Pengalaman Anak Betawi IX

Dua minggu lalu, seorang sahabat saya anak Betawi juga yang tinggal di Indonesia bertandang ke rumah kami di Toronto dan kami saling berbagi cerita karena memang sudah agak lama tidak bertemu. Salah satu topik adalah mengenai 'parenting' atau membesarkan anak-anak dimana anak kami memang termasuk "the privileged class" alias anak remaja :-). "Susah Jus membesarkan anak-anak jaman sekarang," begitu salah satu ucapannya ke saya. "Memang," sambut saya. Jadilah obrolan itu berkepanjangan sampai jam 1 pagi. Pada saat sebelum selesai ngobrol kami berdua memang setuju bahwa pengaruh orang tua sangat besar di dalam perkembangan anak-anak. Ia mengkreditkan, mengapa meski temannya banyak anak bergajulan, "preman" istilahnya, ia sendiri tidak masuk kelompok itu dan sesudah dewasa oke oke, kepada kedua orang tuanya. Demikian pula saya. Ayah dan ibu saya pekerja dan meski tidak kaya, hidup kami lumayan alias tidak pernah sampai susah. Ayah saya mengurus pembukuan di suatu perusahaan kecil jadi serba merangkap dengan banyak tugas administrasi lainnya. Ia sederhana jalan pikirannya karena pendidikannya pun hanya sampai MULO atau SMP di jaman Belanda. Kesenangan hidupnya atau hobbynya juga sederhana, membaca buku silat, memancing kepiting, dan bermain badminton. Ibu saya lebih ambisius dari ayah saya dan pekerjaannya adalah tukang jahit. Istilah kerennya 'dressmaker'. Langganannya hanya wanita dan dari segala macam suku bangsa sampai ke beberapa orang asing. Meski ia tidak pernah sekolah Tionghoa, langganan yang berbahasa Mandarin kepadanya, dapat ia tangkap dan kira-kira tahu sehingga ia dapat berkomunikasi meski menjawabnya dalam bahasa Indonesia. Demikian pula yang berbahasa daerah seperti Sunda dan Jawa, ia dapat mengikutinya. Selain kemampuan bahasanya, yang saya kagumi adalah keahliannya di dalam melihat gambar suatu baju dan lalu membuat yang seperti itu. Ia tidak pernah sekolah tukang jahit atau 'dressmaking'. Keahliannya ia peroleh dari 'on the job training' dan hasil berguru kepada kakaknya yang merupakan 'professional dressmaker' atau bekerja di suatu perusahaan Belanda bernama Maison Enoch di Jl. Nusantara (sekarang Ir.Juanda).

Itulah sedikit latar belakang profesi kedua orang tua saya. Karena dari kecil saya sudah melihat ratusan, ribuan baju wanita, malah tidur bersama-sama baju-baju itu karena kamar tidur saya merangkap kamar kerja ibu saya merangkap tempat mematutkan baju (ngepas istilahnya), maka sedikit banyak saya mempunyai "keahlian" juga. Tentu waktu saya sudah agak besar, kalau ada tante-tante yang mau ngepas, saya diusir keluar dari kamar itu, namun waktu saya masih kecil dan sudah mampu "melihat" saya mempunyai banyak kesempatan mengagumi tante-tante yang aduhai-aduhai (maksudnya pakaiannya :-)). Nah, keahlian saya adalah melihat apakah suatu design pakaian wanita bagus atau tidak, sederhana atau kompleks, norak atau oke. Demikian juga nuansa warnanya apakah manis dan meriah atau menyedihkan dilihatnya. Waktu kami baru mulai menikah (dan sampai sekarang), Cecilia heran bahwa saya mampu memilih pakaian untuknya yang kalau ia pakai memang sangat amat patut dikenakannya. Waktu saya jelaskan dari mana datangnya keahlian saya itu, baru ia sadar. Pada saat usahanya suatu ketika berjalan sangat maju, ibu saya mempekerjakan beberapa pegawai yang menjadi pembantunya menjahitkan baju yang sudah diguntingnya sesuai design atau model yang diingini langganannya. Nah, oleh pegawai-pegawai ini, saya sering diajak jadi "pengawal" mereka kemana-mana, dari mulai menonton bioskop sampai berenang. Tentu mereka menganggap saya sebagai adik dan memang sayapun demikian kepada mereka, seolah-olah kakak. Kemudian modal ilmu jadi "pengawal" ini memang terpakai waktu saya sendiri mempunyai kawalan yang sebaya alias pacar. Saya tidak canggung jadinya untuk antri karcis, kalau perlu beli dari tukang catut, beli ini beli itu untuk kawalan saya. Sebagian di antara warga P-Net ini mungkin tidak tahu ya apa itu tukang catut. Jaman dahulu, pada masa kanak-kanak saya, umum di bioskop- bioskop yang bagus (bukan bioskop rakyat) tukang catut merajalela. Mereka membeli atau memborong karcis dari penjual karcis dan karena lalu karcis sudah tinggal sedikit dan akhirnya habis, orang terpaksa kan membeli dari mereka. Nah, harganya tentu akan mereka naikkan seenaknya, tergantung "permintaan pasar". Disamping sukarnya membeli karcis dari loket, karena lalu tinggal sedikit, juga dibutuhkan ilmu desak mendesak dan anti copet kalau kita mau coba antri sendiri di loket. Itulah suasana nonton bioskop di Jakarta di tahun 50-an.

