SUARA PEMBARUAN DAILY, 12 November 2005
Polri dan TNI Tumpang Tindih Soal Penanganan Kasus Poso
JAKARTA - Krisis Poso sudah memasuki tahap genting. Pemerintah harus
melakukan terobosan yang luar biasa, mengingat berbagai upaya telah dilakukan dan
terbukti gagal. Krisis kekerasan akhir-akhir ini juga berpotensi merusak upaya
rekonsiliasi yang telah dirintis masyarakat Poso. Ironisnya, tumpang tindih
pembagian peran dan wewenang otoritas antara Polri dan TNI dalam menindak pelaku
kekerasan terus terjadi.
"Krisis Poso bisa jadi lahan subur bagi pihak-pihak tertentu untuk menciptakan
gangguan keamanan berskala nasional lewat eskalasi kekerasan berlanjut. Apalagi,
seluruh isu kritis nasional sudah hadir di Poso, konflik komunal berwajah SARA,
korupsi akut, kekerasan, teror yang brutal dan gagalnya fungsi negara menjamin rasa
aman semakin kental terasa di Poso," ujar Koordinator Kontras, Usman Hamid dalam
diskusi membedah kasus Poso di Jakarta, Jumat (11/11).
Menurut Usman, pihaknya mempertanyakan cara penanganan peristiwa pemenggalan
tiga siswi SMU Kristen Poso. Tindakan Yonif 714 menangkap dan memproses lebih
jauh lima orang yang disangka terlibat, memperlihatkan lemahnya otoritas kepolisian.
Dikatakan, tindakan penangkapan oleh TNI bukan tidak diperbolehkan. Bukan hanya
TNI, siapun termasuk warga sipil dibolehkan menangkap pelaku kejahatan saat
tertangkap tangan. Untuk kemudian diserahkan kepada pihak yang berwajib dan
berwenang yaitu Polri. Persoalannya, TNI menangkap, memproses lebih jauh mulai
dari pengolahan TKP hingga penahanan tidak menyerahkan kepada Polri. Sayangnya,
aparat Polri diam saja dan terkesan enggan mempersoalkan penyimpangan otoritas
yang dimiliki Polri.
"Yang memprihatinkan adalah sikap Bupati Poso, Piet Inkiriwang yang menilai
aksi-aksi teror yang terjadi selama ini di wilayahnya adalah masalah kecil dan tidak
perlu dibesar-besarkan. Piet menilai, peledakan bom dan pembunuhan, sudah biasa
terjadi di Indonesia dan tempat lainnya. Sikap ini tidak memperlihatkan sikap yang
bertanggungjawab dari seorang pemimpin," ujar Usman.
Ditambahkan, rendahnya kemampuan aparat untuk mengantisipasi peristiwa susulan
dengan modus dan tujuan serupa jelas menunjukkan kegagalan intelijen dan aparat
kepolisian. Dalam sebulan ini terjadi penembakan aparat kepolisian, warga sipil
hingga peledakan angkutan umum bus Omega. Bahkan peristiwa pemenggalan tiga
pelajar dan penembakan dua pelajar terjadi dalam selang waktu yang sangat pendek.
"Jadi sangat disesalkan Bupati melontarkan pernyataan seperti itu," ujarnya.
Sementara itu, di sela-sela Konsultasi Gereja se Indonesia, Sekjen Partai Damai
Sejahtera, ML Denny Tewu mengaku baru saja mengkonfirmasikan pernyataan Bupati
Poso yang terkesan meremehkan dan menganggap kecil peristiwa Poso. "Saya
sudah menghubungi yang bersangkutan dan mendapatkan klarifikasi bahwa dirinya
mengaku tidak menyatakan pernyataan seperti itu. Dia mengaku justru ingin meminta
media nasional di Jakarta untuk tidak mendramatisasi serta membuat Poso terkesan
sangat rawan untuk dikunjungi. Sebagai Kepala Pemerintahan dia tidak ingin
daerahnya di isolasi dan masyarakatnya dikucilkan," ujarnya.
Kelola Konflik
Sedangkan praktisi HAM, Asmara Nababan menegaskan masyarakat harus
menyadari bahwa suatu masyarakat itu tidak pernah bebas dari konflik. Padahal jika
konflik itu kalau dikelola dengan baik, justru malah memberikan peluang-peluang
kemajuan bagi masyarakat itu sendiri. Jadi konflik itu tetap ada. Yang menjadi
keprihatinan kita adalah konflik yang keluar dari mekanisme-mekanisme penyaluran
dan menggunakan kekerasan atau melakukan penyelesaian-penyelesaian yang
melanggar hukum. "Konflik semacam inilah yang sebenarnya memberikan dampak
buruk bagi satu masyarakat, apakah itu menyangkut solidaritas masyarakat ataupun
menghambat kemajuan dari masyarakat itu sendiri. Ini yang harus kita cermati dan
kita cari jalan keluarnya atau resolusi atas konflik yang menggunakan kekerasan,
juga konflik yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum, apakah itu hukum
kebiasaan maupun hukum positif di masyarakat maupun di satu bangsa. Ini yang
harus menjadi keprihati! nan kita," ujar mantan Sekjen Komnas HAM itu.
Dijelaskan, secara klasik konflik dibagi dua yaitu konflik horizontal dan vertikal.
Konflik vertikal ketika terjadi konflik antara penguasa dan masyarakat, sedangkan
konflik horizontal itu antara kolompok masyarakat dengan kelompok masyarakat.
Pemisahan ini sebenarnya hanya teoritis, dalam prakteknya itu saling terkait. Tidak
pernah ada yang murni konflik horizontal atau murni konflik vertikal. Yang patut kita
lihat di dalam konflik horizontal adalah bagaimanapun juga tanggung jawab dari
negara itu tetap tidak hilang.
Bila terjadi konflik horizontal maka sebenarnya yang bertanggung jawab
pertama-tama adalah negara, dalam hal ini Pemerintah. Itu hal pertama yang tidak
boleh dilupakan. Yang kedua, kalau kita lihat konflik yang ada di Indonesia
berdasarkan satu pengamatan yang dalam, satu analisis yang dalam akan sampai
kepada dasar dari konflik itu adalah ketidakadilan. Apakah itu di Papua, Aceh, Poso,
Maluku, Ambon, dan tempat-tempat lainnya. Pada bottom line-nya atau dasar dari
konflik itu adalah ketidakadilan, ketidakadilan sosial, ketidakadilan ekonomi,
ketidakadilan moral, ketidakadilan politik. (E-5)
Last modified: 12/11/05
|