Pengalaman Anak Betawi IV

Berbahagialah memang anak-anak Betawi angkatan saya di tahun 50-an. Lapangan tempat bermain masih luas dan banyak, pohon-pohon demikian pula. Hawa belum terlalu panas, demikian pula udara tidak terlalu kotor seperti sekarang. Kejahatan atau kriminalitas belum meraja-lela seperti di kota Metropolitan Jakarta jaman kini sehingga anak-anak dapat berkeliaran kemana-mana tanpa kwatir sepeda atau sepatu (ya, sepatu anak kini pun tidak aman) ditodong. Selain kesenangan bermain baik dengan teman sesama anak laki-laki maupun dengan anak perempuan, saya juga mempunyai kesenangan memelihara binatang. Dari mulai marmut, kelinci, ayam, ikan cupang dan ikan-ikan akuarium lain, jangkrik, sampai ke burung merpati. Yang terakhir ini yang paling memberikan kesenangan dan kebahagiaan bagi saya dan teman-teman lainnya. Bagi kami anak Betawi, kami namai burung merpati, burung dara. Sebenarnya (maaf ilmu hayat sudah banyak yang saya lupa) burung dara ini setahu saya bukan merpati pos benar-benaran, karena kulitnya tidak putih mulus melainkan abu-abu dengan variasi beberapa warna lain yang tidak dominan seperti hitam, putih, coklat dan hijau. Yang penting bagi kami, burung ini tidak terlalu mahal sehingga dapat kami beli dengan mengumpulkan uang jajan kami. Nah, bila uang sudah cukup terkumpul, maka ditemani oleh satu dua anak yang sudah menjadi "pakar" burung dara, kami pergi bersepeda sama-sama ke Pasar Burung. Pasar ini letaknya di Senen, dekat dengan Stasiun Senen dan segala macam burung dijual di pasar itu, lengkap tentunya dengan kandang, makanan dan perlengkapan lain. Kandang burung tidak kami beli tetapi kami buat sendiri bermodal peti susu yang dibuang dari warung encek (ingat cerita warung encek di tayangan lalu?). Memang warung encek banyak jasanya.

Kembali ke cerita burung dara di atas, burung yang kami beli mesti sepasang karena akan kami latih menjadi "burung pos". Sudah merupakan jaminan bahwa burung tidak akan lari kemana-mana bila mereka sepasang. Nah, latihan pertama yang kami berikan bagi burung yang jantan adalah agar ia mengenali rumah kami maupun kandangnya. Salah seorang memegang yang betina dan yang jantan kami bawa ke luar rumah lalu kami lepas, balik menghampiri "nyonyanya", ambil lagi, bawa ke seberang jalan, balik lagi ia. Beberapa kali kami lakukan seperti ini dan semakin lama semakin jauh dari rumah, sampai suatu ketika bisa kami lepas dari jarak beberapa km. Mereka yang rajin dapat melatihnya hingga sampai puluhan km tetapi bagi kami anak-anak cukup asal katakan sampai Lapangan Banteng di selatan (rumah saya di daerah Pasar Baru), Kali Ancol di utara, lapangan terbang Kemayoran kalau ke timur dan ke barat paling sekitar ujung jalan Sawah Besar. Dahulu di daerah ujung jalan itu ada bioskop yang tayangannya selalu film India bernama Alhambra. Ini merupakan titik ujung barat anak-anak kampung teman saya sebab masih dapat dicapai dengan berjalan kaki. Itulah sekitar batas geografis kami dan daerah terbangnya burung-burung peliharaan kami. Kalau burung sudah mampu terbang jauh, kami pakaikan peluit di badannya sehingga bila ia terbang, merdu sekali suara yang keluar dari peluit ini dan merupakan keasyikan sendiri mendengarnya sambil mengayuh sepeda kami sehabis melepas burung. Kebahagiaan lainnya adalah bila sampai burung dara kami bertelur dan kemudian telurnya menetas. Mungilnya anak-anak burung ini dan setiap pulang sekolah pastilah saya menengok dahulu kandang burungku untuk melihat perkembangan anak-anaknya.

