Pengalaman Anak Betawi VI

(Ikut nyunatan)
Melanjutkan kisah saya yang lalu tentang Tahun Baru Imlek Tempo Doeloe di kota Betawi, saya ingin meneruskan lagi pengalaman masa kanak-kanak saya tinggal disana. Saya mempunyai sahabat seorang anak suku Jawa, dijamin asli, kulitnya sawo matang, matanya bulat seperti kokokbeluk. Untuk mudahnya dan menjaga identitasnya, saya namakan ia Paino di tulisan ini. Meski ia anak Jawa tetapi dengan ayah ibunya ia berbahasa Betawi sebab demikian juga ortunya kepada dia. Ayah ibunya sendiri berbahasa ke satu sama lain dalam bahasa campuran Belanda dan Betawi. Paino kira-kira seumur dengan saya dan hobby atau kesukaannya juga banyak bersamaan dengan saya. Jadi ia suka saya ajak mancing kepiting, naik sepeda keliling kota (sepedanya merek BSA dan sangat dibanggakannya), makan bandrek bajigur di depan Seksi Polisi (Seksi III) di Pasar Baru, cari cacing di Kali Ancol, memelonco anak-anak ke warung encek, dst. Pokoknya semua yang saya senang lakukan ia lakukan juga hanya ia tidak saya ajak main barongsay. Alamat ang pao bisa tidak keluar dong dari si empunya rumah kalau lihat ada mata kokokbeluk ikut main barongsay :-). Hanya tentu hasil ang pao ikut dinikmati oleh Paino sebab saya juga menikmati hasil sunatannya yang akan saya ceritakan.

Ya, kalau saya bersekolah di SD dan lalu SMP Budi Mulia, Paino sekolahnya di Taman Siswa, sekolahnya Ki Hajar Dewantara. Ia juga beragama Islam dan orang tuanya cukup taat menjalani ibadah. Jadi suatu ketika kami anak-anak tahu bahwa Paino akan disunat. Wah senangnya kalau punya teman akan disunat :-). Soalnya "ang paonya" tidak kalah tebalnya dari hasil ngamen anak keturunan Tionghoa dan ini gampang lagi memperolehnya. Tinggal pasang sabuk kelapa di celana, "ang pao" berdatangan. Sehari sebelum Paino disunat, saya masih ingat sebab ia mengajak saya menemaninya terus. Ia harus masuk ke dalam bak kamar mandi. Untuk apa? Agar supaya "kokokbeluknya" (terima kasih Yohanes Riono yang sudah memperkenalkan istilah baru ini) dapat direndam sehari semalam sehingga keesokan paginya menjadi kebal alias tidak berasa pada saat harus di-sreeeet. Nah, seharian semalaman Paino berendam di bak kamar mandi sambil kadang-kadang ia dibacakan ayat oleh empok atau kakaknya, rupanya supaya lebih tabah dan "kokokbeluknya" semakin ciut. Saya sendiri aplusan atau bergantian dengan teman-teman lain menemani dia. Pagi-pagi buta Paino ditemani oleh beberapa sahabat sejatinya, dipersiapkan untuk upacara sunatan dengan pelaku utama ia dan (eng)kong Solehun tukang sunat. Agar supaya tidak memborong cerita, siapa tahu ada yang pernah disunat yang mau bercerita, dan juga karena alasan 'hygienic' maka prosedur "kokokbeluk" Paino di-sret saya lewatkan deh ya. Nah, setelah upacara sunatan selesai teman saya Paino lalu sarungan dan memakai sabuk kelapa untuk menjaga agar sarung tidak menyentuh "kokokbeluknya". Memang karena ia juga anak yang 'badung' istilahnya, meski masih tersakit-sakit dan kita anak Betawi sebut jalannya "ngegang", ia sudah jalan kesana-kemari dan menjadi "idola" kami teman-temannya. Kemana Paino pergi kami ikuti. Mengapa? Sebab ia lalu menjadi "cukong kaget" alias milyuner seminggu. Wah segala macam makanan lewat, asal jangan bakso babi, pasti dibelinya dan anak-anak, konco atau 'temen baenye' seperti saya, tentu kebagian paling sedikit satu porsi dari jajanan yang dibeli Paino. Es serut lewat, beli. Tukang ketoprak lewat, panggil. Tukang gado-gado, mesti. Tukang sate, tak bisa tidak. Rujak buah, siip. Asinan, paling asyik. Pokoknya perut kami ikut kenyang bersama-sama perut Paino di hari-hari sesudah ia disunat. Sayang hanya sekali orang bisa disunat. Kalau tidak saya yakin Paino mau lagi disunat dan tentu kami tidak berkeberatan menemaninya berendam di bak kamar mandi (jangan salah kira, kami tidak ikut masuk ke bak :-)).

