Pengalaman Anak Betawi VII

(Buaya pesta)
Seperti Anda ketahui, saya sering pergi camping berduaan saja dengan Cecilia ke cagar-cagar alam yang banyak jumlahnya di propinsi Ontario, Canada, ini. Ia senang memancing dan sewaktu-waktu ia suka mengajak saya ikut. Umumnya kalau ia mancing saya menemaninya dengan membaca buku dan melamun saja. Ia ingin agar saya benar-benar ikut memancing. Dalih saya adalah: "Ah engga seru mancing ikan danau. Mana bisa lebih asyik dari mancing ikan laut, lagi pula aku sudah bosen mancing." Tentu ia tidak gembira dan bahagia mendengar dalih seperti itu. Apa mau dikata :-). Memang karena sejak kecil saya sudah sering mancing dan karena rumah dekat dengan Laut Jawa, mancingnya umumnya ke laut, maka saya sudah menjadi bosan diajak mancing saat ini. Demikian pula dalih saya bila ia mengajak saya dansa :-). Saya katakan: "Aduh bosen aku dansa." Ya, tidak separah mancing sih kebosenannya tetapi tidak amat sangat bergairah untuk dansa sampai pagi. Satu dua jam boleh deh gitu. Mengapa? Sebab waktu saya remaja, setiap malam Minggu dan terkadang malam hari libur lainnya, saya pergi ke pesta dansa dengan teman-temin saya. Ya, mungkin karena sejak SD lalu SMP kemudian SMA bersekolah di sekolah Katolik yang isinya "kokokbeluk-an" semuanya, maka saya bersama beberapa teman senasib atau istilah kami "buaya pesta" menjadi gila dansa. Tentu soal mendapatkan pasangan tidak menjadi masalah. SMA Ursula seabrek-abrek isinya, belum Santa Maria dan SMA Theresia, belum Marsudirini dan SMA Tarakanita. Mana bisa "kehabisan" cewek? Hanya saja, terus terang, anak-anak sekolah di atas, mungkin pengaruh suster-suster yang 'streng' (istilah kami yang berarti judes), agak "paye" kalau urusan pesta. Yang paling afdol untuk diajak pesta adalah temin-temin saya dari SMAK Pintu Air! Pokoknya asal ada tempat yang bikin pesta dan salah satu dari kami (selalu ada yang) kenal siapa yang mengadakannya, rombongan "buaya pesta" saya pasti akan ada disitu. Nah, karena setiap minggu hidup di lantai dansa berjam-jam sampai pagi, maka akibatnya sekarang saya menjadi "loyo" kalau diajak dansa oleh Cecilia. Kasihan ya, entah siapa, ia atau saya atau kami berdua :-). Namun karena modal bergaul dengan cewek sejak kecil melalui permainan bekel dan lainnya, di masa pra-remaja sering ke pesta dan di masa remaja sering camping bersama cewek-cewek, saya menjadi rileks di tengah perempuan. Juga karena cuper (cukup pergaulan :-)) maka saya mempunyai jumlah pacar yang lumayan, sampai dengan pacar di saat-saat terakhir dimana akhirnya salah seorang "kontestan" menjadi isteri dan teman ber-net-netan saya. Itulah jasa menjadi "buaya pesta" yang saya pernah alami. Saya berkenalan dengan Cecilia juga di suatu pesta organisasi mahasiswa "tukang pesta" alias PMKRI. Itulah jasa PMKRI bagi kami berdua :-). Tetapi jangan salah mengambil kesimpulan. Kenalan di pesta hanyalah pembuka jalan. Melalui kesempatan bergaul, kemudian camping dan naik gunung serta upaya "mencari susah" lainnya, saya dapat lebih mengenal pribadi-pribadi temin-temin atau pacar- pacar saya (di dalam kesusahan orang cenderung kehilangan "topengnya"). Jadi pilihan kami satu sama lain untuk menjadi teman hidup sudah teruji dan tidak "salah prosedur".

