Alkisah di tahun 1865 sekelompok THP, The Hurting People dari Wales yang merasakan semakin terdesaknya bahasa maupun budaya bangsa mereka oleh penjajah Inggris, memutuskan untuk hijrah ke Argentina. Pemerintah negeri ini memutuskan membuka daerah Patagonia yang luas agar dihuni manusia dan mengundang para THPers tersebut. Di akhir bulan Mei tahun itu berangkatlah mereka demi kelanggengan bahasa dan budaya serta cara hidup mereka. Sedikit yang pernah pergi keluar dari kampung mereka, apalagi ke luar Wales. Dua bulan mereka berlayar dan pada tanggal 27 Juli 1865, 153 THP ini tiba di Puerto Madryn ... untuk nangis bombay :-). Yah, seperti itulah kalau saya jadi mereka sebab boro-boro dijemput di lapangan terbang Toronto Airport seperti banyak dari antara kita imigran Toronto yang cabut langsung dari Indo, apa yang mereka jumpai adalah tanah gurun tanpa ada pohon satu pun maupun air minum dari sungai danau kolam. Mereka kemudian pindah ke pedalaman ke tempat yang lebih layak dihuni imigran jaman dahulu kala. Itu juga asal nama Madryn, yakni nama seorang baron dari daerah mereka berasal.
Puerto Madryn saat ini hidup selain dari turisme, konon setiap minggu 3 kapal cruise berlabuh, juga pangkalan penyelam untuk melihat keindahan pantai atau laut di daerah sini. Ada satu pabrik aluminium kepunyaan Aluar, yang juga memberi nafkah sehingga jumlah penduduk kota mencapai 60 ribuan. Selain satu cagar alam bernama Peninsula Valdes yang dijadikan UNESCO World Heritage Site, ada beberapa obyek turisme di sekitar Puerto Madryn. Yang terkenal lainnya adalah Punta Tombo dimana hidup 2 juta warga penguin jenis Magellan. Masih ada Punta Loma, kawasan singa laut dan beberapa jenis burung pantai. Serta tentu untuk yang senang sejarah atau berdarah Welsh mereka bisa mengunjungi desa bernama Gaiman dimana mereka dapat minum teh di kedai-kedai teh disitu, salah satu acara budaya bangsa Welsh.
Seperti sudah direncanakan, setelah kapal merapat di dermaga, kami naik free shuttle ke kota yang lumayanan jauhnya kalau jalan kaki. Naik bis bangsanya 10 menitan sampai dan langsung menuju pusat kotanya. Bis berhenti di beberapa kantor turis lokal dan langsung seorang calo menghampiri kami. Dalam bahasa Inggris yang boljug, ia menawarkan jasa kemana saja ia atau kumpeni yang dicalokannya bisa membawa kami. Ke Punta Tombo yang jauhnya 2 jam-an tarifnya US$ 50 per orang, demikian juga ke Peninsula Valdes. Kontraskan ongkos itu dengan yang dari kapal, minimum US$ 150 per orang, dan kalau yang lebih private dengan van kecil seperti yang ditawarkan ke kami, 190$ ke atas. Jadi tentu saja kami oke-in dan kebetulan cepat dapat muatan yang memenuhi kuota mereka, asal ada 8 penumpang rupanya pulanglah modal dan mereka dapat keuntungan. Selain supir, mereka menyediakan dua tour guide, yang satu si Laura yang cuma bisa bahasa Spanyol, yang satu tukang terjemahinnya, Macarena yang bahenol :-).
