Ushuaia (baca: us-swa-ya) kota terselatan di dunia, sejarahnya kelabu. Dimulai dari pembantaian suku Indian Selkman dan Yaganes yang menghuni daerah ini oleh orang Eropa, sampai dengan dijadikannya tempat itu sebagai pembuangan manusia kriminil atau penal colony Argentina. Dalam hanya satu generasi, seluruh suku Indian di Tierra del Fuego, yang sudah tinggal disitu selama 12 ribu tahun, punah. Mereka dibasmi dan dibunuhi secara sistimatis termasuk kena cem-macem penyakit wong bule. Pada tahun 1884, Argentina yang memperoleh daerah itu setelah selesai berperang dengan Chile, mendirikan beberapa penjara. Saat itu Ushuaia hanya berupa desa tempat orang Inggris berkotbah.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, penduduknya semakin banyak sejak kota ini menjadi pusat perikanan, sumber kayu, peternakan maupun ditemukannya emas. Karena keindahan pemandangannya, di selatan terletak Beagle Channel, di utara pegunungan Martial, turis berkapal-kapal sekarang mengunjunginya. Salah satu atraksi utama para turis adalah naik kereta api uap tempo doeloe ke dalam cagar alam Tierra del Fuego National Park. Sebagai penggemar naik kereta api termasuk setiap hari sekarang naik subway ke kantor, Bang Jeha memang sudah merencanakan menaikinya. Tour naik kereta-api-kereta-api-an sebab hanya buat turis, kalau ikut kapal US$ 120 sahaja. Demi penghematan supaya masih bisa ikut cruise :-), kami memilih beli karcis dhewek. Pucuk dicinta ulam tiba sebab tak jauh dari dermaga, masih di dalam lahan pelabuhan PJKA, eh kantor KA Argentina buka cabang. Tidak usah pakai calo atau dicatut harganya US$ 50 per orang atau 170 pesos, sudah termasuk 50 pesos untuk karcis masuk Tierra del Fuego N.P. Bandingkan dengan karcis masuk day pass ke cagar alam Kanada yang sekitar $ 6. Argentina memang butuh duit banyak :-).
Eniwe, kami udah hepi bisa mendapatkan karcis sampai setengah harga, weladalah PJKA-nya Argentina payah alias tidak terima kartu kredit. Maklum US$ cash sudah kami cadangkan untuk dipakai kasih cem-macem tips buat awak kapal di akhir cruise nanti. Alhasil kami mesti keluar pelabuhan dan mencari ATM. Tidak begitu jauh, sekitar 2 blok, ketemu ATM dari Banco del Tierra del Fuego. Masukin kartu dan nomor PINku, minta 400 pesos, sek-kresek-kresek, keluar 400 pesos sesuai kebutuhan hamba dan nyonya. Balik lagi ke pelabuhan untuk beli karcis supaya tidak kehabisan. Jam 9:30 kami sudah duduk di dalam minibus yang membawa kami ke stasiun kereta api uap, yang jauhnya sekitar 10-an km di barat kota. Sebab Ushuaia terletak di selatan dunia, maka semua-mua mereka claim sebagai end of the world, tak terkecuali nama kereta-api yang kita naiki, End of The World Train.
"Bagaimana cagar alam tersebut Bang Jeha?," tanya para prenku pencinta alam. Payah rek! Modal utamanya cuma ada pegunungan tinggi yang di beberapa tempat ada saljunya, itu juga engga banyak. Flora dan faunanya mah biasa-biasa saja. Suhunya memang adem menyegarkan seperti di Puncak, pas kita keluar di stasiun pertama bernama Macarena. Stasiun ini pun biasa-biasa saja, cuma bisa melihat air terjun setinggi beberapa meter. Masih lebih indah si guide Macarena :-). Ada sungai kecil cukup jernih yang melintasi cagar alam tersebut dan kita lihat sepanjang trayek, Rio Pipo. Si Pipo juga biasa-biasa saja, tak bisa di-canoeing, lebih cocok untuk dipakai anak Indo boker, wekekekek. :-) Ya, belum lama ini saya melihat film dokumenter tentang banjir di Jakarta, sering banget cameraman-nya nge-shoot si entong si tole lagi jongkok. Ja'ul dah tuh cameraman, malu-maluin bangsa ibuku saja :-).
Di pelabuhan Ushuaia, tak jauh dari kapal cruise kami berlabuh, ada puluhan kapal layar cem-macem jenis. Kalau saja saya bisa hidup sekali lagi, itulah yang akan lebih mengasyikkan, masuk pakai kapal layar ke Ushuaia lewat Beagle Channel. Cuma terasa banget kencang anginnya alias memang mesti sudah jago untuk bisa sampai berlayar kesini, apalagi kalau melewati Cape Horn. Berhubung saya sudah uzur, biarlah Anda-anda saja yang masih muda untuk memilik cita- cita berpetualang model demikian. Mong-ngomong petualangan, kami segerbong hadap-hadapan duduknya dengan 2 bule su-is dari Kemptville suburbnya Ottawa. Mereka ngajak ngobrol dan banyak modal ceritanya. Sebelum berangkat cruise, sejak Desember mereka sudah di Brazil dan lalu ke Argentinia untuk melihat Iguazu Fall. "Amazing, incredible," kata mereka. Sahaya hanya bisa menelan ludah :-). Setelah selesai cruise, mereka akan masuk ke pedalaman Chile dan lalu naik bis kereta-api balik menuju Sao Paolo, Brazil, tempat mereka start. Keduanya sudah pensiunan, kaga heran. Mereka juga memberikan satu dua tips tempat yang mesti dikunjungi, mendengar musim panas nanti saya dan nyonya akan camping di Alaska.
Kembali ke laptop atau dongengan serial ini, sekitar jam 12-an kami sudah balik ke pelabuhan dan karena masih banyak waktu serta sisa 60 pesos, maka syoping lah ceritanya dabos di sepanjang jalanan kota. Isi kota ini memang cuma resto dan toko, mayoritas. Jadi rada blo'on juga kalau sudah jauh-jauh kesini dan cuma city tour, apanya yang mau dilihat. Namun satu hal unik dan ada dimana-mana di Argentina, panggangan daging yang memakai kayu bakar guede-guede, yang bisa kelihatan dari luar resto. Sepertinya sih enak daging yang dipanggang pakai bara kayu tersebut, cuma ngapain makan di luar restoran kapal :-). Ingat bahwa masih banyak tempat lainnya yang kami belum kunjungi. Jam 1 siang kami sudah berada lagi di resto kapal untuk menikmati makan siang gratis, semaunya. Beef teriyaki-nya memang tidak dipanggang dengan bara kayu tetapi cukup enak, juga hidangan lainnya yang rupanya demi menghormati Imlek, menunya serba Asian. Cuma makan pagi yang mulai terasa eneg-mbleneg dan sekali lagi nyesal tidak bawa indomie goreng. Semingguan terus makan corned-beef campur kentang, sosis bacon oatmeal omelette, indomie akan serasa surgawi :-).