September 2005
Lokasi : Jl. Fatmawati, Jakarta Selatan Waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 ketika aku meloncat kedalam Taxi. Karena harus berpacu dengan waktu, aku tidak sempat lagi memilih armada taxi yang lebih terjamin keamanannya. Ah, tapi siapa peduli. Kalau ada apa-apa, tinggal mengeluarkan jurus Tae Kwon Do yang pernah saya pelajari selama 2 tahun.
"Ke Kuningan, Pak!", aku setengah berteriak - atau lebih tepat dibilang memerintah - kepada sopir taxi yang akan membawa aku ketempat tujuan, yaitu Hotel Ritz Carlton.
Taxi yang aku tumpangi terjebak macet di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Kapan sich kawasan ini tidak macet. Kalau misalnya kawasan ini tidak macet malam ini, pasti besok pagi dunia kiamat.
"Mas mau’nya lewat Casablanca atau Gatot Subroto?".
"Lewat Bogor juga nggak apa-apa kok, Pak. Yang penting 15 menit lagi kita harus sudah sampai di Kuningan", jawabku asal.
"Baru ya Mas di Jakarta?"
"Udah 3 tahun sich, Pak. Tetapi biasanya saya diantar sopir pribadi saya, jadi saya kurang begitu hafal jalan".
"Udah menikah Mas?".
"Bisa ya, bisa tidak. Tergantung suasana hati, Pak".
"Mungkin menikah’nya belum ya Mas, tetapi kawin’nya sudah sering. Iya khan, Mas?".
Ya ampun, ternyata 'beliau' ini masih teguh kukuh berlapis baja nyerocos.
Lokasi : Hotel Ritz Carlton - Kuningan, Jakarta Pusat Aku sudah telat 15 menit. Bagai pelari marathon dikancah Olimpiade yang pertama kali digelar di Yunani, aku berlari kencang dari pelataran parkir sampai ke lobby hotel yang jaraknya sekitar 100 meter sehingga membuat beberapa security yang saya lewati terkagum-kagum, atau mungkin terheran-heran atau justru prihatin. Lomba lari kok sendirian, kok enggak ada lawan'nya?
"Acaranya belum mulai".
Waktu sudah berlalu 30 menit dari jadwal acara yang ditentukan sebelumnya. Aku mulai bosan. Kapan acaranya dimulai?. Aku datang kesini bukan untuk haha-hihi atau ngobrol ngalor ngidul atau berdiri tegak seperti tiang jemuran, tapi untuk melihat seseorang secara langsung.
The main show is right in the corner, everyone! Host acaranya menginstruksikan semua tamu memasuki Mistere Bar diruangan sebelah.
"Senang rasanya kembali ke Jakarta dan tampil dihadapan anda-anda semua yang malam ini terlihat cantik dan tampan", ujar Anggun dengan senyum manis yang tidak pernah lepas dari bibirnya.
Selama menikmati alunan suara merdu Anggun, aku berkali-kali mencoba mengirimkan bahasa isyarat lewat gerak tubuh. Mulai dari hanya sekedar lambaian tangan sampai isyarat jari kelingking dan jempol yang berusaha menyampaikan pesan norak 'call me tonite' seperti salah satu adegan difilm Austin Power. Tidak peduli apakah Anggun bisa melihat gerak-gerikku yang seperti ular kesundut rokok diantara kerumunan penonton yang berjubel.
Setelah pamitan dan menghilang dari panggung, pertunjukan benar-benar sudah usai.
Meski beberapa pria berpenampilan eksekutif dengan teguh kukuh berlapis baja meneriakkan "we want more", tapi pertunjukan memang sudah usai.
"Please deh, bapak-bapak. Jangan kayak orang susah gitu dong", aku meledek – lagi-lagi hanya dalam hati.
Aku dan temanku beranjak meninggalkan ruangan dan bermaksud pulang. Tapi sebelum benar-benar menuju pintu keluar, temanku iseng mengajak aku masuk ruangan Mistere Bar lagi. What? Baru keluar sudah mau masuk lagi. Are u nutz?
But thanks Man, ternyata sifat kurang kerjaan temanku itu bisa juga bermanfaat. Karena…Oh my GOD! Anggun ternyata sudah berada dibawah panggung dan berbaur dengan kerumunan penonton, berbincang dan menyapa ramah beberapa pengunjung disekitarnya.
"Hallo mbak Anggun".
"Hey, kamu tadi darimana?", sambut Anggun sambil menggenggam erat tanganku dengan hangat ketika aku sudah sampai didekat Anggun dengan debar jantung yang sejak tadi sudah ‘dag-dig-dug-ugh-lala-kutanya pada ayah ibuku’.
"Mbak Anggun aku foto ya", saya langsung mempersiapkan kamera old fashion yang lebih mirip kotak sumbangan daripada kamera. Olala, that’s the best you can say, Rys? "Boleh. Tapi tunggu dulu, riasan wajahku masih bagus nggak?", canda Anggun dengan gaya jenaka sambil pura-pura membenahi rambutnya.
"Tanpa riasan sedikitpun, Anggun sudah cantik kok", jawabku. Tapi kembali lagi hanya dalam hati saja, karena sang suami : Olivier, seliweran disekitar kami. Tidak lucu rasanya kalau aku dijitak oleh dia gara-gara dituduh menggoda Anggun.
Mbak Anggun ngapain kesini?
(Anggun langsung mendekatkan wajahnya kewajahku, agar suaraku bisa lebih jelas terdengar diantara riuhnya alunan musik. Aku langsung bersyukur Anggun tidak mendengar pertanyaan saya barusan. 'Ngapain kesini?'. Ya ampun, pertanyaan macam apa itu. Kok lebih mirip mengusir daripada bertanya.
