Senin, 13-September-2004
Aku Seorang Teroris (Sebuah Cerpen)
Aku seorang teroris. Kira-kira seperti itulah orang akan menilai bila tahu apa yang telah kulakukan selama ini. Walau aku sangat yakin sampai saat ini tak ada yang tahu perihal apa pekerjaanku, termasuk Dewi, pacarku. Ia hanya tahu bahwa aku adalah seorang pelayan di sebuah toko barang antik.
Aku tak pernah bercita-cita menjadi seorang bajingan tengik sebagaimana semua orang tak ingin. Dulu waktu kecil bila ditanya apa cita-citaku, maka dengan bangga aku akan menjawab ‘ingin jadi dokter’. Lalu kalau aku ditanya kenapa, maka masih dengan bangga aku akan menjawab ‘karena ingin menolong orang lain’. Pernah juga suatu ketika aku bercita-cita jadi Superman, karena ia selalu membela kebenaran. Aku ingin jadi pahlawan. Setidak-tidaknya aku bisa membantu orang lain. Tapi semua itu hanyalah hayalan masa kanak-kanak. Karena anak-anak adalah kertas yang putih tanpa noda. Anak-anak tak pernah melakukan sesuatu karena semata untuk dirinya sendiri walau harus mengorbankan orang lain atau malah nyawa orang-orang yang tak berdosa.
Beranjak dewasa, aku melalui saat-saat yang sulit. Kelas 3 SMA kedua orang tuaku meninggal hanya berselang beberapa bulan. Aku kehilangan sandaran hidup dan juga masa depanku. Harus hidup dengan paman yang walau seorang pegawai pemerintahan golongan tiga namun gajinya hanya cukup untuk membiayai istri dan lima orang anaknya. Orang tuaku tak meninggalkan warisan apa-apa. Rumah yang kami tempati hanyalah rumah kontrakan yang harus segera kutinggalkan. Maka aku harus belajar mandiri. Aku ingin berhenti sekolah tapi paman melarangku karena terlanjur berjanji pada ayahku akan membiayaiku hingga tamat SMA—katanya aku harus punya ijazah SMA untuk modal kerja, yang ternyata di kemudian hari tak berguna sama sekali. Aku pun lupa pada cita-cita masa kanak-kanakku. Karena hidup yang kan kulalui semakin pahit. Aku takkan menjadi siapa-siapa selain menjadi bajingan tengik seperti sekarang.
Setamat SMA aku luntang-lantung cari pekerjaan tak peduli harus bekerja sebagai apa. Kerjaanku tak pernah tetap, tergantung suasana hati. Pernah jadi Tukang Ojek tapi segera kutinggalkan karena benci dengan teman-temanku yang tak bisa dipercaya. Lalu jadi Cleaning Service beberapa bulan hingga pindah lagi jadi pelayan sebuah hotel kelas melati karena tergiur gaji yang lebih besar. Begitulah aku. Pernah sebulan kerja di Bar. Tukang Angkut Sampah. Sales sebuah produk rumah tangga. Tukang Parkir. Malah aku pernah jadi Tukang Copet. Cuma beberapa minggu. Kutinggalkan karena beresiko besar. Kalau ketangkap bisa bonyok. Padahal hasil curiannya cuma sedikit tapi nyawa taruhannya. Tak sama dengan Koruptor yang hampir tak kerja apa-apa tapi dapat banyak uang. Dan kalau ketahuan akan segera bebas dari segala tuntutan karena dengan uang hasil korupsi itu bisa bayar siapa saja untuk diam. Hingga akhirnya aku kerja di sebuah toko barang antik. Sudah tiga tahun aku di toko itu. Entah kenapa aku betah. Mungkin kerjaannya yang tak terlalu merepotkan. Hanya menunggu pembeli datang yang kebanyakan orang-orang berduit dan berpenampilan menteren. Wanita-wanita yang berkunjung biasanya cantik-cantik karena umumnya mereka kaya-kaya. Bukankah yang kaya itu biasanya cantik?
Aku membiasakan diri ramah dengan pembeli karena kata orang mereka adalah raja. Walau ada yang datang hanya melihat-lihat, tanya macam-macam namun tak membeli apa-apa. Kadang-kadang mereka ramah padaku, meski kadang-kadang pula ada juga yang berlagak sombong dan memandangku sebelah mata karena mungkin mereka pikir aku hanya pelayan toko yang pastilah miskin, tak berpendidikan dan tak perlu dihargai. Aku mengenal seorang lelaki setengah baya yang hampir setiap bulan datang ke toko itu. Ia orangnya supel dan selalu tersenyum ramah padaku. Bahkan pernah ia bertanya banyak hal tentang diriku atau pekerjaanku. Suatu hari ia memintaku datang ke sebuah restoran yang mewah. Katanya ia punya pekerjaan untukku. Tentu saja aku tak melewatkan kesempatan besar ini, karena melihat penampilannya pastilah ia orang yang berduit atau malah pejabat tinggi di sebuah instansi pemerintah. Ia memang tak pernah memperkenalkan dirinya sebagai siapa-siapa dan aku pun tak merasa perlu tahu. Karena aku hanya orang biasa-biasa dan mungkin tak perlu banyak tahu.
Dengan rasa penasaran aku datang juga ke restoran itu sesuai dengan waktu yang ia tentukan. Ia menyambutku dengan ramah layaknya aku orang penting dan bercerita banyak hal yang kebanyakan tak kumengerti. Aku hanya mengangguk atau menggeleng semata atau kadang tertawa bila ia tertawa tentang suatu hal. Hingga akhirnya ia bertanya dengan muka serius,
“Kamu mau pekerjaan yang ringan namun gajinya banyak?”
