Pengalaman Anak Betawi V

Beberapa tahun lalu, karena tugas kantor saya sering mengunjungi Taipei, Taiwan dan sekali dua kali mengunjungi kota itu menjelang Tahun Baru Imlek. Pengalaman itu membuat saya mengenangkan perayaan yang sama di tanah air pada saat merayakan Imlek bagi penduduk keturunan Tionghoa tidak dilarang oleh pemerintah RI. Generasi muda keturunan Tionghoa tentulah tidak pernah atau akan mengalami lagi suasana perayaan Tahun Baru Imlek di kota Betawi tercinta yang akan saya ceritakan kali ini. Semoga berkenan bagi seluruh pembaca meski Anda bukan dari keturunan Tionghoa.

Tahun Baru Imlek ataupun tahun di dalam kalendar Tionghoa pada saat ini setahu saya adalah tahun 2547 jadi berarti sudah lebih dari 2500 tahun orang Tionghoa di seluruh dunia, baik di Tiongkok maupun di tanah-tanah perantauan merayakan tahun barunya. Meskipun tahun baru Imlek di tanah air tidak dirayakan lagi secara terbuka tetapi saya tahu bahwa sebagian masih merayakannya di antara kerabat dan sahabat saja. Dipicu oleh apa yang saya lihat di Taipei dan juga karena daya ingat saya yang lumayan, banyak kenangan dari "tempo doeloe" kembali disegarkan lagi. Akan saya bagikan secukil masa kanak-kanak saya di kota Betawi menjelang dan pada saat Tahun Baru Imlek.

Beberapa minggu sebelum Tahun Baru Imlek yang disebut Sin Cia, saya masih ingat bahwa rumah kami dipersiapkan. Tukang cat dan tukang kapur datang untuk mencat dan mengapur dinding rumah. Kemudian para pembantu kami sibuk membersihkan rumah dari segala debu dan kotoran sampai ke kolong-kolong. Kami anak-anak juga dipersiapkan dan dibelikan baju serta sepatu baru guna menyambut Sin Cia. Menyambut tahun yang baru, semuanya harus serba baru dan bersih, agar kotoran tahun lalu terbuang dan rejeki datang di tahun baru, demikian kepercayaan orang-orang tua kami.

Adapun tahun baru di negeri Tiongkok, RRC, dirayakan sebagai pergantian dari musim dingin ke musim semi. Tanggal 1 di tahun yang baru adalah hari pertama musim semi. Itulah sebabnya pada saat Sin Cia, orang saling mengucapkan selamat tahun baru dengan ucapan Sin Cun Kiong Hie Thiam Hok Thiam Siu. Kata dalam dialek Hokkian yakni suku leluhur saya itu berarti selamat musim semi semoga banyak rejeki dan berbahagia. Kebetulan nama Tionghoa saya sendiri yang diberikan orang tua saya berarti musim semi. Orang bergembira dan berbahagia menyambut musim semi karena suasana musim dingin yang serba mencekam dan kelabu di Tiongkok diganti dengan suasana dimana pohon-pohon mulai bertunas, burung-burung mulai berkicau, menandakan mulainya hidup yang baru di samping hari menjadi lebih panjang.

Beberapa hari menjelang Tahun Baru Imlek di Jakarta jaman dulu, daerah Kota, Glodok dan Pancoran menjadi jauh lebih ramai dari biasanya. Ada yang namanya pasar malam dimana kita bisa berbelanja aneka macam keperluan perayaan Sin Cia. Dari mulai hio (dupa wangi) dan lilin untuk keperluan sembahyang bagi arwah leluhur, bunga sedap malam dan gula batu untuk keperluan yang sama, kue keranjang, buah-buahan sampai ke ikan bandeng dijual di pasar malam. Ikan bandeng yang dijual disana istimewa alias besar-besar. Ikan itu sengaja hanya diambil menjelang Sin Cia dan berasal dari tambak-tambak dimana saya sering memancing kepitingnya. Si empunya tambak senang kepiting diambil karena kalau sampai terlalu banyak akan mempengaruhi mutu ikan bandengnya. Tambak yang terlalu banyak kepiting, ikan bandengnya kurus sehingga harganya lebih rendah pada saat dijual.

Pada malam menjelang Sin Cia keluarga kami berkumpul di dalam rumah untuk bercakap-cakap dan bergadang menunggui tibanya tengah malam. Pintu rumah dibuka lebar-lebar agar supaya rejeki banyak masuk. Petasan dinyalakan supaya roh jahat takut dan tidak berani masuk. Demikian kepercayaan orang Tionghoa jaman dahulu. Pintu rumah ditutup rapat-rapat lagi setelah lewat tengah malam agar supaya rejeki yang masuk tidak keluar lagi, terutama agar supaya maling tidak masuk mengambil "rejeki" lainnya di dalam rumah tentunya. Yah meski Betawi relatif aman waktu itu yang namanya maling sudah lahir kog.

