Renungan Api Unggun II

Di tayangan Renungan Api Unggun bulan Mei lalu sudah saya bagikan pengalaman saya camping berdua Cecilia dan mengalami suka dan duka bertemu "hardwood" dan "softwood" pada saat bermain api unggun. Karena kesibukan urusan kantor, keluarga maupun masyarakat maka sejak camping bulan Mei itu dalam rangka HUT pernikahan kami, kami belum sempat camping lagi, padahal itu adalah 'retreat' kami yang paling kami senangi. Jadi hari Jum'at lalu barulah saya mendapat rahmat-Nya untuk kedua kalinya di tahun ini sempat pergi camping, kali ini ke cagar alam Grundy Lake di propinsi Ontario, sekitar 300 km di utara kota Toronto. Disamping kesibukan di atas sebetulnya saya juga sedang menghemat jatah cuti agar dapat dipakai berliburan ke Jakarta nanti. Kalau Anda masih ingat tayangan yang lalu, pengalaman "cari susah" kali ini tidak begitu menyusahkan kog karena lalat hitam atau black fly sudah menghilang dari peredaran, tinggal nyamuk yang memang masih buas. Bentol digigit nyamuk ini memang kami bawa sebagai oleh-oleh, tetapi tidak segawat bentol gigitan lalat. Sebetulnya camping paling nyaman bagi kami adalah menjelang musim rontok, bukan ditengah-tengah musim panas begini, sebab lebih mudah dan nyaman menghalau hawa dingin daripada menghalau nyamuk.

Kegiatan camping bagi kami memang tidak lengkap kalau tidak disertai campfire atau memasang api unggun. Karena komposisi kayu terdiri dari 60% hardwood dan 40% softwood, dengan mudah api dapat kami nyalakan. Lagipula udara yang cerah sepanjang hari membantu membuat kayu menjadi kering. Sebelum perenungan dimulai, kami sempat menikmati sosis bakar, barbeque hot dog betul-betulan, bukan "hot dog tuyul a la Modi", yang kami santap dengan sweet corn atau jagung manis alamiah. Baru setelah perut kenyang dan tidak ada "kerjaan" lagi, otak bebas untuk merenung kesana kemari, ke barat ke timur. Pikiran saya yang terutama adalah tentu di seputar peristiwa 27 Juli di kota tempat kelahiran saya, Jakarta. Kalau suatu peristiwa tidak terlalu gawat, ia tidak akan masuk berita media TV dan cetak di Toronto sini. Sampai saat ini, pemerintah Canada sedang mendapat tekanan dari beberapa kelompok masyarakat maupun dari berbagai tulisan di surat kabar untuk melakukan protes dan memboikot pemerintah Indonesia (baca: dagangannya). Tidak berapa lama setelah mulai mendapat berita peristiwa itu lewat Internet, saya mengirimkan beberapa yang penting kepada salah seorang anggota keluarga saya lewat email. Apa komentarnya? "Hati-hati dengan sumber berita dari Internet. Banyak yang tidak benar dan ditulis hanya untuk sensasi. Disinyalir adanya unsur-unsur PKI yang mendalangi aksi demonstran 27 Juli itu." Begitu kira-kira katanya. Astaga naga! Namun setelah reaksi spontan itu saya sangat dapat mengerti titik tolak pendapatnya, latar belakang pemikirannya karena sayapun dahulu seperti itu kurang lebih.