Seperti pernah saya singgung, di sepanjang jalan Pintu Besi sampai ke Sawah Besar terletak jalanan trem yang kalau malam lalu menjadi pasar malam. Di ujung timur terletak "toko buku" dimana saya berkenalan dengan "atlit olympik" Indonesia seperti Gatutkaca, Arjuna, Hanuman dan Bagong. Nah di ujung barat, bioskop Alhambra adalah bioskop yang asal tampang sedikit kami "galakkin" dan tentu beli karcis, maka meski pertunjukan untuk 17 tahun ke atas, ada harapan untuk bisa masuk. Bioskop Alhambra merupakan tempat ujian pertama untuk bisa masuk ke bioskop lainnya yang tayangannya untuk 17 tahun ke atas. Kalau Alhambra saja tidak bisa masuk, jangan harap bisa masuk Cinema atau Capitol atau Astoria, apalagi Globe dan Cathay. Di sebelah bioskop Globe, di seberang kantor polisi bernama Seksi III jaman itu, ada suatu pelataran kecil dimana tukang makanan berjualan. Makanan favorit saya disitu adalah bandrek bajigur, disingkat bajigur dan yang 'made in Batavia' ini manis, bukannya bandrek yang pakai jahe dan pedas. Dibuatnya banyak memakai santan dan gula aren campur gula jawa. Bajigur paling asyik dimakan bersama singkong goreng, aaah nyamannya. Di sebelah tukang bajigur ada tukang kerak telor. Ini juga makanan khas Betawi saya kira yang merupakan kesukaan ayah saya almarhum dan saya sendiri. Bahannya kira-kira nasi khusus yakni beras yang sudah hampir menjadi nasi, telor (tentunya) dan bumbu- bumbunya, rahasia abang tukang kerak telor. Dimasaknya di suatu anglo (bahasa Betawi untuk tungku) kecil di atas arang. Wanginya kerak telor ini kalau sudah siap untuk dimakan, tidak bisa dilukiskan atau dituliskan. Wah wah wah deh. Setelah itu kalau sudah masuk ke mulut dan dicecapi di lidah, aduh aduh aduh, rasanya greges greges (ya namanya juga kerak) tapi empuk karena ada telornya dan nyam nyam nyam pokoknya. Kata orang Betawi, kalau sudah makan makanan seperti ini, mertua lewat tidak kita lihat atau pedulikan.

Makanan masa kanak-kanak yang sekarang saya sangat kehilangan adalah opak ketan yang dibakar dan lalu dikasih gula aren. Asyiiiikk. Kemudian berondong yakni semacam 'rice crispy' dan memang mirip hanya bagi saya lebih wangi tentunya. Dijualnya di suatu pikulan dan lalu diseruti gula aren dan berondong dicampur kemudian dibungkuskan ke dalam kuncung dari kertas. Beko, itu juga jajanan masa kecil. Waktu bulan April lalu saya ke Jakarta, saya kaget juga melihat ada abang tukang beko berjualan di halaman sekolah Santa Maria di jalan Batu Ceper (belakangnya). Karena alasan kesehatan ibu saya suka menasihati kalau beli beko minta yang tali, yakni dimana si abang tidak perlu meniup. Kami anak-anak mana peduli dengan kesehatan atau 'hygiene'. Asal ada cetakkan yang menarik dan lain dari yang lain, tentu kami antri untuk minta beko dibuatkan di cetakkan itu. Bila Anda tidak mengetahui, beko adalah bahan dari gula yang dapat ditiup seperti 'bubble gum' dan lalu memuai memenuhi tempat cetakkannya. Kog makanan enak tidak habis-habisnya ya? Memang anak-anak jaman dahulu jajanannya bukan main, kalau tidak ada tukang yang lewat ya kami ke warung encek (bukan, bukan beli permen baru asem manis) dan beli co'em (asem yang diberi gula), atau permen 'strong' (permen pedas yang berlubang tengahnya), atau krupuk atau jajanan lainnya.

Puas bermain burung dan makan jajanan, lalu kegiatan kami yang lainnya adalah mengikuti macam-macam pertunjukan keliling. Inilah untungnya banyak lapangan, dimana saja akan ada tukang-tukang memperagakan jajaannya. Dari mulai encek Santung dan anak-anaknya bermain kuntauw dan demonstrasi sambil berjualan koyo, ke tukang jual obat sakit gigi yang memperagakan betapa mudahnya untuk mencabut gigi tanpa sakit, ke topeng monyet dan sampai ke orkes khas Betawi bernama tanjidor. Yang saya paling senang kalau mengikuti yang 'ngamen' (artinya mempertunjukkan) tanjidor adalah dekat-dekat dengan pemain tambur yang paling besar. Suaranya asyik sekali, bum, bum, bum. Rasanya ingin dikasih pinjam pukulan tamburnya. Juga karena besar dan beratnya tambur maka biasanya orang yang paling kekar dan kuat yang memegang instrumen itu.

Kalau malam hari tiba dan sudah tidak ada pekerjaan sekolah (hanya rasanya anak jaman saya tidak banyak dapat PR seperti anak-anak sekarang ya) ataupun hari libur keesokannya, maka bersama teman-teman saya sering mencari pertunjukan lenong. Senangnya menonton lenong (ya mana ada TV waktu itu) adalah karena umumnya lucu dan bahasanya mudah dimengerti. Maklum aktornya (yang jadi perempuan adalah laki-laki juga) amatiran, bukan sekolah di 'Broadway' atau di sekolah drama a la Bengkel Teater. Dekor lenong selalu sederhana dan demikian pula tata panggungnya. Tema ceritanya juga mudah dimengerti karena merupakan topik yang sedang hangat atau diambil dari legenda misalnya dari cerita 1001 malam. Kadang-kadang kalau ada orang Jawa atau Sunda yang melakukan pesta, mereka suka memanggil pertunjukan wayang golek atau wayang kulit tetapi saya kurang suka menontonnya karena tidak begitu mengerti akan bahasa yang dipakai alias bukan bahasa Betawi sih. Nah, sekian dulu kisah masa kanak-kanak saya kali ini, sampai berjumpa di kisah selanjutnya dan salam kepada semua pembaca.

Memoar jh Bagian Keempat
Thank you Lord for the happy memories

Home Next Previous