Di dalam kehidupan seorang anak, suatu ketika, ketakutan atau kesungkanannya untuk bergaul dengan "lawan jenisnya" terhapus atau berkurang. Kisah masa kanak-kanak saya, belajar berenang di rawa Kemayoran atau kali Ciliwung maupun main perang-perangan dan memancing saya lakukan bersama teman anak laki-laki. Meningkat ke masa pra-remaja saya, saya mulai tertarik dan bermain dengan teman-teman perempuan, untuk mudahnya saya sebut cewek deh ya. Cewek-cewek ini mungkin pada mulanya rikuh atau risih ada cowok yang mau bermain dengan mereka. Saya tidak peduli, yang penting diajak bermain. Yang paling saya senangi adalah bermain bekel dengan cewek-cewek. Mula-mula tentu tangan atau cara saya bermain lucu, saya masih ingat ditertawakan waktu pertama kali mencoba dan diajari. Lama kelamaan tangan saya jadi luwes. Entah berapa banyak di antara Anda yang tahu atau bisa main bekel. Modalnya hanya suatu bola karet kecil dan biji bekel yang juga murah meriah sebab bisa dibeli di warung encek. Karena seringnya bermain, dengan 10 biji, maka kalau permainan hanya 5 biji, saya mampu untuk habis sekali jalan, dari mulai pit, ruh, cin, sampai ke peng lalu ceken (yang tidak mengerti main bekel sabar saja ya). Nah, karena saya mulai bermain dengan anak-anak cewek, satu dua anak cowok suka ikutan jadinya namun jarang bisa menang melawan kami.
Permainan dengan anak cewek lainnya yang saya senangi adalah main cience (dibaca ci-yen-ce), yakni suatu benda yang kita tendang dengan telapak kaki ke sisi dalam dan seninya tidak boleh jatuh. Benda itu umumnya dibuat dari mata uang logam seperti gobangan atau duit logam Belanda yang tengahnya berlubang. Lalu diikatkan kertas-kertas tipis sehingga menjadi cience yang berbentuk pipih bundar. Anak cewek yang jago bisa puluhan kali sepak dan tidak jatuh-jatuh, kadang-kadang gantian kaki kiri dan kanan. Ilmu cience saya payah, paling mampu 20-an dan lalu mati alias jatuh ke tanah. Itu juga kalau lagi mujur dan tidak ada angin. Satu permainan lagi adalah main loncat tali yang kami buat atau untai dari karet gelang (sampai beberapa meter). Ini juga cowok tidak bakal menang kalau lawan cewek, mungkin karena permainan ini membutuhkan kelincahan dan kegesitan khusus yang hanya dimilik cewek.
Permainan cewek lain yang juga saya senangi adalah main congklak. Oleh emak (nenek) saya, saya diajari ilmu warisan alias langkah-langkah yang bisa dihapal untuk membikin "botak" lawan. Rupanya permainan congklak di Betawi sudah beberapa generasi waktu itu, namun saya kira sudah punah sekarang karena bijinya saja (sea shell) mungkin sudah tidak bisa dibeli. Ayah saya membelinya di Pasar Ikan jaman dahulu (juga alat pancing memancing). Main masak-masakan dan rumah-rumahan bersama anak cewek saya kurang suka, kecuali masakannya benaran dan gratis atau tidak perlu bayar. Ya, masih banyak sekali mainan anak-anak Betawi jaman dulu, dari mulai galasin, petak ngumpet, petak kadal, dsb, yang sering dimainkan bersama-sama, laki-laki dan perempuan sampai ke main pelek ban sepeda. Pelek yang sudah tinggal rangkanya didorong dengan bambu atau tongkat dan dikemudikan sambil berlari. Pokoknya hampir semua mainan kami, anak-anak jaman dulu, kalau tidak hasil buatan sendiri (termasuk layangan), bahannya selalu murah meriah seperti pelek sepeda itu. Mana ada Sega Saturn atau Sony Playstation atau Nintendo Ultra 64. Kasihan anak jaman kini, banyak yang masih muda sudah terkena RSI (Repetitive Strain Injury), suatu yang tidak mungkin akan terjadi dengan anak-anak Betawi teman saya.