Pada saat masih hidup di masyarakat "di bawah tempurung", hanya dapat membaca bacaan yang sudah "steril" atau disensor ketat, mendengarkan siaran berita dari suatu "orkes simfoni pemerintah", alias otak saya sudah dicuci bersih, sayapun akan berpendapat seperti itu. Dahulu, yang bernama Amnesty International bagi saya adalah momok, memedi yang harus dijauhi. Suatu organisasi kutu busuk, (tak tega saya mengucapkan kata kasarnya), yang kerjanya hanya mengisapi darah manusia Indonesia yang cinta kemerdekaan dan senang perdamaian. Baru setelah saya tinggal di Canada, saya menjadi sadar apa saja kerja Amnesty International dan siapa yang sebenarnya kutu busuk. Amnesty International adalah suatu organisasi terhormat, banyak doktor universitas terkenal di dunia aktif bekerja disitu dan mereka memperjuangkan hak-hak manusia yang karena perbedaan politik harus mendekam di dalam penjara lawan politiknya. Disinyalir PKI! Perkataan itu bagi sementara orang, saya kira juga si Modi (makanya ia memakainya di dalam judul tayangannya 'Humor PKI'), merupakan lelucon yang tidak lucu. Untuk jutaan manusia Indonesia kata-kata tersebut tentulah sangat traumatis. Komunis! Inipun suatu kata yang membuat bulu tengkuk manusia Indonesia dapat berdiri atau membuat sementara orang gemetaran dan terkencing-kencing. Untunglah saya sekarang tinggal di masyarakat dimana kata itu tidak menakutkan lagi seperti di tanah air saya. Partai Komunis bukan merupakan partai terlarang di Canada (dan setahu saya juga di Amerika Serikat) namun partai itu tidak laku atau tidak memperoleh kursi satupun di parlemen. Mengapa? Karena selain hak rakyat banyak terjamin oleh undang-undang, sosialisme, meskipun tidak menjadi asas negara (pancasila), dipraktekkan secara nyata oleh pemerintah. Dari mulai pelayanan kesehatan yang cuma-cuma bagi seluruh rakyat, ke pendidikan dasar dan menengah (setingkat SMA) yang gratisan, sampai kepada bantuan keuangan, sandang pangan dan papan bagi yang miskin, diatur dan diurus oleh pemerintah dan yayasan sosial lainnya. Bagaimana partai atau ormas Komunis bisa laku jualannya? Kalau saja penguasa dan (yang sekaligus) pengusaha di tanah air menjadikan "komunisme" suatu tantangan untuk memajukan kesejahteraan rakyat banyak, seluruhnya termasuk 'wong cilik', tidak perlu atau tidak akan terjadi peristiwa 27 Juli. Kalau saja manusia Indonesia tidak jor-joran mengumpulkan harta untuk 70 turunan, tidak perlu atau tidak akan terjadi 70 manusia harus terbunuhi di hari itu.

Bagi saya, yang penting apakah kayu yang saya bakar itu akan menyala dengan mudah dan menghangati tubuh saya, atau ia akan mengeluarkan asap api yang membuat mata saya pedih dan menangis. Apakah seseorang komunis atau manusia pancasilais sejati, kapitalis atau santri, apa yang dilakukannya di dalam hidupnya bagi kesejahteraan manusia lainnya? Pagi atau siang hari sebelum merenung di tengah api unggun, saya dan Cecilia selalu berjalan kaki di 'hiking trail' yang banyak terdapat di dalam cagar alam. Sambil berjalan kaki saya mencoba menyatukan diri dengan alam sekeliling. Kemarin itu, belum lama mulai berjalan di 'trail' yang indah pemandangannya, kami berjumpa dengan puluhan, ratusan sarang laba-laba di semak-semak. Semuanya kecil mungil sebesar telapak tangan karena laba-labanya juga kecil. Tidak ada yang sarangnya sebesar seluruh semak atau secagar-alam. Dalam hati saya berkata, "Kalau saja manusia seperti laba-laba, tidak serakah dan membuat sarang hanya sebesar kebutuhannya, alangkah damainya hidup ini." Lalu kami berjalan terus dan menjumpai suatu rawa-rawa yang airnya relatif kotor dan keruh dibandingkan dengan air danau. Namun saya melihat puluhan bunga teratai berkembang dan membuat rawa yang keruh itu menjadi indah. Itulah yang saya lihat terjadi di kota Betawi yang saya cintai, di tanah air kita semua. Indonesia bak rawa yang sedang keruh airnya namun adanya insan-insan, rohaniwan maupun awam yang peduli akan nasib sesamanya yang lebih menderita, yang terus berkarya ditengah sintingnya keadaan, membuatnya seperti pemandangan bunga teratai itu. Ya, Anda membuat perbedaan. Yes, you make a difference. Satu bunga teratai mungkin tidak begitu jelas, tidak terlalu nampak, namun puluhan, ratusan warga Net ini, Anda tetap dapat membuat tanah air kita indah. Dari jauh saya hanya dapat mengucapkan terima kasih bagi karya para "bunga teratai" di Indonesia dan teriring salam dari Toronto.

Agustus '96

Home Next Previous