Pengalaman Anak Betawi VIII

(Tukang Judi)
Sekali-sekali saya suka sedih bila melihat anak-anak menghabiskan waktunya di depan televisi, menonton atau bermain video game. Tetapi itu adalah pilihan mereka meski saya sudah berusaha sejak mereka masih kecil untuk menggiatkan aktifitas mereka baik olahraga maupun hobby lainnya agar tidak hanya "hidup" di muka televisi. Saya sendiri tidak pernah merasa menyesal bahwa waktu kecil tidak ada televisi dan hiburan lainnya dimana kita tinggal duduk dan menonton. Anda semua menjadi saksi bahwa pengalaman masa kanak-kanak saya sampai remaja cukup penuh alias "sibuk". Disamping segala kegiatan yang sudah saya tulis, saya juga masih mempunyai hobby seperti mengumpulkan perangko bekas (philatelist), berkorespondensi atau istilah kami waktu itu 'pen-pal' dengan segala suku bangsa di dunia, mulai dari Asia, Afrika, Australia, Eropa dan Amerika. Mengumpulkan benda bekas yang menarik waktu jaman kanak-kanak adalah mengumpulkan bungkus rokok atau kami sebut kertas rokok. Masing-masing mempunyai nilainya. Misalnya Commodore, Kansas, Chevron, dsb yang mudah diperoleh karena buatan dalam negeri (pabriknya di Jl. Rajawali Selatan) nilainya 10. Kertas rokok luar negeri seperti Marlboro, Kool, Salem, dsb bernilai 50. Yang paling mahal adalah bungkus rokok yang berbentuk dos. Ini nilainya 100 dan kalau memang langka di "pasaran" kami, bisa kami nilai lebih. Yang termasuk ke jenis ini adalah Players, Triple 5, Lucky Strike dsb. Nah, mengapa kami beri nilai? Karena itulah modal kami untuk berjudi. Ya, mana ada anak Betawi di kampung saya yang tidak bisa berjudi? Kelompok saya senangnya main kiu-kiu yang memakai kartu domino. Kartu dibagi tiga setiap pemain, yang selembar jadi jagoan, yang dua lembar dijumlahkan dimana idealnya berjumlah 9 atau kiu. Dimulai dari tiga kartu tadi, kami mulai bertaruh atau menaikkan pasangan di lantai. Kartu yang ideal adalah kalau sudah punya kiu dan jagoan adalah kartu berangka 3. Sebabnya karena kemungkinan mendapat angka 6 di dalam kartu domino, adalah yang terbesar. Kalau sudah begini, siapapun yang mau gertak (dengan menaikkan jumlah taruhan) kita tidak akan takut alias masuk terus namanya. Kartu yang keempat lalu dibagikan dan ditambahkan ke kartu jagoan, ataupun diacak lagi keempat kartu itu, pokoknya kiu kiu adalah pemenangnya (kekecualian adalah 4 dobel dan ini mesti ada perjanjian sebelumnya). Nah, lewat judi seperti ini, koleksi kertas rokok jadi bertambah (atau tentu bisa ludes kalau lagi sial dan kalah). Demikian juga benda-benda lain yang dijadikan modal judi kami seperti karet gelang, gundu, tomik (tutup botol limun), gambar komik (yang sudah digunting-gunting dari satu halaman besar). Karena sejak kecil sering berjudi seperti ini, saya terlatih atau dilatih bahwa kalau sudah menang, jangan serakah dan "pulang". Untuk ini dibutuhkan keberanian dan kelihayan sebab anak-anak tentu tidak suka yang menang pulang. Ada beberapa teknik, stop dan bilang dengan galak: "Sialan, gue kalah, gue berenti deh." Atau dari mulai menang sedikit demi sedikit masukkan ke kantong kemenangan kita tetapi ini akal amatiran alias biasanya rakyat tahu dan suka ada yang tegor: "Eh elu main kantong ya." Bisa juga main terus dan bilang: "Ude sore ah, gue ditungguin enyak gue, nih gue maenin lagi sebentar menangan gue doang" (sambil sebagian yang merupakan modal dan kemenangan ekstra kita kantongin). Nah, berkat latihan tahu kapan harus berhenti seperti itu, kalau sewaktu-waktu saya ke casino (seperti pernah ke Macao dan ke Las Vegas), saya bisa pulang membawa kemenangan. Cecilia mula-mula heran bahwa saya bisa stop dan tidak terus nafsu bermain. Sekarang ia tahu kenapa suaminya tinggi disiplinnya :-).

