dan pedas kritik itu, entah benar atau tidak. Tapi Bung Karno
lupa yang menyusun UUD 1945 dan UUD 1950 adalah para juristen. Bahkan dalam
UUDS, dasar pemikiran HAM sudah dicantumkan, terlepas dari kritik Soekarno
bahwa peran juristen selalu textbook thinking.
Berjiwa Reformasi
Di zaman mantan Presiden Suharto, hukum "dikandangkan" dan praktis tidak ada
yang berani bersuara karena despot yang kejam ini, meskipun tampak ramah
senyum, bisa menggunakan hukum tangan besi melalui para oknum sepatu bot.
Bukan saja itu, nasionalisme Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika disulap menjadi
"nasionalisme Mataram dan atau nasionalisme Mojopahit" dengan prototype Jawa.
Kehidupan masyarakat adat dan struktur perdesaan berdasarkan Bhinneka Tunggal
Ika diobrak-abrik. HAM sekadar hanya pajangan. Baru jadi semacam "Gulag"-nya
Rusia.
Pada waktu era transisi Habibie, penegakan hukum ditelantarkan. Bahkan
Undang-Undang Korupsi Nomor 30 Tahun 1999 yang dikonsepkan oleh beberapa guru
besar lahir tanpa anus. Implikasi dan konsekuensi, yaitu semacam koruptor di zaman
Suharto, tidak bisa di pengadilankan. Setelah saya ribut dalam Komisi II DPR pada
waktu itu, kemudian dipersiapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Ketika di masa mantan Presiden Abdurrahman Wahid hukum hendak direformasi,
para akrobat politisi di kandang serigala di Senayan akhirnya menjegal beliau. Hemat
saya, beliaulah yang paling berjiwa reformasi dan menghormati Bhinneka Tunggal Ika
dan HAM, terutama yang menyangkut keagamaan dan budaya, terlepas dari suka
atau tidak suka.
Pada waktu mantan Presiden Megawati Soekarnoputri berkuasa, hukum seperti
berjalan di tempat. HAM dilihat dengan sebelah mata dan dalam beberapa hal
sikapnya mengecewakan.
ìWe want change" sebagai semboyan yang segar lalu muncul. Beberapa waktu kemudian
semboyan itu menjadi layu. Rakyat Indonesia memang memiliki presiden de jure,
tetapi tidak jelas sekarang siapa presiden de facto. Janji-janjinya sedap didengar
seperti nyanyian di zaman Jepang, yaitu "memang lidah tak bertulang".
Partai yang berpretensi dapat mandat dari "surga", dengan janji pemilu yang
menggiurkan, gigi mereka kemudian sakit ketika rumah-rumah ibadah digebuk dan
ditutup.
Dari perspektif hukum, juga secara politis, apakah konsep "Bhinneka Tunggal Ika"
masih bisa bertahan atau menjadi Bhinneka Tinggalkan Ika? Undang-Undang Pilkada
yang bisa di -"hocus pocus" di zaman Megawati telah menjadi bom waktu yang
dahsyat. Korupsi di zaman Suharto yang dipraktikkan di bawah meja kini menjadi
permainan "rolet" di atas meja.
Bung Karno memang benar. Masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan
Tuhannya sendiri (1 Juni 1945). Dalam ungkapan sekuler, "Kecantikan ada di mata
Anda." Ukuran apa Anda pakai!
Allah tidak pernah memberi mandat kepada siapa pun atau kelompok manapun dan
pemerintah seolah-olah bersikap masa bodoh, ketika ada yang hendak mengatur
orang masuk ke surga atau ke neraka.
Anehnya, yang berteriak HAM justru menjadi perusak HAM. Penutupan/pengrusakan
rumah ibadah atau kantor perbedaan tafsir agama cuma terjadi di negara komunis.
Pancasila sudah di pencaksilatkan.
Bhinneka Tunggal Ika sudah menjadi huruf-huruf mati. SKB yang tidak dikenal lagi
dalam peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004) masih
ingin dipertahankan "ten koste van wat!". Karena kami yang paling "benar?". Jadi
kompetensi kini berada di tangan Mahkamah Konstitusi.
Mungkin para "Sanhedrin" belum membaca Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM. (HAM itu bukan "makanan" haram, tetapi HAK ASASI MANUSIA).
Korupsi telah menjadi "hallmark" di negara kita. Idem ditto dengan pelanggaran HAM.
Banyak pelanggaran HAM sudah diselesaikan di pengadilan HAM, tetapi ada anggota
masyarakat yang belum puas. Mereka yang tidak pernah diadili dan "disimpan" di
pulau Buru demi Pancasila, oleh Laksamana Sudomo dikembalikan ke masyarakat
demi Pancasila. Sungguh suatu "abracadabra".
Dan, mereka itu kini terlunta-lunta dan stigma sampai anak cucu yang melekat di jiwa
dan kartu penduduk, entah kapan bisa dibersihkan demi harkat dan martabat
kemanusiaan. Apakah Pulau Buru di zaman Orba seperti Gulagnya Rusia belum
cukup atau Peristiwa Mei 1998 masih perlu lagi seperti pernah diucapkan oleh RI-2.
Bom Politik
Pelanggaran HAM di Papua, Aceh, Sulawesi Tengah, Maluku Tengah, dan akhir-akhir
ini di Jawa Barat dan Banten seolah-olah belum juga terdengar dan terlihat oleh
Pemerintah? Ah, mereka itu memandang tetapi belum melihat, mendengar tetapi
belum mengerti (ef. Markus 4 : 12). Semua itu mungkin dianggap sebagai modal
politik, atau lupakah bahwa itu bisa jadi bom politik?
Kesimpulan dalam segenggam. Hukum dan penegakan hukum di Indonesia belum
jelas dan jalan benar, apalagi yang menyangkut sistemnya, apakah mandiri dengan
bersumber pada Pancasila dengan ramifikasi Bhinneka Tunggal Ika.
Ataukah dalam konteks globalisasi di mana "hallmark"-nya demokrasi liberal dengan
paradoksnya kapitalisme.
Masalah ini, hemat saya , belum terpecahkan. (Simak buku Francis Fukuyama The
End of History and The Last Man, 1993). Juga pada waktu dibicarakan Amendemen
UUD 1945. Untung dengan Dekritnya Bung Karno pada tahun 1959, ketika UUD 1945
dimuat (kembali) dalam Lembaran Negara, Mukadimah "dipisahkan" dari Batang
Tubuh UUD 1945. Pada waktu debatnya amendemen ada keinginan untuk "menulis
kembali" Mukadimah ketika bergolaknya proses Amendemen UUD 1945.
HAM tidak akan terselesaikan jika persoalan dendam kesumat mau diselesaikan
secara politis atau secara yuridis. Tampak Indonesia belum memiliki figur atau jiwa
atau moralitas seperti Nelson Mandela, yang meskipun diperlakukan secara tidak
manusiawi selama dipenjara, beliau menyelesaikan rekonsiliasi dengan indah.
Apakah orang Indonesia yang beragama bisa forgive but not forget? *
Penulis adalah Guru Besar Emeritus, Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) RI
Last modified: 13/10/05
|