(Lolosan Kramtung)
Dipicu oleh keberanian si muke gile Jeffrey Dompas, anak betokaw "ade gue ketemu gede" di P-Net, yang membagikan pengalamannya di Jai Alai Ancol, saya ingin membagi juga pengalaman gila saya. Kalau anak cowok bercerita soal cewek dan tidak ada pengalaman yang menyangkut soal "kokokbeluk", atau ia menyembunyikan sesuatu, atau ia sungkan alias malu untuk bercerita. Karena saya menganggap Anda sekalian adalah keluarga saya sendiri, mengapa mesti malu bercerita, ya engga? Nah, teman-teman saya bergaul di masa pra- remaja atau masa remaja adalah kelompok yang bandel atau badung-badung istilah kami. Demikian juga soal percewekan. Meskipun di jaman saya, sangat tidak lazim cowok dan cewek 'goes all the way', kelompok saya melakukannya. Hanya, hanya, saya entah mengapa mampu menahan diri. Banyak yang tidak percaya kan dan saya sangat maklum. Ajaib, tetapi itulah yang saya alami, saya tidak pernah sampai tergoda sehingga "kokokbeluk" saya 'goes all the way'. Kalau Anda membaca tayangan PAB VI dan menyadari betapa saya setiap hari semasa menjadi pelayan Misa diberkati oleh para imam di gereja tempat saya melayani, baik di Kapel Susteran Dwiwarna maupun di Gereja St. Petrus dan Paulus Paroki Mangga Besar, mungkin Anda bisa sedikit percaya. Itulah antara lain maksud saya berkata: "Saya merasa terberkati" :-). Setiap kali saya selesai menonton "live action" teman-teman saya, baik di rumah mereka maupun di kompleks wanita-P yang di Jakarta terletak di Tanjung Priok dan bernama Kramat Tunggak, setiap kali saya juga heran kog saya bisa tahan. Karena tentu tidak ingin disisihkan maka kalau teman-teman saya mengajak atau pergi ke Kramtung (istilah singkatan kami) tentu saya ikut. Sekali dua kali saya tidak mau 'ikut begituan' mereka lalu dapat menerima dan tidak memaksa saya lagi. Terkadang ada yang mengatakan kepada ceweknya: "Ya, anak itu sok suci." Ada juga yang suka mengolok: "Ya, ia impoten." Saya hanya tertawa saja. Kemungkinan lain saya tidak begitu antusias adalah karena saya melihat dengan mata kepala sendiri kesengsaraan teman-teman saya itu yang 99% terkena macam-macam penyakit kelamin. Dari mulai yang berdarah kencingnya, sampai bernanah, sampai yang kokokbeluknya menjadi amburadul alias ngeri untuk dilihat. Saya juga menemani mereka pergi ke dokter sehingga merasa lebih sadar bahwa 'it's not worth it'. Berkat latihan sering pergi ke Kramtung di saat sudah menjadi dewasa dan "harus" menghadapi yang lebih gila lagi seperti "aquarium manusia" di Bangkok, Thailand, saya mampu menahan diri juga. Itulah pengalaman saya di masa remaja yang membuat saya masih tetap 'virgin' pada saat memasuki jenjang pernikahan dengan Cecilia dan saya benar tidak menyesal tidak pernah melakukannya sebelum menikah. Menurut saya 'it's worth to wait for'.