Karena disemangati beberapa teman di Indonesia yang mau mengajak saya ke Ujung Kulon dan yang mau menemani saya naik Gunung Pangrango, saya bermaksud naik sepeda ke kantor (cuma sekitar 28 km bolak balik) untuk latihan fisik. Nah, tadi pagi saya mencari celana untuk naik sepeda (cycling short) di Wal-Mart yang terkenal sebagai toko dengan harga miring. Saya lalu melihat mainan anak-anak secara tak sengaja, rumah-rumahan plastik, $ 199 dan yang satunya, yang ada perosotan kecil, $ 350-an. Masya malaikat! Rumah-rumahan anak-anak cewek teman-temanku paling banter dari kardos dan kalau itu tidak ada, ya sepojokan ruangan ditaruhkan tabir juga jadi. Perosotan buat sendiri saja, dari batang pohon keg, kayu bekas keg, bambu nganggur pun jadi. Yang namanya 'monkey bar', buat gelayutan, lebih alaihim harganya. Sampai tak berani saya lihat. Anak Betawi mana perlu monkey bar, pohon aneka ragam sudah menanti untuk dipanjat termasuk hadiah berupa buah-buahan ranum seperti mangga aneka jenis, jambu-jambuan, jamblang, serikaya, dsb. Kalau pemiliknya judes dan tidak "kooperatif" maka alamat malam-malam jadi "gelanggang olahraga" kami anak di kampung Betawi. Buah hasil "jerih payah" begini rasanya lebih manis dan harum mewangi dibanding buah di rumah yang dibeli ortu.
Tadi saya menyebut warung encek yang banyak terdapat di kota Betawi. Untuk ini ada pengalaman lucu saya yang waktu pertama kali saya ceritakan ke isteri saya, ia tertawa terbahak-bahak. Mudah-mudahan lucu juga untuk Anda dan kalau tidak lucu ya sudah asal saya jangan dimarahi kalau masih mau membaca tulisan Pengalaman Anak Betawi IV. Gini ceritanya. Anak-anak kampung yang masih kecil-kecil, suka kami 'kelecein' (bahasa Betawi ini kalau Anda tidak tahu sama dengan 'tipu' kira-kira). Kami beri uang sedikit dan berkata ke calon "mangsa" kami, kita sebut saja si Entong: "Eh Tong, gih elu ke warung encek situ dan beliin gue nnnnn mmmmmmm (nama organ cewek dan cowok di dalam bahasa Tionghoa) sekantong ye." Si Entong akan bertanya tentunya: "Apaan tuh nnnnn mmmmmmm?" "Ah, pokoknya enak deh, permen baru keluar, asem-asem manis, entar gue bagi elu," demikian jawab kami. Ngeloyor atau pergilah si Entong dengan bersemangat ke warung encek karena bakal dibagi permen baru yang asem-asem manis dan pasti enak. Nah, nah, nah, ini yang paling seru, melihat reaksi si Entong pada saat kembali atau keluar dari warung encek. Macam-macam. Ada yang meringis kesakitan atau ketakutan sebab baru saja ditampar si encek pemilik warung, ada yang terbengong-bengong kog ditabok atau dimaki-maki encek padahal mau beli permen bernama nnnnn mmmmmmm yang katanya enak, dan ada juga yang menangis. Umumnya yang penasaran akan "protes" atau bertanya: "Kog gue diomelin/ditabok sih, elu bilang nnnnn mmmmmmm permen enak?" Jawab kami: "Engga, engga salah, elu goblok kali ngomongnya, gih tegesin lagi, nnnnn mmmmmmm." Nah, anak yang betul "goblok" seperti ini, hampir pasti bakal keluar menangis karena ditampar encek. Yang hebat dari kami anak-anak Betawi, yang baru saja jadi mangsa, begitu melihat ada anak lain yang bisa "dikerjakan", ia lalu ikutan dan memberi semangat kepada mangsa baru ini. "Iye gih, enak bener, gue baru aje disuru beli, tuh kantongnye juga masi ade." Lalu si mantan entong ini, akan tertawa lebih keras dari kami semua melihat apa yang terjadi terhadap si entong baru. Nah, inilah juga salah satu "hiburan" kami anak-anak Betawi jaman dahulu kala, maklum tidak punya TV, dimana kita tinggal nonton orang lain saling 'ngelecein'. Sekian dulu, sampai berjumpa di PAB IV kalau banyak yang tertawa.