Pengalaman Anak Betawi I

Saya dilahirkan di kota Batavia, dibesarkan di kota Djakarta dan meningkat dewasa di DKI Jakarta-Raya. Itulah perkembangan nama kota Jakarta dari masa saya lahir hingga kini. Sewaktu saya masih kecil kota Jakarta lebih dikenal dengan nama Betawi bagi penduduknya yang sehari-hari memakai bahasa Jakarte atau Melayu-pasar. Betawi atau Jakarta yang saya kenal waktu saya masih kecil sungguh berbeda dengan Jakarta ibukota R.I. sekarang. Lalulintasnya masih sepi, daerahnya tidak seluas sekarang dan banyak taman disana-sini. Kendaraan umum yang populer waktu itu adalah trem listrik, opelet dan becak.

Saya tinggal di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat. Tentu hampir semua orang Indonesia yang pernah ke Jakarta tahu Pasar Baru. Disitu terletak toko-toko yang besar (untuk ukuran tahun 50-an) seperti toko De Zon, Europa, Populair, Bijenkorf, toko Yap, macam-macam pasar dan kios serta di sekitarnya bioskop- bioskop seperti Globe, Capitol, Astoria dan Cinema. Rumah kami terletak di Jl.Lautze, dekat dengan Jl.Kartini yang sejajar dengan sungai Ciliwung. Di mulut Jl.Lautze ada suatu jembatan kecil (Jembatan Tinggi namanya) untuk orang menyeberangi sungai dan tiba di Jl.Gunung Sahari. Letaknya kira-kira di seberang kantor Gedung Putera sekarang. Jaman dahulu ada bank Belanda yang terkenal disitu, NISP (Nederlands Indische Spaaring en Postbank).

Teman bermain saya adalah anak-anak kampung sekitar daerah tersebut dan akan saya ceritakan "pelajaran renang" saya yang pertama. Di sebelah timur Jl. Gunung Sahari terletak lapangan terbang Kemayoran yang dapat dicapai lewat jalan kampung dibelakang NISP atau pabrik ham Jenne yang akan saya ceritakan kisahnya nanti. Sebelum mencapai daerah lapangan terbang ada rel kereta api dari utara ke selatan. Rel ini bermula di stasiun Kota, melalui belakang Akademi Ilmu Pelayaran, menyeberang Jl.Gunung Sahari, terus ke Senen dan akhirnya sampai di stasiun Jatinegara. Nah dari mulai jalan kereta api sampai ke lapangan terbang, jaman dahulu adalah rawa-rawa yang penuh dengan "kolam renang".

Seusai sekolah anak-anak yang ingin belajar berenang berkumpul dekat Jembatan Tinggi tanpa membawa apa-apa. Tidak perlu celana berenang, pakaian ganti, handuk, sabun dan sebagainya. Kalau kami bawa benda tersebut alamat pulang ke rumah kami tidak "selamat". Jadi pergi dan pulang ke rumah harus biasa, wajar saja. Acara renang dimulai dengan memilih kolam mana yang airnya cukup dalam dan cukup luas untuk menampung rombongan kami. Semua pakaian dibuka dan ditaruh di atas rumput berjauhan dari kolam supaya tidak terkena cipratan air. Nah, satu persatu kami terjun bugil ke dalam kolam tersebut. Tanpa perlu instruktur atau guru, kami berenang dan menyelam seenaknya sambil tentu siram menyiram air. Bila sudah puas maka kami kenakan pakaian kami kembali setelah kami loncat-loncat sebentar untuk mengeringkan air dari tubuh kami. Karena umumnya pakaian masih basah sedikit maka tentu kami tidak langsung pulang ke rumah tapi berjemur dulu di sekitar rel kereta api. Disitu banyak kerikil dan batu-batu kecil. Kami mulai dengan mencari "batu cincin" yakni kerikil kwarsa. Sesudah bosan mencari batu cincin, paku besar yang kami bawa dari rumah kami taruh di atas rel kereta menunggu kereta lewat. Kereta akan menggilas tipis paku tadi sehingga berbentuk pedang-pedangan kecil. Begitu kereta lewat kami perhatikan ke arah mana "pedang" kami terlempar. Umumnya dapat kami temukan dengan mudah dan kami bawa pulang sebagai oleh-oleh untuk teman yang lain atau kami pakai bermain.

Kalau anak-anak Toronto yang belajar berenang mempunyai acara open house dimana mereka menunjukkan kemahirannya di hadapan orang tuanya, kami juga mempunyai acara open house di sungai Ciliwung. Sungai Ciliwung pada saat itu belum sekotor sekarang dan dipakai oleh ibu-ibu dari kampung sekitarnya untuk mencuci pakaian. Mereka yang sudah merasa "lulus" di "kolam renang" Kemayoran lalu membuat acara terbuka alias berenang di Ciliwung ditonton oleh anak-anak sekampung dengan catatan orang tua tidak diundang.

