Pagi-pagi s e b e l u m makan pagi, saya dan Cecilia mengucapkan terima-kasih kepada Oom Han lewat Misa Kudus jam 9 di kapal. Maunya sih nulis begitu tapi karena kalau Misa selesai, dua restoran sudah akan tutup dan satu lagi tinggal setengah jam buka, kami memutuskan makan dulu sebelum ke Misa. Belakangan di akhir Misa, Pater Richard Lenox SJ meworo-woro bahwa karena jam Misa yang agak siang itu dan mengingat sikon tutupnya restoran, ia mengijinkan kami untuk melanggar aturan puasa sebelum Ekaristi sebab ia juga melakukan hal yang sama. Di awal Misa ia memperkenalkan dirinya sebagai romo Yesuit yang berasal dari Australia, baru saja selesai mendapat doktoralnya dalam bidang perfileman. Ya, ordo Yesuit memang suka "aneh-aneh". Ketika saya memperkenalkan diri sebagai anak CC, Canisius College, dengan semangat ia mensyerkan kisah pertamanya ke Jakarta, Indonesia. Ia tinggal di tempat tamu Yesuit di CC, Menteng Raya 64, tingkat paling atas katanya. Ketika pada jam 4 pagi ia dibangunkan oleh suara azan dari mesjid di sebelah CC, ia loncat dari tempat tidurnya. Pater-pater lainnya di CC lupa rupanya memberitahukannya akan kebiasaan umat Islam di Indo tersebut. Dikiranya ada kebakaran. Akhirnya ia ikut berdoa juga katanya setelah tahu bahwa ia dibangunkan untuk berdoa, untuk kemudian tidur lagi. Sori, dongengan jadi melenceng karena terpengaruh oleh serial Pengalaman Anak CC yang tengah kutulis di milis Anda. Tapi kukira syok di pagi hari pertamanya dibangunkan azan subuh itu sudah membuat kotbahnya menjadi sangat bermutu :-).
Karena kebiasaan makan malam kami selalu awal, kami memilih apa yang namanya 'early sitting' untuk jam makan kami, yakni sekitar jam 6 sore. Karena malas untuk ngobrol dengan 10 orang bule, mayoritas peserta cruise 95% bule, maka saya memilih meja kecil, sekitar 6 orang azha deh. Weleh, ketika pada malam pertama kami diantar menuju meja makan, bukan saja kami ditempatkan di meja besar dengan selusin manusia, juga tempat kami rupanya dijual tukang catut. Ya, Anda yang segenerasi dengan saya mungkin pernah mengalami tempat duduk di bioskop suka dijual dobel karena ulah tukang catut, yang memalsu nomor tempat duduk maupun karcisnya. Seperti sudah saya katakan, 100% dari pelayan sampai ke juragannya Melayu semua. Demi keharuman nama bangsa, saya katakan kepada salah satu juragan si Alex, untuk tenang-tenang saja mengatur dimana saya akan duduk. Ketika ia berkata bahwa ia akan menanyai satu persatu para penduduk meja saya, saya katakan, "Jangan Mas, jangan diusir, nanti berabai." Ya, penumpang adalah benar-benar raja dan ratu di kapal cruise dan meskipun terjadi penyerobotan, mereka tak pernah salah. Akibatnya, karena kebijaksanaan para Melayu tersebut, saya dipindahkan ke bagian lain, bukan saja ke meja yang lebih kecil, tapi juga di dekat jendela alias bisa melihat keluar ke laut.
Ada 6 orang lainnya di meja makan kami. Yang dua, pasutri dari Georgia dimana suaminya terkena stroke 2 tahun lalu ketika mereka sudah menikah 40 tahun. Eddy nama si suami hanya duduk di kursi roda, tak mampu lagi berbicara dan tidak punya kekuatan untuk memotong makanannya. Hanya satu tangan kirinya yang masih berfungsi. Satu pasutri lagi dari suatu ndeso di Oregon, suaminya mantan pokrol bambu alias lawyer, isterinya pernah bekerja di biro perjalanan. Kemudian, dua warga semeja terakhir pasutri dari Monterey, CA. Si misoa pensiunan ngensinyur pakar radar dan si isteri mantan real-estate agent. Percakapan dengan mereka menjadi asyik ketika mereka mulai tahu sedikit kesintingan saya, dalam usia 54 tahun sudah pensiun penuh untuk lalu memakai sisa hidupku naik cruise :-). Tidak ada satupun dari mereka yang tega untuk berkata, "Eh bego banget lu," sebab selain mereka tak bisa berbahasa Betawi, juga mereka mendukung penuh kegilaan si saya :-). Ya, dengan persetujuan Cecilia saya memutuskan untuk tidak menunggu sampai kami loyo dan amit-amit jompo di kursi roda, untuk menikmati hidup kami berdua. Weleh-weleh juga prens sadayana, si Romo Richard wong Ustrali di dalam kotbahnya yang cukup menarik, sebagaimana layaknya pastor Yesuit yang pinter-pinter, pada intinya menganjurkan umatnya untuk 'enjoy life to the fullest', kalau perlu mulai umur 54-an :-). Mungkin ia terkena pengaruh dunia perfileman ya yang serba gemerlap dan mengkilap. Becanda lagi sebab ia syer juga sedikit mengapa Ordo Yesuit menugaskannya untuk menjadi PeHaDe di bidang film. Yakni untuk mampu menganalisis pesan-pesan yang dibawakan setiap film sebab film di jaman Y2K+3 ini adalah sesuatu yang bukan main dampaknya terhadap kemanusiaan.
Karena ini adalah cruise kami yang kedua, mau tak mau kami menjadi sering membandingkannya dengan Radiance of the Seas, kapal cruise kami ke kepulauan Karibia yang dongengnya kutulis 2 tahun lalu di milis Anda. Satu hal yang HAL putus banget bagi kami berdua adalah di dalam latihan kebugaran. Bukan saja tiadanya seorang pelatih seperti si Darina anak Rusia yang bahenol, juga tidak banyak program-programnya. Kami dipersilahkan semau dewek untuk melatih kebugaran di ruangan olahraga. Akibatnya meski kami sedikit kecewa, ya kami cobai semua mesin yang ada di ruangan itu, ditambah jalan kaki keliling kapal 5 kali. Itulah jatah atau latihan olahraga kami selama di MS Veendam, agar makanan 10 ribu kalori yang kami makan setiap harinya tidak membuat baju dan celana menjadi sesak setibanya kami di Toronto kembali. Nah, waktu untuk 'exercise' kami sudah tiba, sekian dulu, sampai tayangan berikutnya.