Dalam rangka apa kesini, mbak?
Bagaimana dengan promo album?
Jadi acara wawancara dan konser distasiun TV batal dong?
Habis dari Jakarta, mau kemana lagi?
(Ehmm…Anggun menyebutkan sebuah nama yang berbau Prancis setelah menyebut nama Peter Gabriel. Aku hanya mengangguk seolah-olah aku kenal betul dengan nama terakhir yang Anggun sebut barusan. Padahal, aduh siapa sich? Penyanyi baru ya?) Eh, ini lho adikku. Namanya Ganjar.
(Anggun tiba-tiba menarik tangan seorang cowok berpostur gede kayak bodyguard yang sejak tadi berdiri kalem dibelakang Anggun. Aku langsung menyalami Ganjar.
Mbak Anggun sudah mampir kerumah?
Kenapa? Karena jadwal mbak Anggun terlalu padat ya?
Iya sich. (Aku dan Ganjar pun langsung kompak memasang tampang prihatin terhadap ulah para wartawan gosip tanah air yang kadang tidak manusiawi, hewani, surgawi, duniawi, dan romawi dalam memperlakukan artis) Mas Wiwin dan Mas Gogor masih di Jogyakarta? (Raut wajah Ganjar sedikit kaget. Mungkin dia pikir kok aku tau Wiwin dan Gogor segala?. Aku sendiri juga kaget, kok pertanyaanku gitu banget . Kayak lagi reuni keluarga saja. Padahal referensiku hanya dari Thanks List cover album Anggun tentang siapa yang lagi dimana dikeluarga Anggun) “Mas Wiwin udah di Jakarta sekarang. Tinggal Mas Gogor aja yang di Jogya”. (Hmmm…ngobrol apa lagi ya? Oh iya, Ganjar khan Koki atau Juru Masak di Hotel JW. Marriot…kenapa tidak ngajak bicara tentang masakan aja. Tetapi aku langsung sadar kalau aku bisa berubah menjadi peribahasa ‘katak hendak menjadi lembu’ kalau aku nekad mengajak Ganjar berbicara tentang mi instant, satu-satunya bahan makanan didunia dan akherat yang aku kuasai secara teori dan praktek dan juga satu-satunya yang bisa aku masak tanpa resiko gosong, mentah dan keracunan) "Eh, maaf ya…lagi ngomongin apa"? (Tiba-tiba terdengar suara seksi perempuan dari belakang. Voilaaaaa…..save by the angel. Anggun udah bergabung lagi. Aktivitas selanjutnya, kami lebih banyak foto bareng. Suasana yang berisik tidak memungkinkan untuk ngobrol) "Ganjar, jangan jauh-jauh dong". (Sesekali Anggun mengingatkan adik kesayangan’nya untuk tidak jauh-jauh dari kami. Sebab sejak tadi Ganjar sempat mundur beberapa langkah, mungkin untuk memberi kesempatan kepada kami untuk lebih dekat dengan Anggun. Iya mas Ganjar, jangan jauh-jauh. Yang jauh itu cuma matahari, bulan dan bintang kok. Emang mas Ganjar mau kayak mereka? Hehehehe… (Jam sudah menunjukkan jam 11 malam, besok pagi aku dan temanku harus berangkat ke kantor jam 7 pagi. It’s time to go home) "Kok cepat banget sich mau pulang? Duduk-duduk dulu dong sambil ngobrol". (Anggun sepertinya tidak rela kami harus pulang cepat malam itu. Lho, aku jadi bingung. Siapa yang penggemar, siapa yang artis ya? Kok justru Anggun jadi pihak yang pengen lama-lama bersama kami. Seharusnya kami dong yang pengen berlama-lama dengan Anggun. Hehehehe…no wonder, cos we’re indeed iressistable men.) Maaf mbak, soalnya besok kami harus kerja. (Sebenarnya sich OK saja kalo mau disini sampai pagi bersama Anggun, tetapi aku dan Aris sadar kalo kehadiran Anggun diruangan ini bukan untuk kapasitas jumpa fans, tetapi untuk urusan profesional dan bisnis. Apalagi disalah satu sudut ruangan yang sepertinya sengaja disetting untuk acara konferensi, Anggun sudah ditunggu sebuah rombongan. Yahh, meski hanya fans, tetapi khan perlu juga jaga citra. Bukan hanya artisnya saja yang perlu menjaga citra, tetapi fans’nya juga. Apalagi Citra khan juga bagus untuk kulit yang kering dan juga sering diperebutkan aktor dan aktris film di Indonesia. Selain itu, mending pamit pulang duluan sebelum diusir karena kelamaan. Soalnya lebih terhormat. Hehehehe…) "Oh begitu ya.." (Anggun menyambut uluran tangan kami dan ehm… cium pipi kanan cium pipi kiri. Whoaaaa…mau lagi dong!!! Tapi aku segera sadar diri kalo dimana-mana tidak ada yang namanya ‘cium pipi kanan cium pipi’ kiri sampai berkali-kali dengan orang yang sama disaat yang sama pula, kecuali kalo lagi main lenong) Ma kasih ya…… (Ucapan yang tulus itu akhirnya menjadi salam perpisahan dengan Anggun malam itu) Lokasi : Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan
Disebuah Taxi yang bergerak meninggalkan kawasan Gatot Subroto menuju Ciputat, ada senyum diwajahku karena malam ini satu dari ribuan mimpi sudah terwujud.
Besok atau lusa, entah mimpi yang mana lagi yang akan terwujud.
|