Sepandai-pandai tupai meloncat sekali akan jatuh juga, demikian bunyi salah satu peribahasa bahasa ibu kita. Artinya bagi diri saya, sebanyak-banyaknya teman wanita atau pacar yang memang saya sayangi dan kasihi, akhirnya akan ada satu yang melebihi yang lainnya dan lalu menjadi pilihan untuk teman seumur hidup. Tentu Anda sudah dapat menduga siapa tetapi apakah ada yang ingin menerka dimana saya berkenalan dengan Cecilia? Benar, memang warga P-Net ini pinter-pinter. "Di pesta," katanya. Di pesta apaan? Benar lagi, di pesta PMKRI Marga II atau Rayon Mangga Besar, Jakarta. Ya, si anak Betawi berkenalan dengan si anak Pekalongan di suatu pesta "rutin" PMKRI. Seperti biasanya pesta, mata saya jelalatan ke kanan ke kiri melihat apakah ada yang manis yang bisa diminta turun dansa. Eeehh, kog ada satu "anak kecil mungil" yang cukup manis yang belum saya kenal. Rambutnya tergerai sampai ke pinggang dan dansanya lincah lagi. Senyum diwajahnya seperti melekat jadi satu "dari sononya" alias kelihatan anak yang ramah. Kontan saya tanya teman yang duduk di sebelah saya, "Eh itu anak dari mana tuh." "Oh, itu kan adiknya si ....", sambil menyebut nama kakaknya Cecilia yang paling tua yang sudah saya kenal baik, antara lain karena kami berkarya di Radio Angkatan Muda. "Oohh," jawab saya sambil dalam hati bergumam, "Boleh juga nih." Demikianlah awal mulanya saya mengenal Cecilia, di pesta PMKRI.
Cukup lama kami berteman dan sering pergi bertamasya termasuk camping dengan anak-anak PMKRI lainnya maupun bersama kelompok Natur saya. Jadi proses "testing" apakah memang ia dan saya akan sehati sepikiran juga cukup lama. Satu hal tidak dapat saya lupakan. Suatu ketika bersama beberapa teman kami camping ke pantai Carita. Pulangnya Cecile ikut naik motor bersama saya atau goncengan. Nah, selain mau cepat-cepat pulang, saya juga ingin menguji seberapa keberaniannya. Jadi dari Carita sampai Jakarta, selama keadaan jalan memungkinkan, motor saya kendarai polgas alias semaksimum mungkin. Memang karena motor itu jenis Honda 90 cc, kecepatan maksimum karena berduaan ya hanya bisa 80-90 km per jamnya. Tentu ditambah selap-selip di antara mobil dan kendaraan lainnya bila keadaan macet. Kalau Anda biasa naik motor Anda mengerti apa yang saya maksudkan. Anak Betawi yang bisa naik motor pasti banyak yang ahli selip-selipan. Nah, sepanjang perjalanan gila seperti itu, tidak sepatah-katapun yang menandakan ketakutan atau kengerian atau lainnya diucapkan Cecilia. Di dalam hati saya berkata, "Wah, anak ini ternyata badung juga." Itu salah satu peristiwa atau faktor yang membuat si "tupai jatuh".