Jam 11 siang van berisi 8 turis penghemat dari kapal cruise, 4 pasutri Amrik dan 2 nyonya-nyonya Buenos Aires atau turis lokal, berangkat menuju Valdes Peninsula. Setengah jam di jalan aspal, tibalah kami di pos cagar alamnya dimana kami harus bayar lagi karcis masuk, 45 pesos, US$ 14 cash. Karena sudah banyak baca-baca sebelum pergi, saya tahu memang ada ongkos ini. Untuk bangsa Argentina, karcis masuknya cuma 15 pesos, masuk di akal, kalau sama 45 pesos buat apa yah jadi warganegara Argentina :-). Jalanan dari situ mulai jalan kampung alias gravel, berbatu-batu sehingga lantai mobil dan spakbor terus berbunyi bletak-bletok karena batu kerikil jalanan yang mencelat. Debunya luar biasa meskipun tidak ada mobil di depan, apalagi kalau ada. Mobil atau van-nya sih pakai AC tetapi mungkin sirkulasinya tidak bisa cuma dari dalam atau sudah rusak, pokoknya terasa banget makan debunya. Di dalam tour dari kapal pun sudah diwanti-wanti bahwa jalanan akan demikian, jadi perlu fit selain keadaan akan berdebu. Apa boleh buat, udah kepalang sinting.
Tujuan pertama kami di cagar alam itu adalah ke pantai timurnya yang bernama Caleta Valdes, tempat ribuan penguin jenis Magellan atau penguin kelas cebol ngerumpi sepanjang musim panas. Di musim dingin mereka akan hijrah ke utara menuju Brazil alias tempat yang lebih hangat. Penguin saja pinter pindahan. Puas melihat penguin, kami pindah ke arah selatan untuk melihat koloni elephant seal. Kalau Anda tukang nonton film, seal jenis ini dipertunjukkan di dalam film kisah delapan anjing yang mengharukan berjudul 'Eight Below'. Yakni kisah anjing bernama Maya dkk-nya yang terpaksa ditinggalkan di Antarctica dan selamat meskipun hampir dimakan seekor elephant seal. Eniwe elephant seal yang kami lihat mah pada tidur-tiduran doang, ratusan jumlahnya dan beberapa puluh ada yang bermain di air. Itulah dua atraksi utama kunjungan ke Peninsula Valdes, dimana cuma orang sinting yang ngelakonin 5 jam di mobil di padang gurun, hanya untuk melihat beberapa jenis binatang. Padahal ke kebun binatang di Metro Zoo Toronto, cukup naik TTC 2 dollaran, puas melihat segala macam binatang. Duh kasian deh loe Bang Jeha ama bininya yang norak.
Penumpang kapal cruise ini tidak penuh, tampak dari lumayan kosongnya ruang makan maupun teaternya setiap hari. Joko, bartender yang bertugas melayani kami di ruang makan malam mengatakan cuma 2000-an padahal kapasitas Radiance of The Seas adalah 2500 penumpang. Kami suka memesan minuman ke beliauw dan malam ini ia membuatkan 'surprise drink' katanya. Isinya 3 lapisan warna minuman non-alkohol yang ternyata paling atas jeruk, tengah sirop santan dan di bawah stroberi. Ketika dicampur memang cukup enak. Ketika saya tanya apa namanya, 'love connection' alias minuman KKN kata Mas Joko wong Solo :-). Bila ada yang memakai badge dan tertulis Indonesia di bawah namanya, memang kami tegur. Selain Joko ada Ida dan Enny serta Ketut anak Bali. Konon cuma ada 24 anak Melayu yang bekerja di Radiance of The Seas saat ini. Kata Ida yang meninggalkan dua anak dan isterinya di Denpasar, route Amerika Selatan ini cukup berat sebab mahalnya ongkos telepon ke Indo dari setiap pelabuhan singgah. Ia katakan route Alaska maupun Kepulauan Karibia, lebih oke, ongkos interlokalnya lebih murah. Ia menanti saatnya untuk sebentar lagi kapal akan pindah ke route Alaska katanya. Seperti sering saya syerkan, pekerjaan menjadi awak kapal cruise memang berat, apalagi kalau sudah berkeluarga. Itu sebabnya mereka sering kami ajak ngobrol di setiap ada kesempatan, untuk bisa kongkow dalam bahasa ibu mereka sebab mana ada waktu ngerumpi di luar jam tugas/kerja.