(Masup bui-an Pinsensius)
Kesabaran orang ada batasnya kan? Nah, demikian pula kesabaran ayah dan ibu saya menghadapi kebandelan dan "gaya hidup jalanan" saya di kota Betawi. Pada suatu saat karena sudah tidak "tahan", orang tua saya "menyerah" alias memasukkan saya ke panti asuhan anak-anak nakal Vincentius di Jalan Kapten Muslihat di kota Bogor. Wadow, ini benar-benar pengalaman yang tidak ada duanya. Entah apakah ada di antara warga P-Net pernah sempat masuk asrama anak-anak berandal seperti Vincentius? Kalau ya, kita senasib :-). Untungnya bagi saya, saya berwajah 'innocent, cute dan baby face' waktu kecil sehingga baru beberapa hari masuk "penjara", saya sudah mendapat seorang pelindung alias ada salah satu tokoh jagoan yang senang kepada saya. Di dalam hidup, apalagi hidup di "penjara" macam apapun, penting sekali mempunyai pelindung atau mentor atau "jagoan" dimana kita bisa "bernaung". Ia mengajari saya caranya hidup bergaul di asrama Vincentius itu, 'trick-trick' ataupun 'survival skill' agar tidak menjadi mangsa "buto cakil" yakni anak-anak yang benar-benar berandalan alias "kriminil". Yang paling penting, karena saya mendapat perlindungan dari dia, maka saya tidak sampai dipelonco atau dipermak (dipukuli) oleh anak-anak lama dan lebih kerasan. Ia juga anak Betawi, anak Senen. Bertahun-tahun sesudah menjadi 'graduate' Vincentius, ia dan saya masih bersahabat tetapi di SMA saya kehilangan jejaknya. Di Vincentius-lah saya belajar bersepatu-roda, boksen alias tinju tanpa sarung (berkelahi) maupun dengan sarung (olahraga), menyelundupkan makanan dari luar, kabur atau jalan-jalan dengan 'day pass', serta segala macam "ilmu" lainnya untuk hidup di penjara. Berkat keahlian saya menulis surat (ya sejak dari kecil :-)), maka surat keluh kesah panjang lebar yang saya tulis akhirnya dapat meruntuhkan hati orang tua saya (terutama ibu saya) sehingga belum sampai mendapat gelar "PhD", saya sudah keluar atau dikeluarkan ortu dari Vincentius.

(Insap)
Tidak lama setelah saya dimasukkan di asrama Vincentius di atas, entah mengapa, saya menjadi tertarik untuk "berbakti kepada nusa bangsa dan gereja" alias menjadi pelayan Misa. Istilah bagusnya sekarang, putera altar dan istilah kami waktu itu adalah misdinar (dari bahasa Belanda melayani Misa). 'Ad Deum qui laetificat juventutem meam'. Itulah kalimat dalam bahasa Latin yang pertama kali diucapkan pelayan Misa menjawab ucapan imam 'Introibo ad altare Dei' (aku hendak naik ke altar Allah). 'Kepada Allah yang menggembirakan masa mudaku', demikian arti kalimat itu. Bagi Anda yang sejauh ini setia membaca tulisan PAB saya dari seri kesatu, tentu Anda setuju bahwa "Allah memang menggembirakan masa mudaku", hanya sedikit kurang pada saat di Vincentius :-). Saya lalu belajar menjadi pelayan Misa di Paroki Mangga Besar. Meski rumah saya termasuk Paroki Katedral, namun karena saya bersekolah di Budi Mulia dan akibatnya teman-teman saya umumnya ke gereja Mangga Besar terutama yang sudah menjadi pelayan Misa, maka saya melayani di Mangga Besar. Tidak sukar untuk menjadi pelayan Misa, hanya kemampuan untuk sedikit menghapal doa-doa di dalam bahasa Latin sebab Misa Kudus pada waktu itu (pra-Konsili Vatikan II) memang masih gaya lama. Imam membelakangi umat dan menghadap altar sambil berdoa bersahut-sahutan dengan saya :-) di dalam bahasa yang umumnya kami berdua saja yang mengerti. Banyak berkah yang saya rasakan boleh saya alami sampai saat ini karena beberapa tahun menjadi pelayan Misa. Pada saat itu, selesai melayani, begitu kembali masuk ke dalam sakristi, kami pelayan Misa berlutut dan diberkati secara khusus oleh imam. Setiap hari diberkati seperti itu, bagaimana bisa tidak menjadi anak "yang terberkati" :-). Kalau pastornya Romo Ten Berge SJ, selain berkat, kami anak-anak mendapat tabokan sayang di pipi. Pada saat itu, disamping gereja Mangga Besar, susteran atau SD SMP Santo Joseph (puteri) di Jl.Dwiwarna yang dikelola suster-suster terkasih dari Penyelenggaraan Illahi (dimana saya juga belajar agama, katekismus, satu-satunya cowok di antara puluhan puteri) mempunyai kapel. Karena saya dikenal baik suster-suster disana maka setiap pagi, sebelum bersekolah, saya melayani Misa di kapel Dwiwarna. "Bonus"nya melayani Misa disitu adalah setelah keluar dari sakristi dan menuju sepeda saya, kalau tidak ada yang tersenyum dan melirik ke saya, saya yang tersenyum dan melirik mereka :-). Tidak heran lalu, meski hujan panas, setiap pagi, Misa jam 6 pagi, saya selalu siap melayani. Meski masih ngantuk sehingga bantal alas berlutut imam suka saya lupa geser dan akibatnya ada imam yang terkenal senang menendang bantal (kalau pelayan Misa lupa memindahkan agar ia bisa lewat dan naik ke altar) suka menendangnya. Meski sering kelaparan karena peraturan Misa jaman itu, tiga jam sebelumnya tidak boleh makan dan saya harus naik sepeda ke sekolah (tidak model anak Betawi sekarang). Meski banyak yang lainnya lagi, tetaplah 'ad Deum qui laetificat juventutem meam'. Sekian 3 cukilan lagi dari masa kanak-kanak saya hidup di kota Betawi. Sampai berjumpa di tulisan PAB VII yang pasti, pasti ada hubungan dengan percewekan :-).

Memoar jh Bagian Keenam
Thanks to all the people who shaped my life

Home Next Previous