Di atas sudah saya singgung mengenai pabrik ham Jenne. Mungkin disitulah kesenangan saya akan musik atau orkes simfoni bermula. Ada hubungan apa antara pabrik ham dengan orkes simfoni? Nah untuk membuat ham tentu perlu bahan utamanya berupa babi. Babi-babi tersebut ditaruh di suatu lapangan kecil, tiap ekor ditaruh dalam suatu kurungan bambu silindris. Kurungannya berlubang-lubang besar supaya babi mendapat angin secukupnya agar tidak kepanasan. Kalau kami pulang berenang atau hendak menuju "kolam renang", umumnya kami lewat pabrik Jenne sebab ada jalan tembus ke rel kereta api terus ke Kemayoran. Babi yang menunggu untuk dijadikan ham tersebut umumnya tidur saja kerjanya, maklum babi. Nah, anak-anak lalu memetik rumput lalang yang panjang dan berbulu serta dimasukkan ke dalam hidung babi. Kami kilik-kilik hidung sang babi sehingga beliau mulai kegelian dan mengeluarkan bunyi "musik" yang merdu, ngooook, ngooook. Masing-masing babi tentu lain lain suaranya sehingga kilikan rombongan kami akan menghasilkan orkes simfoni alamiah. Kadang-kadang kami kepergok penjaga pabrik dan akibatnya kami harus lari menyelamatkan diri kalau tidak ingin mendapat tempeleng dari si penjaga. Mungkin penjaga pabrik senang juga mendengar musik tersebut sehingga jarang kami sampai tertangkap oleh dia. Itulah acara olahraga kami sewaktu masih kanak-kanak.

Pada awal tahun 50-an tentu belum ada yang namanya televisi. Radio di rumah hanya orang tua kami yang mendengarkannya. Nah, hiburan anak-anak kampung selain menonton lenong pada hari-hari raya adalah menonton bioskop rakyat. Di Jl.Krekot Raya (sekarang Jl.Samanhudi), dekat rel kereta api ada bioskop bernama Cinema. Di sebelah Cinema ada suatu bioskop rakyat bernama Varia. Bioskop ini lantainya tanah, dindingnya papan dan atapnya ijuk. Bangkunya bangku panjang sehingga penonton duduk sederetan. Film yang diputar disini umumnya film action seperti koboi melawan indian, film-film Sindbad dan film-film bajak laut. Salah satu kesenangan menonton film di bioskop rakyat ini adalah kalau jagoan kami berada di atas angin dalam perkelahiannya melawan bandit, maka kami akan berteriak-teriak, bertepuk-tepuk dan menjerit-jerit sekuat-kuatnya sebab makin kencang kami berteriak, makin hebat tonjokan atau tendangan jagoan kami.

Seusai film umumnya kami akan meneruskan cerita film versi kami sendiri di suatu kebun tebu dekat situ yang merupakan "medan perang" kami. Rombongan kami bagi menjadi dua kelompok, kelompok jagoan dan kelompok bandit. Alat perang kami adalah senapan buah seri yang terbuat dari 2 batang bambu. Satu batang panjang dan satunya pendek dan keduanya kami ikat dengan karet. Batang yang pendek kami ganjal sedemikian sehingga berfungsi sebagai pelatuk. Buah pohon seri yang kecil bundar dan ada tangkainya merupakan peluru kami. Dengan bantuan karet kami tarik buah tersebut dan kami jepitkan ke batang yang berfungsi sebagai pelatuk. Kalau pelatuk kami tekan, buah seri yang tertarik oleh karet akan terpental dan menembak lawan kami. Kadang-kadang perang-perangan bisa menjadi perkelahian benar-benar. "Kena lu," kata yang satu. "Engga, engga kena, gua udah ngeles," kata yang lainnya. "Curang lu, kena juga badan lu." "Mana bisa kena, elu yang curang." "Eh, elu mau apa?" "Mau apa lu?" Kedua pihak akan saling mendekati dan menempelkan mukanya satu sama lain. "Mau apa?" "Apa?" Lalu yang satu mulai mejepit leher lawan dengan kedua tangannya (istilah kami: dipiting) dan yang lainnya balas menjepit. Piting-pitingan ini berakhir kalau yang satu kalah dan menangis serta melepaskan pitingannya atau ada yang memisahkan atau ada orang dewasa yang lewat kebun tebu tersebut dan mengusir kami semua.

Kesenangan saya yang lain dan ini umumnya saya lakukan sendirian adalah naik trem gratis. Route trem di Jl.Gunung Sahari bermula dari Jembatan Merah dekat pintu air kecil disitu. Dari Jembatan Tinggi ke Jembatan Merah umumnya trem sudah kosong dan juga singkat jaraknya. Saya sering naik dari Jembatan Tinggi ke Jembatan Merah bolak balik dan kondektur yang mungkin senang dengan anak kecil membiarkan saja. Senang rasanya duduk dalam trem dan menikmati pemandangan sepanjang Ciliwung, Kartini dan Gunung Sahari. Yang paling menyenangkan tentu karena tidak usah bayar. Waktu saya lebih besar dan sudah mendapat uang jajan, saya sering naik sampai ke Jatinegara, ujung trayek trem di atas. Dari Gunung Sahari trem ini akan lewat Senen terus ke Salemba menyusuri Matraman dan akhirnya berbelok lagi di Jatinegara. Disinilah hobby saya untuk jalan-jalan dan bertamasya rupanya terbina.

Kalau anak-anak Toronto membeli buku di Smithbooks atau Coles, "toko buku" favorit saya adalah suatu kios buku di ujung Jl. Pintu Besi (sekarang juga Jl. Samanhudi) di muka Jl. Kartini. "Toko" tersebut hanya buka kalau malam hari sebab di sekelilingnya segala macam makanan dan aneka rupa keperluan dijajakan alias menjadi pasar malam. Disitulah saya berkenalan dengan jagoan saya Siti Gahara dan Maksum, Sri Asih, Nina gadis rimba, dengan Pandawa dan Korawa, dengan Rama dan Rahwana, dengan Petruk dan Gareng serta Semar. Kegemaran saya membaca buku dimulai dengan buku komik dari kios buku itu. Demikianlah secukil kisah masa kanak-kanak saya di kota Betawi di awal tahun 1950. Meski sudah sekitar 40 tahun, semuanya itu seperti hanya kemarin dan masih jelas terbayang, Betawi yang saya cintai.

Home Next Previous