Seperti sudah saya kemukakan dan Anda tentunya sudah bosan, pelayaran tanpa layar tetapi dengan mesin diesel kami adalah dalam rangka minggu-madu alias honeyweek HUT pernikahan kami yang ke 28. Oleh karena itu, setiap malam kami mencari lantai dansa yang musiknya sreg. Ada dua tempat gengsot di kapal ini, Ocean Bar dan Crow's Nest. Yang pertama berisi pemain band anak-anak Filipin dan yang kedua wong bule maupun musik DJ. Kami lebih sering ke Ocean Bar dan cukup bermodal pesan minuman, kami dapat meneruskan "latihan olahraga" sampai tengah malam dalam rangka pembakaran enersi makanan berkelebihan :-). Lantai dansa hanya berisi Caucasian dan Filipinos plus 2 warga Kampung Melayu. Memang orang Asia lainnya, sudah minim di cruise ini, sepertinya lebih senang makannya doang, engga nyindir nih :-). Oya, sejauh ini hanya ada satu dua anak hitam yang saya ketemui, kemungkinan besar wong Amrik alias bukan langsung cabut dari Afrika sebab Alaska yang dingin mestinya tidak menarik untuk orang Afrika.
"Dolphins on the port side ....", begitu woro-woro dari si Sherry, seorang naturalist yang dikaryakan HAL untuk mencerahkan para penumpang yang senang dengan alam dan isinya. Bergegaslah kami berdua loncat dari ranjang untuk keluar ke deck. Untungnya lagi kami, kamar kami ada di lantai utama kapal alias yang mengelilingi seluruh bagian kapal. Sepasang dolphin yang sedang berloncatan ria sempat terlihat oleh si Jeha dan isterinya. Tanpa adanya dolphin, pemandangan sepanjang apa yang dinamakan Alaska Inside Passage cukup aduhai. Di sebelah timur daratan negara bagian Alaska, di bagian barat jajaran pulau demi pulau. Bila Anda melihat peta Alaska, Inside Passage hanya seperti segaris alias sempit sekali jarak kedua tepiannya. En toh, kapal-kapal cruise dapat mulus melintasinya karena cukup dalam rupanya. Selama kapal meluncuri selat khas ini yang panjangnya sekitar 600 kilometer, kami serasa berada di atas kanu raksasa yang sedang melintasi sungai. Inside Passage tahun ini akan dilewati 700 ribu penumpang cruise, demikian ramalan Empeh Wong Kamper karena selain indah pemandangannya disana-sini, juga penuh dihuni cem-macem satwa. Ketika kami melihat ikan lumba-lumba di atas, pada jam 5 pagi awak kapal di anjungan melihat ikan paus, jenis humpback whale. Setiap ada ceramah si Sherry sang naturalist, kami mengikutinya sehingga sempat dicerahkan akan keindahan fauna dan flora di Alaska.
Tepat jam 2 siang hari Selasa 13 Mei 2003, Bang Jeha dan Empoknya berhasil menginjakkan kaki mereka di bumi Alaska, di kota pertama yang kami labuhi, Juneau. Meski kami sesekali menclok di airport kota Anchorage tapi tak masuk hitungan lach yauw karena itu cuma transit doang. Setelah mempelajari beberapa brosur turisme mengenai kota Juneau, satu-satunya atraksi yang menarik bagi kami untuk dilihat adalah ke Mendenhall Glacier. Karena cuaca dingin dan hujan, lagipula kami pernah melihat atau tepatnya naik ke atas glacier, suatu sungai es di Columbia Ice Field, Alberta, maka kami lewatkan saja. Belakangan, prens semeja makan kami melaporkan kekecewaan mereka melihat glacier tersebut. Pelayanan maupun tempatnya bego, demikian pula cuacanya. Sejak berangkat hujan turun terus dan sejam mereka menunggu bis pulang di udara terbuka diguyur air di suhu sekitar 5C. Karena ini bukan acara kemping tapi cruise jadi secara psikologis hal itu memang bego :-).
Saya tak tahu Anda senangnya apa, tapi kalau Anda mengharapkan saya bercerita mengenai syoping di kota-kota yang kami darati, sori banget prens, baca buku turisme Alaska saja (yang memang penuh dengan info begituan). Kalau Anda senang sejarah, satu paragraf saja ya. Kota ini "diketemukan" oleh dua orang pencari emas, Joe Juneau dan Richard Harris yang dibawa seorang kepala suku Tlingit bernama Kowee. Setelah beberapa jam mereka menyaring pasir di muara sungai kecil di Juneau, mereka menemukan ada emasnya. Pada tanggal 4 Oktober 1880 itu, Oom Harris dan Juneau meng-claim kapling yang mereka namakan Gold Creek yang kemudian ternyata lumejen sekhalei jumlah emasnya. Kota Juneau memang indah dan konon mendapat ranking nomor 5 dari kota yang menjadi tujuan kapal cruise sedunia. Ia terletak atau diapit dua gunung bersalju, Mt. Juneau dan Mt. Robert yang sebetulnya sih engga tinggi-tinggi banget, cuma seribuan meter keduanya. Keindahannya sukar dilukiskan dengan kata-kata, apalagi kalau Anda seorang mantan pendaki gunung seperti saya, yang selalu menghela napas panjang bila melihat gunung yang rupawati.
Keindahan suatu gunung, bagi si norak Bang Jeha akan lebih terasa bila di puncaknya ada esnya. Soalnya kagum mek karena di kampung sendiri waktu di Melayu tidak ada atau tak pernah mendaki gunung yang puncaknya bersalju. Bila di bawah sang gunung ada danau atau air yang berwarna-warni, keindahan itu akan lebih terasa. Begitulah kira-kira situasi kota Juneau yang hanya berpenduduk 30 ribu jiwa. Di seberangnya ada Douglas Island yang dipisahkan oleh selat bernama Gastineau Channel. Sebenarnya glacier Mendenhall itu hanyalah satu (yang terdekat ke kota) dari 38 glacier lainnya di sekitar Juneau atau di Juneau Ice Field yang luasnya sekitar 3000 km persegi. Karena luasnya maka kalau Anda bermodal, Anda dapat naik helikopter untuk mengunjungi para glacier tersebut dengan tarip per orang sekitar 100 $ per jam trip. Trip dengan waktu terbang/tour 3 jam jadinya sekitar 300-an dollar, yang termurah adalah trip terbang 1 jam doang, 140 $ saja. Artinya, berdua ngeliat glacier dari udara, 300 $ melayang alias satu tenda 3-season oke punya :-). Jadi dalam rangka penghematan pensiunan muda Anda, kami cuma hiking putar kaki sepanjang downtown kota Juneau selama 3 jam dan sudah sangat memuaskan sahaya karena kantongku tidak sampai menipis :-).