Tentu saja aku mengangguk. Siapa yang tak ingin uang apalagi tak perlu usaha yang keras. Lagi pula aku punya banyak utang yang harus segera harus kulunasi. Biaya kontrakan rumah yang akan segera berakhir. Biaya sekolah untuk adikku yang kuingin kelak biasa jadi dokter seperti cita-citaku. Bagusnya, aku tak perlu meninggalkan pekerjaanku di toko barang antik itu. Lalu ia memberiku sebuah bungkusan persegi. Katanya isi bungkusan itu adalah sebuah barang elektronik yang rumit yang harus disimpan di lokasi yang ia inginkan. Aku hanya harus menyimpan bungkusan itu di tempat tersembunyi, lalu mehubungkan kabel yang berwarna merah dan dalam sejam aku harus menyingkir dari tempat itu sejauh mungkin. Dan yang pasti hal itu tak boleh diketahui oleh siapa pun. Belakangan hari aku baru tahu kalau bungkusan itu adalah bom waktu!!
Awalnya aku menyesali apa yang kulakukan, tapi orang itu meyakinkanku bahwa aku melakukan sesuatu yang benar. Dan yang pasti uang yang diberikannya benar-benar menggiurkan. Sebuah jumlah yang selama ini hanya bisa aku angan-angankan. Dan aku benar-benar menjadi bajingan tengik sejak saat itu. Aku mencari uang dengan mengorbankan nyawa orang lain. Instruksi demi instruksi pun terus diberikan. Kadang bom itu harus diletakkan di sebuah Rumah Sakit. Masjid. Gereja. Mall. Dan banyak tempat umum lainnya. Kadang bomnya meledak dengan sukses dan menghancurkan sebagian atau seluruh bagian gedung, lalu korban jiwa pun berjatuhan. Yang selamat biasanya cacat fisik. Kadang juga bomnya gagal meledak atau malah keburu kedapatan dan lucunya kadang orang lain yang ditangkap dan disuruh mengaku sebagai pelaku peledakan bom itu. Namun walau demikian ditemukannya bom itu tetap merupakan berita yang besar dan membuat semua orang panik sebagaimana yang dinginkan oleh si pemberi instruksi.
Aku tak pernah bertanya perihal pekerjaanku dan bagiku itu tak perlu. Aku hanya tahu menerima sebuah bungkusan beserta instruksinya dan lokasi di mana bom itu harus kuletakkan. Lalu pergi sejauh-jauhnya satu jam setelahnya dan tak boleh ketahuan orang lain. Biasanya aku langsung pulang ke tempat kerjaku, melayani pengunjung yang kadang datang hanya melihat-lihat, tak membeli apa-apa. Dan aku pun melupakan apa yang barusan kulakukan. Lalu sejam kemudian berita peledakan bom di suatu tempat akan segera tersiar entah di radio atau tivi atau dari salah seorang pengunjung toko itu. Aku pun akan berlaku seperti orang lain, kaget dan meyesali serta mengutuk pelaku pengeboman itu sebagai orang yang tak bermoral. Dan beberapa saat kemudian aku mengecek rekeningku, memeriksa transfer sebagian dari upahku karena sukses menjalankan tugas. Kemudian biasanya aku akan menghabiskan uang itu malamnya di tempat-tempat hiburan. Benar-benar sesuatu hal yang mudah dan menyenangkan. Kalau aku merasa bersalah dengan apa yang kulakukan maka aku akan meyakinkan diri sendiri bahwa aku sebenarnya tak melakukan apa-apa. Aku hanya alat. Aku tak punya niat menghilangkan nyawa orang lain. Aku hanya tidak ingin hidup kere selama-lamanya. Apa itu salah?
Hari ini aku diberi tugas baru. Seperti biasanya aku harus menyimpan bom waktu di suatu tempat. Kali ini yang menjadi sasaran adalah Mall Ratu Indah yang cukup megah di kota kami. Bisik-bisik kudengar dari orang itu kepada temannya, kalau ini adalah pesanan seorang mantan pejabat tinggi yang merasa dendam telah disingkirkan dari jabatannya. Tapi aku tak peduli. Pura-pura tak mendengar. Aku hanya tahu kalau jumlah uang yang dibayarkan besar sekali. Dua kali lipat dari sebelum-sebelumnya. Ada beberapa bom yang harus kuletakkan di Mall itu agar ledakkannya lebih dahsyat. Dan aku melakukan pekerjaanku sebagai orang yang profesional. Aku malah pernah membayangkan diriku sebagai Nicholas Cage yang berperan sebagai teroris dalam film Face Off. Setelah semuanya selesai aku segera meninggalkan Mall itu. Aku ke rumah Dewi yang jaraknya setengah jam dari tempat itu dengan naik taksi. Biasanya aku langsung pulang ke toko, tapi kali ini aku ingin memberikannya kalung seperti janjiku beberapa hari yang lalu. Pastilah ia akan senang sekali dan tentunya akan semakin mencintaiku.
“Dewi ada, Bu?” tanyaku pada Ibunya Dewi yang berdiri di bibir pintu menyambutku sambil tersenyum ramah seperti biasanya bila aku berkunjung ke sana.
“Lagi keluar belanja. Setengah jam yang lalu,” katanya sambil melirik jam.
Aku tersenyum-senyum.
“Belanjanya di mana, Bu?” tanyaku lagi masih tersenyum-senyum.
“Katanya sih di Mall Ratu Indah. Biasanya memang di situ.”
“Apa?!!!”
Dan tiba-tiba aku merasa seperti disengat listrik ribuan Volt. Lalu semuanya menjadi gelap.
****
|
:: Back ::