(Hobby Menjadi Kerasulan)
Hobby lainnya yang membuat saya belajar bahwa kegiatan hobby bisa menjadi kerasulan adalah merakit barang elektronis seperti radio dan pemancar. Karena sejak dari SMA saya sudah memulainya, pada waktu menjadi mahasiswa keahlian saya menjadi sangat terpakai karena tumbuhnya seperti jamur radio amatir serta radio siaran swasta waktu itu (tahun 66, yang diawali oleh teman-teman dari KAMI). Karena mengetahui saya mempunyai hobby itu dan dapat membuatnya, maka saya lalu dihubungi oleh anak-anak PMKRI, bermula dari Jakarta, lalu ke beberapa kota di beberapa pulau untuk membuatkan pemancar radio bagi mereka. Dananya tentu tersedia, saya hanya menyumbangkan waktu untuk membeli onderdilnya dan merakitnya. Karena itulah saya jadi sering bolak-balik Jakarta-Bandung sebab pusat onderdil bekas pemancar adanya di Pasar Jatayu di mana AURI men-dump atau "membuang" onderdil itu. Kalau di Jakarta tidak begitu banyak, umumnya di Pasar Rumput (dekat Stasiun KA Manggarai) dan terkadang lewat koneksi yakni mereka yang bekerja di instalasi pemancar radio pemerintah. Nah, setelah Radio PMKRI bernama Radio Angkatan Muda (nama yang diberikan oleh Cosmas Batubara) mulai mengangkasa dimana-mana, terutama di Jakarta, kami dihubungi oleh alm. Pater Daniels SJ dari Sanggar Prathivi yang waktu itu sudah mulai mempunyai studio kecil-kecilan di Jl. Kemiri. Pater menanyakan apakah kami mau bekerja-sama, ia menyediakan bahan siaran dan kami menyiarkannya. Ia sedikit menjelaskan motivasinya yang berupa kerasulan awam. Alhasil setelah mencoba satu dua hasil produksinya yang ternyata disukai oleh pendengar atau fans radio kami, maka kerja sama inipun dimulai dan berjalan dengan sangat baik sampai membuat Sanggar Prathivi maupun Radio Angkatan Muda (RAM) berkembang pesat. Sedemikian suksesnya RAM sehingga kami dapat membiayai pemugaran gedung Marga Siswa PMKRI maupun aksi-aksi sosial lainnya. Disamping itu karena jumlah pendengar yang ratusan dan hampir semua tinggal di sekitar daerah Mangga Besar (alamat Marga Siswa II PMKRI, tempat pemancar RAM pertama) maka terbentuklah semacam fans club RAM. Banyak yang mendapat jodohnya melalui kegiatan RAM, baik antar petugas, antar pendengar, maupun petugas dengan pendengar :-). Banyak yang menjadi Katolik atau simpatisannya melalui kegiatan kami. Akhirnya, di suatu hari alm. PK Oyong dari Kompas yang entah dari mana mendengar "keharuman" nama kami, menghubungi kami untuk menjajagi bagaimana agar supaya Kompas dapat melebarkan usahanya di dalam siaran radio. Singkat cerita, RAM lalu bermetamorphosa menjadi Radio Sonora sampai sekarang.

(Kutu Buku)
Lewat japri beberapa warga P-net mengirimkan email ke saya mengenai ... apalagi kalau bukan stensilan :-). Satu dua heran kog pengarang stensilan bisa "terhempas dan kandas" di P-Net ini, kenapa tidak jadi "playboy" atau sekalian jadi tukang judi kelas kakap seperti banyak latar belakang konglomerat di Indonesia saat-saat ini. Ya, kenapa ya? Saya sendiri suka heran. Kalau saya ke Jakarta, saya usahakan mampir ke tukang cukur di bawah pohon langganan saya bernama Bang Utom. Jadi dari dia saya bisa mengikuti atau mendapat 'update' kisah-kisah teman-teman saya sekampung jaman dahulu itu. Satu dua sudah tiada, satu dua sudah sinting, satu dua sudah masuk rumah jompo, ada memang yang jadi playboy, ada yang jadi buaya beneran alias preman, dan ada yang jadi konglomerat. Hanya yang pindah dan "terdampar" di Canada ya cuma saya ini :-). Namun kalau saya berpikir-pikir lagi, kenapa meski saya terlibat dengan banyak "anak edan" dan ikut ulah "edan", saya tidak hanyut bersama mereka, beruntung mempunyai rumah tangga yang boleh dikata berbahagia bersama Cecilia? Saya rasa saya kreditkan semuanya itu, selain tentu karena kasih Yang Mahakuasa (dan berkat setelah Misa Pagi dari romo-romo Paroki Mangga Besar :-)), kepada buku-buku yang saya baca dan lalu menjadi guru saya. Seperti saya ceritakan mulai PAB I, dari kecil saya sudah senang membaca buku yang dimulai dalam bentuk komik. Ketika sudah di sekolah, perpustakaan sekolah adalah langganan saya. Boleh dikata semua buku cerita yang ada di SMP dan SMA saya, terutama buku-buku klasik dari mulai Siti Nurbayanya Abdoel Moeis, Si Doel Anak Betawi :-) Aman Datuk Majoindo sampai ke Mira-nya NH Dini, saya garap semuanya. Dari mulai Kisah Winnetou-nya Karl May, ke cerita silat Boe Hiap, Gie Hiap, (cerita silat era kakek saya) sampai Sin Tiauw Hiap Lu (Kisah Si Rajawali Sakti) dan cerita silatnya Kho Ping Ho, saya senang membacanya. Di perpustakaan sekolah memang tidak ada cerita silat, jadi saya meminjamnya dari perpustakaan umum bernama Hsing Yuan di Jl. Taman Sari X dan satu lagi Panca Warna di jalan Mangga Besar IV. Setelah saya mampu membaca buku berbahasa Inggris, saya mulai berkenalan dengan buku-buku klasik karangan pengarang dunia seperti Of Mice and Men-nya John Steinbeck, The Good Earth Pearl S.Buck, Call of The Wild-nya Jack London, dsb. dst. Ya, buku-buku itulah "guru" saya semuanya. Kesenangan membaca membuat televisi tidak menarik untuk saya. Tidak sebulan sekali saya melihatnya dan itupun hanya bila ada berita yang ingin saya lihat gambarnya. Saya katakan kepada Cecilia, meski saya terhempas dan kandas di suatu pulau, asal engkau ada bersamaku dan sejumlah buku tersedia, saya tidak akan menghitung-hitung sudah berapa hari, apalagi kalau ada laptop dan modem dan phone-line dimana saya bisa login ke P-Net :-). Sekian dulu bagian kisah hidup saya yang semoga masih senang Anda baca meski tidak "seseru" yang nomor VII :-).

Memoar jh Bagian VIII
Bagi para kutu buku!

Home Next Previous