Ketika saya mulai besar dan dapat mengendarai sepeda (hasil pelajaran naik sepeda dari ayah saya di rumput-rumput Lapangan Banteng) maka ruang jangkau tempat saya bermain di Jakarta menjadi meluas. Bersama teman-teman yang juga mempunyai sepeda, saya sering pergi mancing ke pinggir laut. Cacingnya kami gali sendiri di kali Ancol, sering di kolong jembatan Ancol yang bagi mereka yang tinggal di Jakarta terkenal "keangkerannya". Cacing di kolong jembatan itu gemuk-gemuk dan sekali gali seabrek-abrek banyaknya. Kalau banyak anak yang ingin ikut mancing dan tidak mempunyai sepeda, 'no problemo', asalkan sepedanya sepeda laki-laki atau ada batang melintangnya, paling sedikit satu sepeda bisa dinaiki atau membawa satu penumpang dan kalau terpaksa dua (!). Jadi bertigaan, satu di jok atau sadel, dua di batang dan kami mengayuhnya bergantian. Yang empunya sepeda mengayuh satu pedal, salah seorang yang duduk di batang mengayuh satu pedal lainnya. Jadi patungan gitu dan akibatnya kami tahan untuk pergi sampai ke ujung Jakarta. Kalau sepedanya kuat (merk Raleigh atau Fongers) dan jaraknya dekat, satu sepeda bisa memuat 4 orang, si pemilik, dua di batang dan satu lagi di sadel goncengan di belakang. Kembali orang tua tidak diundang untuk melihat sepeda anaknya dinaiki 4 orang.
Nah, mancing ikan laut lebih asyik dari mancing ikan darat atau tambak karena ikan laut lebih galak. Itulah salah satu sebabnya sekarang saya "tak senang" mancing bersama isteri sehingga ia jadi mancing sendirian dan suka kecewa. Selain mancing ikan di pinggir laut, bersama ayah saya, kami juga sering pergi mancing kepiting. Di dalam hal ini ayah saya sangat 'accomodating' artinya siapa saja teman yang ingin ikut, selama kendaraan (jeep pinjaman) muat, boleh saya ajak, tak peduli suku apa, Jawa keg, Sunda keg, Ambon, Tionghoa, pokok nya asal teman saya. Akibatnya sejak kecil saya dididik untuk biasa bergaul dengan segala suku. Tempat kami memancing kepiting ini adalah tambak-tambak ikan di Marunda. Sebelum kita ke Marunda, sedikit berbagi pengalaman saya waktu baru mulai tinggal di Toronto, Canada.
Ketika saya melihat sea food di Toronto, seperti ikan, udang dan kepiting untuk pertama kalinya, saya terkejut. Reaksi saya yang pertama-tama adalah kaget. Nah yang namanya "fresh fish" adalah ikan yang sudah wafat entah sejak kapan dan ditaruh di atas serbuk es. Di otak saya waktu itu yang namanya fresh fish atau ikan segar adalah ikan yang masih berenang dalam kolam ikan atau dalam kotak pikulan tukang ikan. Sehabis hilang rasa kaget, saya menjadi kecewa karena mutu "ikan segar" tersebut tentulah tidak seperti yang saya kehendaki. Lama kelamaan baru saya bisa menerima kenyataan ini dan dapat tertawa sendiri kalau melihat "fresh fish" atau "fresh" lainnya binatang yang sudah mati dan ada di atas serbuk es.
Kembali ke pantai Marunda, tempat itu terletak sekitar 30 km ke arah timur dari Cilincing Lama. Ada dua pantai Cilincing di Jakarta, Cilincing Baru atau yang lebih sering disebut Cilincing terletak dekat Zaandvort, Tanjung Priok dan yang satunya lagi Cilincing Lama, lebih ke arah timur. Pada waktu itu pantai Marunda masih merupakan perkampungan nelayan dan banyak sekali kolam kepiting atau tambak ikan berisi kepiting (yang tidak disukai pemilik tambak) di sekitarnya. Konon Marunda sekarang sudah menjadi pangkalan KKO-ALRI dan merupakan daerah tertutup untuk umum. Karena keadaan jalan yang banyak "kubangan kerbau" maka merupakan keharusan untuk naik jeep kesitu apalagi kalau musim hujan.
Pada malam sebelum hari memancing ayah saya membeli belut atau lindung beberapa ekor. Lindung kemudian "diistirahatkan" dan dipotong-potong. Setiap potongan panjangnya sekitar 3 cm. Besarnya lindung ini kira-kira sebesar sosis hot dog jenis barbeque. Potongan lindung lalu dibungkus dengan daun waru dan dibiarkan (istilahnya diinapkan) semalaman. Keesokan paginya "hot dog lindung" sudah siap. Baunya sudah "sedap" karena sudah mulai membusuk. Pancingan kepiting jauh berbeda dengan pancingan ikan. Batang pancingannya adalah sebatang bambu sekitar 1 meter panjangnya. Pada satu ujung bambu diikatkan benang atau tali rami yang cukup kuat sepanjang 1 meter kurang. Di ujung tali ini diikatkan kawat berbentuk segitiga pada puncak segitiganya. Pada alas segitiga kawatnya terbuka sedikit untuk memasukkan potongan lindung di atas. Memang lindung merupakan umpan yang sempurna sebab bagian tengahnya lalu bisa dimasukkan dengan mudah ke dalam kawat tadi. Jadi "hot lindung" kami tergantung di dalam kawat di alas segitiga dan siap untuk kami umpankan.
