SUARA PEMBARUAN DAILY, 22 November 2005
Konflik Kepentingan
JE Sahetapy
SETELAH Reformasi mulai bergulir, hampir tiap hari media massa, baik koran,
majalah, televisi maupun radio, memberitakan tentang korupsi. Demikian pula hampir
tiap bulan, apalagi akhir-akhir ini, diselenggarakan seminar sehari dari berbagai
lembaga sosial masyarakat dengan tema yang menarik, semuanya bertalian dengan
problematik (pemberantasan) korupsi.
Bosan juga, seperti wakil-wakil rakyat di badan legislatif, aparat penegak hukum
menjadi bahan ocehan dan pelecehan di kalangan masyarakat akar rumput karena
mereka (sepertinya) tak berdaya. Rakyat cuma tunggu kapan korupsi akan "dibasmi"
dan bukan retorika atau janji-janji melulu.
Dari semua percakapan itu, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa semua sama saja,
tentu dengan (beberapa) perkecualian, karena semua sepertinya sudah berlepotan
dan terkontaminasi, apakah itu di pihak legislatif, eksekutif ataupun di yudikatif.
Bahkan, dengan munculnya perusakan/penutupan rumah- rumah ibadah dan polisi
seperti jadi "penonton", adanya sekelompok kecil kaum militan yang main hakim
sendiri, ataukah ini suatu grand design (?).
Orang dengan heran lalu bertanya, siapa yang kini jadi presiden de jure, dan siapa
pula yang sesungguhnya bertindak sebagai presiden de facto. Gossip itu makin
menjadi bias dengan diadakannya teleconference oleh Presiden di Amerika.
Presiden Yudhoyono setelah terpilih ketika menunjuk para menteri, terlepas dari
gossip yang beredar, telah meminta agar para pembantunya itu menandatangani
suatu "surat pernyataan". Tidaklah jelas ini pernyataan surat itu. Yang ingin
dipertanyakan ialah, apakah dalam surat pernyataan itu ditegaskan atau tidak adanya
klausul conflict of Interest.
Apakah itu conflict of interest? Dalam Wikipedia, the Free Encyclopedia, conflict of
interest diartikan sebagai a situation in which someone in a position of trust, such as
a lawyer, a politician, or an executive or director of a corporation, has competing
professional and/or personal interest.
Dengan perkataan lain, seorang wakil presiden atau menteri/menko yang memiliki
(berbagai) perusahaan atau jadi presiden direktur, maka dalam kedudukan sebagai
menteri/wakil presiden, ia dapat berada dalam "...position to exploit a professional or
official capacity in some way for their personal or corporate benefit", bisa secara
langsung ataupun tidak.
Mungkin yang bersangkutan akan menjawab bahwa ia sudah kaya raya dan tidak
akan menyalahgunakan posisinya itu. Betul! Tetapi jangan lupa. In fact, a conflict of
interest does exist even if there are no improper acts as result of it.
Lalu bagaimana penyelesaiannya. Semoga Presiden Yudhoyono
mempertimbangkannya dengan bijak. Bagaimana pun juga, semua belum terlambat.
Kepentingan
Sebagaimana diketahui, sejak Indonesia merdeka sampai kini tiap kabinet dengan
nama yang beraneka ragam, yang terdiri dari politisi yang mewakili partai,
akademikus yang non-partisan, ada pula pengusaha. Lazimnya, mereka ini tidak
dipersyaratkan untuk melepaskan kepentingannya dari dunia bisnis mereka.
Kepentingannya bisa bermacam-macam: bisa sebagai pemilik modal, sebagai
anggota dewan komisaris, sebagai anggota dewan komisaris, sebagai presiden
direktur dsb. Apalagi kini, ada yang sebagai pemilik modal besar, dan seterusnya.
Pendeknya, ketika ia jadi RI 2 atau menteri/menko, tidaklah jelas, apakah ia harus
melepaskan semua kepentingannya dari bisnisnya itu. Kalau ia tidak mau lalu
bagaimana!
Tentu presiden tidak boleh memilihnya atau mempertahankannya sebagai pembantu
presiden, sebab codes of ethics melarang conflicts of interest.
Dengan perkataan lain, ia baru bisa jadi ban serepnya presiden atau pembantunya
kalau dibentuknya special trust atau semacam blind trust, dimana ia misalnya dapat
authorized to buy and sell without disclosure to the owner saham-sahamnya.
Kalau ia menjadi presiden komisaris, direktur, dan seterusnya, ia harus melepaskan
jabatan-jabatannya itu untuk mencegah timbulnya conflict of interest dalam
peranannya sebagai RI 2 atau menteri/menko. Jadi tidak akan ada conflict of rules,
meskipun ia berjanji tidak akan melakukan suatu perbuatan yang tidak terpuji.
Di zamannya, mantan Presiden Soeharto, conflict of interests merajalela. Itu yang
dinamakan family interests di mana anak-anaknya ikut dalam bisnis macam-macam
yang menyangkut kepentingan masyarakat, seperti dalam perdagangan cengkeh, dan
sebagainya. Pada waktu itu, siapa yang berani beri nasihat atau menegur presiden,
kata orang, Anda bisa "di-murdani-kan".
Berita burung dewasa ini tentang para anggota yang terhormat dari DPR ikut
"mengatur" kepentingan daerahnya, apakah itu menyangkut dana bencana alam,
pembentukan daerah kabupaten baru, dan sebagainya, itu semua dapat merupakan
conflict of rules, apalagi kalau untuk "jasa-jasanya" itu ada "imbalan".
Demikian pula dengan kunjungan ke daerah dan daerah membayar ongkos
penginapan dan sebagainya, adalah bentuk-bentuk yang non-tangible (tidak terlihat)
merupakan conflict of interests juga. Tidak mudah memang untuk menghapus semua
hal tersebut.
Pada akhirnya bergantung dari integritas dan hati nurani masing-masing. Orang acap
kali lupa, dan atau kurang waspada bahwa makin tinggi pohon makin mudah ditiup
angin. Asal jangan bukan taufan Katherina saja. *
Penulis adalah guru besar emeritus
Last modified: 22/11/05
|