Faktor lainnya yang membuat saya terkesan adalah kesederhanaannya atau kemampuannya untuk "diajak cari susah". Contoh terakhir adalah ikut canoe camping kan, tetapi jauh sebelum itu, saya sudah sering "mencari susah" bersamanya. Yang juga masih saya ingat, waktu itu di tempat yang bernama Taman Hiburan Lokasari (dh Princen Park) di Jl. Raya Mangga Besar, terdapat banyak bioskop. Beberapa cukup bagus dan satu dua, kelas rakyat alias "kambing", artinya kalau menonton pakai digigit kutu busuk atau tumbila atau anak Betawi menyebutnya bangsat. Nah, saya sih biasa nonton di bioskop beginian, jangankan yang pakai kutu busuk, yang bangkunya sederetan dan atapnya ijuk oke oke juga. Melenceng sedikit, menonton di bioskop rakyat Varia cukup seru sebab kalau ada anak kecil, "WC-nya" langsung disitu juga alias "selang" dikeluarkan dan cerossss, mengalirlah air dari si kokokbeluk. Lalu, kalau menonton di bioskop yang murahan di Lokasari itu, saya dan Cecilia bawa kertas koran dari rumah. Yang lebih seru, kursinya kursi rotan dan bisa dilepas bagian tempat duduknya. Sebelum kami duduk, kami lepasi dulu dan lalu kami gebrak-gebrak di lantai. Nah, mana ada cewek yang gengsian mau dibawa cowoknya dan nonton di bioskop pakai gebrak-gebrak kursi :-).
Ya, tayangan PAB sudah memasuki yang ke sepuluh dimana rata-rata per tayangan sekitar 9.3 Kbytes. Artinya "dongengan" saya cukup panjang per tayangan dan artinya lagi, selama menulis kisah hidup saya ini, tentu saya sendirian alias isteriku tidak ikut-ikutan. Kalau saja pasangan hidupku tidak mendukung atau menyemangati usaha menulis saya, tidak akan mungkin saya mampu menulis PAB sampai 10 kali, termasuk tayangan-tayangan lain di P-Net yang saya taksir sudah mendekati 100 tayangan. Itulah Cecilia. Dukungannya terhadap karya ataupun kegemaran saya 200%, artinya bukan hanya ia mendukung, ia juga ikut. Saya pernah beri contoh latihan karate, skating, berenang, main badminton, 'walk the dog', hiking dan interior camping, naik sepeda alias pit-pitan, dan sekarang ikut di P-Net (meski ia hanya nge-ROM). Kalau saya menulis tentu ia lah yang pertama yang akan membacanya. Kalau isinya lucu, ia yang pertama-tama akan tertawa. Waktu saya menulis tentang warung encek dan ia tertawa terbahak-bahak membacanya, saya menjadi tertawa juga bersamanya, mengenangkan pengalaman masa kanak-kanak itu. Kalau saya menulis cerita yang menyedihkan, ia ikut terharu bersama saya. Jadi sudah sepantasnyalah tayangan saya yang terakhir ini saya dedikasikan kepadanya sekalian bercerita mengenai manusia 'numero uno' di dalam kehidupan saya di dunia ini.
Kalau Anda belum mengetahui, ialah pacar saya yang terakhir tetapi saya adalah pacarnya yang pertama :-). Ini bukan rahasia sebab ia sering menceritakannya kepada teman-teman kami. Namun ada yang sedikit rahasia yang saya kira ia tidak berkeberatan saya bagikan kepada Anda, sebab kepada teman baiknya suka ia ceritakan. Mengapa "si tupai akhirnya benar-benar jatuh"? Karena guna-guna. Ya benar! Saya baru tahu sesudah kami menikah bahwa ia memakai guna-guna. Tunggu dulu, ini bukan guna-guna model atau a la kemenyanannya mbah capres Pras. Ini adalah 'white-magic' bernama Novena! Ya, masa ia ikut Novena kepada Santo Antonius dari Padua dan menaruhkan saya (apakah cocok menjadi suaminya atau tidak) di Novena itu! Karuan saja Santo Antonius tergopoh-gopoh memproses Novena itu karena ia anak yang baik sih :-). Alhasil, jatuh terhempas deh "si tupai" alias bertekuk lutut dan mata tidak berani jelalatan lagi (di depannya :-)).