Waktu yang baik untuk memancing kepiting adalah kalau sedang gelap bulan sebab menurut ayah saya, daging kepitingnya lebih banyak dan padat serta akan banyak kepiting yang mengandung telur. Kalau kita memancing pada saat terang bulan, kepitingnya kosong alias isinya hanya sedikit. Pagi-pagi sekali ketika matahari belum terbit kami sudah berangkat menuju Marunda. Umumnya kami akan sampai di Marunda pada saat masih pagi sekali pada saat matahari baru saja terbit. Kepiting yang baru bangun tidur tentu akan kelaparan semuanya dan begitu mencium lindung mereka tidak akan berpikir panjang atau ingat sikat gigi lagi. Batang bambu pancingan tadi kami tancapkan ke dalam tanah tambak sekitar 30 cm dalamnya dan ujung di mana tali dengan lindung berada kami benamkan ke dalam air sedalam kira-kira setengah meter. Kami tanamkan bambu-bambu tersebut sepanjang tambak dengan jarak sekitar 3 meter antara satu dan yang lainnya.
Setelah bambu selesai ditanam maka tugas kami hanyalah mengawasi bambu yang mana yang akan membengkok ke bawah dan talinya menegang. Itu berarti ada kepiting yang sedang berusaha menarik umpan lindung di ujung tali. Kami tidak perlu tergesa-gesa sebab kepiting tidak akan melepaskan umpan tadi begitu saja tapi akan berusaha terus. Kami cabut bambu tadi dan perlahan-lahan kami angkat talinya dari dalam air. Dengan tangan yang satu lagi, kami masukkan serokan jala ke dalam air dan kami tujukan ke bagian bawah kepiting yang sedang asyik menarik umpan lindung tanpa sadar bahwa talinya sedang diangkat. Tali kami angkat terus dan serokan jala kami dekatkan ke sang kepiting idaman hati sampai akhirnya kepiting dapat kami serok dengan mudah dan terjerat oleh benang jala.
Kepiting yang disekolahkan ortunya akan melepaskan umpan begitu dia merasa terangkat atau mungkin mendapat firasat jelek bahwa "this is not going to be my day". Yah, mereka yang cerdik atau hebat inderanya langsung merasa kalau bambu dicabut dan melepaskan umpan serta lari. Makanya teknik mencabut bambu dan mengangkat tali harus sempurna dan tidak boleh tergesa-gesa. Tetapi tidak boleh terlalu lama pula sebab kepiting akan kabur juga. Dicampur dengan teknik menyerok yang sempurna maka 90% kepiting akan berhasil tertangkap artinya dari 10 kali umpan bambu tertarik, 9 kepiting akan masuk ke dalam tas ransel. Setelah kepiting masuk ke dalam serokan maka beliau harus dilepaskan dan ini ada risikonya kalau kita belum ahli. Saya pernah terkena capitnya karena kurang hati-hati dan sakitnya lumayan. Tidak mudah melepas capit ini dan sesudah saya kibaskan berkali-kali baru capitnya lepas dari seluruh tubuhnya. Pengalaman itu tidak bisa terlupakan meski sudah berselang puluhan tahun. Kepiting yang tertangkap dan sudah dilepaskan dari serokan lalu kami ikat dengan tali. Mengikatnya juga tidak sembarang dan ada seninya tersendiri. Dengan tali yang sependek mungkin kami ikat kepiting hingga hanya kedua capitnya yang terikat ke badannya. Kaki-kakinya umumnya dibiarkan lepas agar tetap "merdeka". Lalu kami masukkan sang kepiting bernasib buruk tadi ke dalam tas ransel yang ideal untuk tempat kepiting karena tidak akan sobek dan bisa dicuci kemudian. Kalau para kepiting di kolam sasaran kami sedang lapar kadang-kadang kami harus berlari-larian kesana kemari sebab tak habis-habisnya ada bambu yang membengkok alias dimakan umpannya. Terkadang kami tidak sempat untuk melepaskan kepiting dari serokan tapi serokan dipakai terus sehingga bisa memuat 2-3 kepiting sebelum sempat kami ikat. Biasanya menjelang hari menjadi terik yakni sekitar jam 11 pagi kami sudah berhasil menangkap puluhan kepiting dan bersiap-siap untuk makan siang ataupun pulang. Kepiting yang benar-benar fresh atau masih segar ini kalau kita rebus dan langsung dimakan disitu, rasanya lezat bukan main.
Kalau sudah pernah merasakan kepiting rebus macam ini, kepiting "fresh" yang dijual di supermarket di Toronto lalu tidak akan menarik mata, hati maupun perut lagi. Itulah sebabnya saya tidak pernah membeli kepiting di Toronto dan tertawa kalau melihat tulisan "fresh sea food" di kota ini. Kembali secukil kisah hidup masa kanak-kanak saya di Betawi yang semoga menyegarkan Anda seperti segarnya kepiting Marunda di masa kecil saya.