Baltic Sea Cruise # 7

Kecuali Anda senang ilmu bumi atau tahu sejarah Eropa terkini, kemungkinan Anda tak tahu dimana letaknya Estonia. Bersama Latvia dan Lithuania di selatannya, ketiganya sering disebut The Baltic Republics sebab terletak di sebelah timur Laut Baltic. Saya tahu mengenai letak ketiganya sebab suatu ketika, seorang imigran Toronto asal Lithuania, Clive Bormanis, menjadi anak buah saya di IBM. Ia anak yang rajin belajar dan setiap hari ada saja yang ia pertanyakan kepada saya yang memberikan bimbingan di dalam sistim AS/400. Karena memang ia semart, lebih pandai dari gurunya :-), suatu ketika ia menjadi salah satu pakar AS/400 di IBM Lab kami. Nah, selain urusan teknis Clive sering syer ke saya mengenai keTHPannya ketika negaranya, Lithuania masih dijajah Rusia, untuk kemudian memerdekakan diri di tahun 1991 (dengan damai sebab Partai Komunis Rusia menjadi ompong sejak Gorbachev).

Karena kemungkinan Anda tidak begitu tertarik dengan politik; jarang anak Indo yang baik dan jujur demen politik :-), saya lewatkan sahaja dongengan tentang sejarah politiknya Estonia. Satu hal non-politik yang menarik adalah bangsa Estonia pun berasal dari Asia Tengah, sekitar 3000 tahun sebelum Masehi mereka hijrah ke bagian timur laut Laut Baltic. Negaranya tidak luas, cuma 45 ribu km persegi, jauh lebih kecil dari Jawa Barat, kira-kira sama dengan Swiss. Penduduknya juga cuma 1.3 juta dengan mata uang Kroon, sedollar Kanada dapat 10 Kroon. Ibukotanya Tallinn dan kata si John Lawrence, dalam sehari kita bisa jalan bolak-balik beberapa kali keliling Tallinn :-). Itu sebabnya Bang Jeha memutuskan jalan kaki sahaja dari kapal ke pusat kota, yang bisa ditempuh dalam waktu 30-an menit.

Selera atau minat manusia memang berlain-lainan. Tadi pagi di muka Internet cafe saya ngobrol dengan beberapa turis Asia dari Amrik, sambil nyerudut kopi. Mereka kepengen banget bisa naik subway St. Petersburg sebab mereka ikut tour keliling kota plus ke Hermitage. Salah satu pren mereka ikut tour yang sama dengan saya (lain rombongan) dan mendeskripsikan kehebatan sang subway. Mereka kaga demen ngeliatin puluhan ratusan lukisan di Hermitage. Itu kan saya juga udah bilang, saya cuma ngerti kebagusan lukisan si Ruben :-). Melihat lukisan Paul Gauguin yang hijrah ke Tahiti, saya jadi teringat Ni Polok di Sanur, Bali yang ketika saya pertama kesana di tahun 1960-an, masih hidup dan berfoto bersama di muka lukisan Oom Majeur, suaminya. Menurut saya Ni Polok lebih indah dari bininya si Gauguin, juga lukisan suaminya :-).

Anda yang rajin mendoakan saya dan rombongan, mbok jangan lupa juga akan laptop Toshiba Satellite A100 saya yang dipakai untuk menuliskan dongengan serial ini. Soalnya sebelum kami berangkat, colokan listrik di belakangnya mulai bermasalah. Dasar si tupai Jeha tidak belajar dari pengalaman, laptop IBMnya pernah bermasalah soal colokan ini. Terlalu sering dicabut dicolokin, power portnya lepas solderannya dari si motherboard. Saya sudah dikasih box FedEx oleh kumpeni yang mengurus warranty Toshiba ini, untuk dimuati laptop, dikirim ke depot mereka buat diservis. Tapi karena berisiko laptop tidak balik sebelum saya berangkat cruise, maka belum saya lakukan. Dari waktu ke waktu, colokan tersebut perlu saya kutak-kutik goyang-goyangin a la si Inul, untuk dapat lagi sambungannya dan untunglah sampai saat ini masih oke.

Keluar dari laptop, maksudnya balik ke cerita mengenai Tallinn, ibukota Estonia, negara Baltic paling utara. Sekitar jam 8 kami mulai berjalan kaki dari pelabuhan ke pusat kota. Tak jauh dari kapal, biro turis kota ini mengkaryakan seorang sinyo yang membagikan brosur peta kota, lengkap dengan nama jalan dan obyek-obyek turisnya. Sesuai dengan petunjuk Oom John, tak lama berjalan kami mulai mendaki ke arah kota tua, melewati gerbang benteng. Masuklah kami menyusuri jalan "rayanya" bernama Pikk, artinya panjang, yang merupakan jalan utama kota ini di jaman dahoeloe. Jelas bawahnya batu atau cobblestone sehingga dipilih UNESCO menjadi salah satu World Heritage. Puas kelilingan kota Tallinn sampai ke puncak bukitnya, kami balik setelah sebelumnya mampir di apotek paling tua di dunia yang didirikan di tahun 1422. Entah fakultas farmasi atau kedokteran dari mana dengan dukun apaan yang bisa menulis resep ada di jaman itu. Eniwe, mestinya UNESCO engga sembarangan kasih mereka promosi demikian kalau datanya ngaco. Karena jauhnya pelabuhan atau kota berikutnya dari Tallinn, yakni Gdynia dan Gdansk di Polandia, kapal mulai berangkat jam 1 siang setelah tahu Bang Jeha sudah kembali ke dalamnya.

Home Next Previous