Seriusan lagi. Ya, banyak sekali faktor yang membuat kami berdua cocok dan memang kami saling mengagumi karakter maupun kemampuan masing-masing. Kalau semua pasutri di Toronto ini seperti kami berdua, kasian yang namanya tukang betul-betulin. Pokoknya selama kami berdua mampu mengerjakan atau memperbaiki benda yang rusak di dalam rumah ini, akan kami lakukan dan sering-sering sukses atau berhasil. Kalau sampai kami tidak mampu, itu artinya memang atau sudah rusak betul atau dibutuhkan professional skill. Dari mulai mesin cuci, mesin pengering, mesin tik (jaman dahulu), sampai ke heater blower motor, lemari es, kompor, gas barbeque, sampai ke benda-benda kecil lainnya, asal rusak, selalu kami berdua berusaha memperbaikinya sendiri. Sering saya sudah menyerah atau putus asa, ini kog tidak ketemu-ketemu sebab kerusakannya, Cecile yang menyebabkan 'eureka' alias ia yang menemukannya. Terkadang ia masih kutak-kutik dan saya bilang 'this way' dan betul saja. Pokoknya 2 otak, 4 tangan, 4 mata, dsb., memang lebih meyakinkan dibanding kerja sendirian. Selain pekerjaan atau tugas-tugas di rumah dimana kami saling mendukung satu sama lain, juga kami berusaha agar pasangan kami dapat berkembang juga di luar rumah atau di masyarakat luas. Saya mendukung usaha kecil-kecilannya dalam hal masak-memasak, juga karya kerasulannya di paroki Canada kami maupun di antara Umat Katolik Indonesia di Toronto. Ia sendiri, kalau saya perlu kerja lembur dan pulang malam, tidak pernah sekalipun mengeluh, demikian pula waktu dahulu saya sering tugas ke luar kota baik di Indonesia maupun sesudah kami tinggal di Canada.
Syukurlah bahwa kami sejauh ini cukup harmonis dan selain saling mendukung juga merasa saling membutuhkan satu sama lain. Apakah kami tidak pernah berkelahi? Mana ada pasutri tidak pernah berkelahi? "Ada," kata ibu mertua saya, yaitu ia dengan ayah mertua saya. Komentar saya, "O ya, pantas papa sudah tidak ada lagi, rupanya ia terlalu baik." Tentu kami terkadang berkelahi tetapi kami usahakan untuk 'stay to the topic', tidak mengungkit-ungkit masa lalu, "pengalaman anak Betawi" jangan dibawa-bawa :-). Juga kami berusaha untuk menghindari memakai kata-kata, 'tidak pernah' atau 'selalu'. Untungnya saya, Cecile tidak betah lama-lama "musuhan" atau diam-diaman atau tidak ngomong. Juga kami berusaha kalau salah satu pihak memang merasa salah, bilang 'Ai yem sori deh'. Ini memang yang paling cepat membuat "padamnya kebakaran" alias perdamaian kembali berada di rumah kami. Salah satu pihak mengatakan 'mea culpa' dan yang lainnya ikut berkata 'me too'.
Itulah kisah di akhir masa kepemudaan saya, dari bagaimana saya mengenal Cecilia dan bagaimana kami bergaul sebelum maupun sesudah menikah. Semoga seluruh pengalaman hidup saya yang saya bagikan kepada Anda semua, kakak dan adikku yang kukasihi di dalam Dia, bermanfaat kalau tidak sekarang, suatu saat di dalam hidup Anda. Bila Anda menganggap saya cenderung mengagulkan diri atau menyombongkan kemampuan saya, saya mohon maaf sebab memang saya sadar akan kemungkinan ini di dalam menulis kisah hidupku. Saya mempunyai banyak kelemahan dan sering berbuat kesalahan yang kata anak Betawi, 'suka goblok'. Mungkin tidak nyata atau tampak di dalam tayangan-tayangan saya terutama di kisah PAB ini, namun pasti ada. Oleh karena itu saya senang dapat berkomunikasi dengan Anda sekalian melalui wadah ini karena saya pun banyak menimba ilmu kehidupan dari P-Net. Akhir kata, terima kasih kepada Anda semua yang telah banyak memberikan saya semangat baik lewat jalum maupun japri, di dalam menuliskan tayangan selama ini.