(Ngarang stensilan)
Mumpung menulis tentang percewekan, di jaman saya remaja, anak-anak membaca tulisan erotis dari apa yang bernama stensilan karena cetakannya dilakukan memakai mesin stensil (yang mutunya kalah dengan copier dan laser printer jaman kini). Pada jaman itu majalah erotis seperti Playboy atau Penthouse belum beredar di antara anak-anak Indonesia. Jadi sumber cerita erotis adalah dari yang bernama stensilan itu. Nah, nah, nah, mau "ngaku dosa" deh. Saya termasuk salah seorang pengarang cerita itu. Buset ya? Nah, ada di antara Anda yang berkata: "Pantes senang menulis, dari dulu rupanya" :-). Ya, berkat pengalaman bersama teman-teman di atas, "lolosan" Kramtung dan berkat daya imaginasi "si buaya pesta" saya berhasil mengarang beberapa cerita stensilan yang cukup laris dibaca baik oleh teman-teman cowok maupun cewek kami. Stensilan karangan saya tidak dijual (waktu itu belum kenal dengan Yohanes Riono yang mungkin mau membeli dengan harga $ 500 :-)) tetapi diedarkan secara cuma-cuma atau gratis untuk "kalangan sendiri". Entah anak jaman sekarang apa kenal atau mempunyai stensilan juga tetapi anak Betawi angkatan saya, tentu tidak semuanya, senang membaca stensilan termasuk sembunyi-sembunyi di dalam kelas. Sekarang saya hanya tersenyum mengenangkan semuanya, termasuk membayangkan isi karangan picisan di stensilan itu. Ada yang lalu berkata lagi: "Wah, si jusni ini, dari pengarang tulisan stensilan yang dibaca "anak kolong" sekarang meningkat deh ke tulisan PAB dan lainnya yang dibaca "anak gedong" :-)." Ya, semoga memang ada peningkatan dan mantan pengarang stensilan dapat "diampuni dosanya".

(Epilog)
Kalau saya tidak ragu-ragu menayangkan dan memikir dua tiga kali untuk membagikannya kepada Anda semua pengalaman hidup saya di atas, berarti saya berdusta. Mengapa saya tidak menyembunyikannya saja dan tidak pernah akan membagikannya? Ya, memang dapat demikian. Tetapi semua itu adalah bagian hidup saya juga sebagai anak Betawi. Cecilia dan anggota keluarga saya tahu. Meski hanya sedikit dari Anda mengenal saya secara baik atau pribadi, Anda pun anggota keluarga saya di dalam Kristus. Mungkin ada di antara Anda yang bisa 'relate' dengan atau melalui cerita saya. Mungkin ada yang dapat menimba manfaatnya, hal itu saya serahkan kepada Anda semua. Harapan saya hanyalah, dengan membagikan bagian hidup saya yang sangat pribadi di atas, Anda dapat merasa bahwa Anda tidak "sendirian" kalau Anda juga mengalami apa yang saya alami. Yang saya tidak berani harapkan tetapi mungkin terjadi adalah agar manusia Indonesia dapat lebih membuka dirinya karena dengan demikian kita dapat lebih saling belajar dari satu sama lain. Akhir kata, semoga saya lalu tidak sampai dipecat dan dikeluarkan dari Paroki-Net dengan Surat Keputusan (SK) dari Romo Alex yang kira-kira akan berbunyi: "Mengingat ..., menimbang ..., memandang ..., memaklumi ..., dst, bahwa warga P-Net sdr jusni hilwan dahulunya pengarang stensilan, memutuskan meminta kepada yang bersangkutan untuk pensiun sebagai penulis dan cukup sekian saja tayangan yang semakin lama menjadi semakin edan berjudul Pengalaman Anak Betawi. Sebagaimana lazimnya orang yang dipensiun, maka melalui pos akan kami sertakan uang dana pensiun sebesar 1 juta $ disertai ucapan terima kasih atas segala tayangannya selama ini di Paroki-Net." Begitulah kira-kira surat seterom yang saya tunggu-tunggu dengan rasa cemas-cemas kwatir, deg-degan mau mendapat sejuta $ dari Mo Alex. Salam dari Toronto dengan kemungkinan kita tidak akan berjumpa lagi di PAB VIII atau selama-lamanya bila saya dipensiun dengan dana 1 juta $ :-( :-).

Memoar jh Bagian Ketujuh
Bagi Rakyat P-Net Yang Kukasihi Di Dalam DIA

Home Next Previous