Karena "manisnya" saya sewaktu kecil, maka rupa-rupanya ibu dan ayah saya "ogah" untuk mempunyai anak lagi, maklum mereka tidak pernah canoe camping. Jadi baru sesudah saya agak besar, adik saya di-impor secara khusus, katanya a.l. karena saya ngeriyeng (istilah Betawi: merengek, 'whining') untuk punya adik. Jadi beda umur saya dengan adik saya (yang hanya satu) adalah 8 tahun. Karena beda agak jauh seperti itu, waktu saya masih kecil, umumnya saya berdua ayah saya saja jalan-jalannya. Minum sarsaparila dan kacang Lip-lip- hiong (merek kacang garing terkenal waktu itu) di suatu kios dekat bundaran di muka Jl. Taman Cut Mutiah. Dahulu, di bundaran itu, 3 rute trem bertemu. Yang satu yang dari arah Gambir atau Medan Merdeka, lewat Jl. Menteng Raya (di muka SMP SMA Kanisius), yang satu yang dari Jatinegara atau Senen, lewat Kwitang dan Cikini, yang satu lagi yang ke daerah Kota melalui Jl. Asem Lama (sekarang Jl. KH Wahid Hasyim). Nah di tengah-tengah daerah bundaran itu ada suatu kios atau kedai minuman dan entah kenapa, itu tempat favorit ayah saya mentraktir saya minum dan makan kacang. Ia anak Kwitang dan mungkin itu tempat mainnya sewaktu masih kanak-kanak :-). Waktu adik saya sudah agak besar dan ibu saya lumayan usaha jahitannya, kami berempat lalu sering makan di restoran di daerah Kota di Glodok. Restoran ini tepatnya terletak di pinggir jembatan dari Glodok hendak ke arah Toko Tiga atau Pasar Pagi. Nama restorannya A-Tjouw dan yang saya paling senang adalah es buah lengkengnya. Sering saya minum dessert atau es buah dimana-mana di manca negara tetapi tidak ada yang bisa mengalahkan es lengkeng restoran A-Tjouw yang selain wanginya wuah wuah, juga keremes keremes lengkengnya tiada duanya.

Salah satu kesimpulan yang diambil oleh saya dan teman saya di atas, keluarga yang hidupnya harmonis dimana ayah dan ibu memberikan banyak contoh soal di dalam hidup sebagai manusia, mempunyai peluang yang lebih besar bagi anggotanya untuk juga hidup harmonis. Waktu saya kecil, saya tidak pernah melihat dan mendengar ayah dan ibu saya bertengkar atau berkelahi. Waktu saya sudah dewasa, baru saya tahu bahwa kalau mereka berkelahi, mereka melakukannya tidak di muka saya dan adik saya, melainkan nanti kalau kami sudah tidak ada atau di malam hari kalau kami sudah tidur. Entah teknik apa yang mereka pakai sehingga mereka mampu "menyimpan" kemarahan sampai di waktu dan tempat yang tepat untuk "memecahkannya". Juga contoh-contoh ayah dan ibu saya di dalam bergaul dengan manusia, baik teman maupun anggota keluarganya, mempengaruhi saya. Ayah saya gemar menolong dan tidak "hitung- hitungan" alias tidak model "pedagang". Ibu saya "money conscious", mungkin karena sumber penghasilan utama kehidupan keluarga adalah dari usaha jahitan- nya. Jadi bagus juga ada 'check and balance'. Kalau tidak, kalau ayah saya bisa seenaknya jadi "sosialis" lalu rumah kami sudah menjadi panti asuhan :-).

Sementara orang mengatakan, orang baik "dipanggil" lebih dulu. Entah Anda percaya atau tidak kepada "teologi sinting" ini, sedikit banyak saya percaya kalau melihat contohnya di kedua orang tua saya dan juga mertuaku. Konon ayah mertua saya, lebih lebih lagi sosialnya dibanding ayah saya. Jadi saya tidak sempat kenal dengan beliau karena meninggal sangat muda, dalam usia 45 tahun. Ayah saya sempat menjadi tua tetapi ia pun sudah tiada dan tidak terlalu menderita menjelang hari-hari akhirnya. Saya percaya bahwa ia sudah berteman dengan ayahnya Yohanes Riono saat-saat ini :-). Sekarang si anak Betawi tinggal mempunyai ibu yang kondisi fisiknya juga sudah sangat menurun dan sudah sejak lama menutup usahanya. Untungnya masih ada adik saya yang meski tinggal jauh di Bekasi tetapi hampir setiap hari berkesempatan datang. Satu hal lagi yang saya dan teman saya di atas sepakat. Meski kami berdua mempunyai teman anak bergajulan dan masuk ke dalam kelompok mereka, ia dan saya selalu sadar dan rajin belajar. Ada waktu yang kami sisihkan untuk itu setiap hari selama masa belajar. Mungkin ini yang membedakan antara kami dan teman-teman kami yang jadi "preman". Makanya saya sangat salut kepada Anda- anda yang berkarya dan membantu usaha pendidikan seperti LBP-Net karena saya berpendapat, 'education makes a difference'. Pendidikan, sekali lagi pendidikan, yang dapat meningkatkan taraf hidup seorang manusia. Untuk ini orang tua saya memang selalu memberikan contoh dan memberikan sarana yang terbaik agar supaya saya dapat belajar sepenuhnya. Demikianlah sedikit bagian dari kisah hidup saya yang menyangkut ayah dan ibuku. Sampai berjumpa di di tayangan berikutnya, salam dari Toronto.

Memoar jh Bagian IX
Terima kasih Tuhan atas ayah dan ibuku

Home Next Previous