SUARA PEMBARUAN DAILY, 26 November 2005
Catatan Papua
Wapres Kalla Tangani Papua
Sabam Siagian
** missed drop char **SELAMA dua hari berturut-turut, Kamis (24/11) dan Jumat
(25/11), Wakil Presiden Jusuf Kalla menangani keruwetan persoalan yang dihadapi
Papua.
Pada Kamis itu tokoh-tokoh Papua lengkap hadir: Ketua Majelis Rakyat Papua Agus
Alue Alua yang sebelumnya adalah Rektor Sekolah Tinggi Teologia Gereja Roma
Katolik di Jayapura, Gubernur Papua JP Solossa yang sebenarnya sudah berstatus
"pejabat" karena masa dinasnya sudah habis, Ketua DPR Provinsi John Ibo.
Kemudian dari pihak pemerintah yang mendampingi Wapres Kalla, antara lain Menteri
Dalam Negeri Mohammad Ma'ruf, Menko Politik, Hukum, dan Keamanan, Laksamana
Widodo AS. Sudah pasti masih ada sejumlah pejabat dan tokoh politik lainnya yang
ikut hadir
Apa persoalan yang dibahas? Kebetulan belum lama berselang saya berada di
Jayapura dan menghadiri suatu pertemuan dengan sejumlah anggota MRP, termasuk
ketuanya. Mereka kecewa bahwa hampir bersamaan dengan pelantikan mereka oleh
Mendagri Moh Ma'ruf, dikeluarkan surat keputusan Mendagri tentang pelaksanaan
pemilihan kepala daerah (pilkada) di apa yang disebut Propinsi Irian Jaya Barat pada
tanggal 28 November. Padahal, jelas dicantumkan dalam UU No 21/2001 tentang
Otonomi Khusus Papua bahwa pemekaran provinsi harus dibicarakan dulu di MRP.
Rupanya pimpinan dan sebagian besar anggota MRP tidak dapat menerima hal itu.
Mereka sempat dikabarkan akan mengundurkan diri, kalau soal Pilkada 28 November
tidak dikoreksi.
Kejengkelan tokoh-tokoh Papua terhadap kecenderungan pemerintah pusat bersikap
kontradiktif diungkapkan secara terus terang oleh John Ibo, Ketua DPR Papua.
Katanya, "Kebijakan yang diambil (Jakarta) selalu diselingi kebijakan lain yang
bertentangan sehingga selalu melahirkan perseteruan dan konflik baru di Papua."
Dan contoh mencolok yang disebut oleh John Ibo adalah Instruksi Presiden Megawati
No 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat. Disangka gampang
saja menelurkan sebuah propinsi atau provinsi. Karena jelas melanggar atau
mendahului ketentuan yang tertera di Undang-Undang Otonomi Khusus (No 21/2001),
maka timbullah keresahan politik.
Tokoh-tokoh politik Papua pernah mengungkapkan frustrasi mereka kepada saya
dalam salah satu kunjungan ke wilayah RI paling timur ini tentang Presiden Megawati.
"Saya tidak mengerti, ibu itu yang menandatangani Otonomi Khusus, tapi ibu itu juga
yang meneken Inpres Irja Barat,'' kata seorang tokoh sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
Buntut panjang dari keresahan itulah yang ditangani oleh Wapres Jusuf Kalla dalam
pertemuan Kamis lalu itu. Setelah setahun menjadi RI-2, dia telah menunjukkan
ciri-ciri sebagai "Mister Trouble-shooter". Istilah itu diterapkan oleh para wartawan
politik di Amerika Serikat untuk menjuluki seorang tokoh yang pandai mencari
sumber suatu gumpalan persoalan serta mendorong penyelesaiannya.
*
Dalam satu pertemuan dengan Forum Papua Barat, Jumat (25/11) sore yang diketuai
oleh Dr Albert Hasibuan SH, Agus Alue Alua sebagai Ketua MRP menguraikan
pokok-pokok penyelesaian yang disepakati dalam pertemuan dengan Wapres Kalla.
Landasan penyelesaian adalah UU No 21/2001. Itu berarti bayang-bayang UU No
45/1999 yang disusun dan disahkan selama pemerintahan Presiden BJ Habibie
(antara lain membagi Irian Jaya menjadi tiga propinsi) dihapuskan. Dan Pilkada 28
November di Irja Barat diundurkan.
"Kita lupakan masa lampau. Dan dilakukan proses ulang menurut mekanisme yang
diatur dalam UU No 21/2001,'' demikian Agus Alue Alua.
Kata "dilupakan" diulang beberapa kali. Apakah dengan "dilupakan" berarti bahwa
Inpresnya Presiden Megawati praktis dicabut? Apakah itu berarti bahwa Propinsi Irja
Barat bubar? Tampaknya tidak juga. Menurut Wapres Kalla, bahwa propinsi itu akan
mendapat landasan hukum yang lebih kuat, karena akan dibentuk sesuai mekanisme
dalam UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus. Akhir Desember tahun ini proses
legitimasi baru itu sudah mesti selesai, demikian harapan dan desakan pemerintah.
Namun, Ketua MRP berpendapat dalam pertemuan dengan Forum Papua (saya ikut
hadir), masyarakat yang bersangkutan mesti ditanya dulu. Ia cerminkan, akhir
Desember adalah batas waktu yang sulit dipenuhi.
Namun, menurut Wapres Kalla, dalam pertemuan Jumat pagi dengan utusan dari Irian
Jaya Barat, "Mereka menerima penyesuaian kembali posisi Irian Jaya Barat
berdasarkan UU Otonomi Khusus dan Peraturan Pemerintah tentang Majelis Rakyat
Papua seperti yang disepakati antara pemerintah pusat, dan pemerintah Provinsi
Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua."
Kalau diperhitungkan bahwa Partai Golkar cukup kuat di daerah Kepala Burung (Irja
Barat) dan menjagokan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang aktif, maka
ketegasan Jusuf Kalla yang mengembalikan segala sesuatunya ke UU No 21/2001
sebagai satu-satunya landasan hukum dalam menangani keruwetan persoalan
Papua, memang patut dipuji.
*
Gumpalan persoalan yang dihadapi Papua menjadi rumit, karena sebuah kesalahan
pokok dibiarkan terus berlanjut. Malahan pembenarannya dicari-cari dan sejumlah
pejabat di Jakarta, mungkin secara tulus, pandai merumuskan penyelesaian
kompromistis. Persoalannya bukannya selesai, malahan tambah ruwet. Karena
masyarakat di Papua pada umumnya berpandangan logis dan tulus dalam berpolitik.
Mereka tidak dapat menerima kontradiksi yang kemudian ditutupi secara menarik
oleh rumusan kompromi.
Keruwetan dan kontradiktif sekitar penanganan masalah Papua itulah yang sekaligus
disingkirkan oleh "Mister Trouble-shooter", Wapres Jusuf Kalla.
Masyarakat Papua yang berjumlah sekitar 2,5 juta itu sekarang mendapat
kesempatan baru untuk menciptakan suatu masa depan yang tenteram, sejahtera,
dan manusiawi. *
Penulis adalah pengamat perkembangan sosial politik di Indonesia, serta masalah
internasional, berdomisili di Jakarta
Last modified: 26/11/05
|