Pada hari yang sudah lama ditunggu-tunggu, kami anak-anak pagi-pagi sekali sudah mandi dan mulai mengenakan baju serta sepatu baru kami. Yang paling perlu dilakukan setelah pakaian selesai dikenakan dan rambut disisir rapi adalah menghadap orang tua kami. Kami mengucapkan selamat tahun baru sambil menyalaminya dengan cara Tionghoa yang disebut menyoja dan lalu siap-siap menadahkan tangan kami untuk menerima Ang Pao yang berarti sampul merah. Makin sayang orang tua dan kakek serta nenek kami kepada anak cucunya, makin tebal dan "bermutu" isi Ang Pao ini. Setelah selesai semua orang yang lebih tua dalam rumah kami salami, maka kami bersiap pergi ke tetangga dan keluarga dekat untuk melanjutkan "koleksi" Ang Pao kami. Tentu kami hanya berani pergi sendiri ke tetangga dan keluarga yang benar-benar erat hubungannya supaya orang tua kami tidak "dipermalukan".

Setelah selesai gerak cepat di pagi hari ini maka bersama beberapa teman kami mempersiapkan acara utama hari itu bagi kami anak-anak, yakni keliling bermain barongsay. Istilahnya adalah "ngamen" atau keliling dari rumah ke rumah memperagakan kebolehan kami dan umumnya kami kembali mendapat Ang Pao dan terkadang ditambah makanan/minuman. Tim barongsay ini hanya beberapa anak saja, yang satu memegang kepala barongsay dan yang satu lagi ekornya. Kadang-kadang kalau barongsaynya panjang, ada anak yang memegang bagian tengah atau badannya. Anak-anak yang lain memukul tambur dan kecer, yakni dua piringan logam yang saling dibenturkan satu ke yang lainnya. Kesenangan saya adalah memukul tambur sebab iramanya menentukan gerakan barongsay. Lagipula memainkan barongsay lebih melelahkan.

Pada akhir hari menjelang sore, biasanya kantong kami sudah cukup tebal dengan aneka sampul merah di atas dan kami sudah tidak sabar untuk menghitung "penghasilan" hari Sin Cia. Ang Pao bermain barongsay dikumpulkan ke satu anak dan setelah semua setuju untuk pulang, kami buka satu persatu, dihitung dan dibagi rata. Jumlahnya umumnya cukup untuk membuat kami tersenyum terus selama hari-hari Sin Cia. Selain kantong tebal perut pun selalu penuh dengan segala macam kue serta penganan Sin Cia. Kue yang khas dibuat adalah kue keranjang yang saya sebut di atas, yakni terbuat dari tepung ketan dan gula aren atau gula merah dan dibungkus daun pisang. Kue ini dicetak ke dalam keranjang dan lalu dikukus. Untuk keperluan sembahyang kuenya dibuat mulai dari besar ke kecil dan berbentuk silindris sehingga kalau disusun mirip dengan 'stacking toys' mainan anak-anak di Canada/USA.

Selain kue di atas, kue lain yang umumnya dibuat bagi perayaan Sin Cia adalah kue lapis legit (spekkoek), ananastaart atau nastar, katetong atau lidah kucing dan kaastengel yang terbuat dari keju. Di hari-hari setelah Sin Cia, umumnya kami diajak orang tua untuk menjenguk dan mengunjungi keluarga. Di semua rumah kue tersebut merupakan hidangan yang disajikan dan setiap kue lain-lain rasanya, ada keluarga yang jago membuat nastar ada yang jago lapis legit dan ada yang "jago beli".

Perayaan Tahun Baru Imlek ditutup dengan perayaan bernama Cap Go Me, malam tanggal 15. Di malam tersebut ada macam-macam acara di daerah Glodok dan Pancoran. Acara yang utama adalah gotong toapekong (patung dewa-dewi), permainan liong (ular naga) dan barongsay. Yang bermain barongsay kali ini adalah "professional" alias pemuda dan orang dewasa yang tergabung ke dalam perkumpulan kuntauw atau silat. Oleh sebab itu tentu saja semuanya serba hebat, pukulan tamburnya hebat dan demikian juga permainan barongsaynya. Kami anak-anak dengan penuh kekaguman menikmati pertunjukan ini, diam-diam mempelajari gerakan maupun irama tambur serta kecernya agar tahun depan bisa kami "manfaatkan".

Cap Go Me juga terkenal merupakan tempat mencari jodoh. Yang saya masih ingat adalah kadang-kadang ada gadis yang mendadak marah-marah atau memaki-maki pemuda tertentu. Apa yang terjadi?. Rupanya kebiasaan di malam itu disalah-gunakan pemuda berandalan dengan mencolek gadis yang disukainya di bagian yang tidak disukai gadis yang bersangkutan. Konon di jaman dahulu, Cap Go Me dipakai untuk gadis dan jejaka yang "terlambat menikah" untuk saling berkenalan dan siapa tahu dewi asmara akan mempersatukan mereka. Jadi biasa untuk yang tidak kenal lalu saling menegur dan berkenalan di malam itu. Untung bagi saya, pada saat Cap Go Me maupun perayaan Imlek dilarang oleh pemerintah RI, saya sudah tidak membutuhkannya. Demikianlah sepintas kenangan saya akibat kunjungan ke Taipei menjelang Tahun Baru Imlek yang dapat saya ceritakan kali ini. Sampai berjumpa di PAB VI, salam dari Toronto.

Memoar jh Bagian Kelima
Mengenang Tahun Baru Imlek Tempo Doeloe

Home Next Previous