Sekitar dua mingguan lalu saya menelepon ibuku, rutin semingguan sekali tapi saat itu kami diberi berita bahwa satu keponakanku akhirnya berhasil diterima di suatu SMA yang meski bukan pilihannya, lumayan dari engga sekolah. Meskipun ranking sekolah itu biasa-biasa saja, uang pangkalnya Rp. 10 juta sahaja. Bisa dibayangkan berapa puluh juta untuk masuk sekolah beranking kaya SanUr dan SanMar :-). Saya lalu teringat ketika mendaftar masuk CC. Satu-satunya dan sekolah pertama yang saya kunjungi, langsung setelah mendapat ijazah SMP ujian negeri. Soalnya saya dari SMP Budi Mulia di Mangga Besar dan saat itu tak ada SMA-nya. Bersama beberapa teman, kami naik sepeda ke CC. Tidak ada atau tak perlu bokap nyokap ikut, kitalah sendirian saja yang mendaftar. Ya, itulah ketika dunia pendidikan di Melayu belum sesemrawut sekarang. Antriannya juga tak panjang. Saya ingat kantor direktur saat itu, Pater Krekelberg ada di ujung SMP dan dekat aula. Tak lama giliran saya tiba dan ia lalu melihat ijazah maupun rapor SMP saya. Terkesan juga kayanya ia melihat angka ijazahku tetapi tentu saja ia harus mengeritik dulu sebelum menerima saya di CC. Katanya, "Bahasa Indonesiamu dapat 6? Tidak ada anak SMP Kanisius yang mendapat 6 dalam ujian negeri untuk Bahasa Indonesia." Saya hanya dapat meringis karena tidak bisa dong saya bilang, "Tapi Pater, nanti tulisan saya di Internet ditunggu dan dicari orang lho meski angka bahasa saya 6." :-). Hanya itu saja komentar Pater Krekelberg sebelum ia lalu berkata, "Kamu diterima di Kanisius." Amin, kataku dalam hati :-). Bayangkan kesederhanaan penerimaan murid di sekolah kita di jaman dahulu. Tak perlu nyokap kita ganti baju sampai lebih lusuh tampaknya dari baju pembokatnya. Tak perlu bokap kita memelihara kumis jenggot beberapa hari agar keliatan kaya gembel belum mandi. Ya, anak Indo mana yang tak tahu, semakin keren penampilan ortu si anak pada saat mendaftar di sekolah, semakin berjeti-jeti uang pangkal, bangku, meja dan kursi yang akan ditimpakan kepada si ortu malang.
CC yang Anda dan saya kenal boleh dibilang sekolah elit pada jamannya sebab bukan saja banyak anak-anak pejabat yang bersekolah disana, tetapi sejak jaman Belanda sudah dikenal orang. Salah satu kehesbatan ordo Yesuit di paguyuban Katolik memang di dalam bidang pendidikan. Saya yakin waktu jaman Belanda, sekolah itu lebih bagus dan lengkap sebab masih terasa sisa-sisanya waktu saya di CC. Misalnya ruang praktek kimia mirip seperti laboratorium. Ruang gambar cukup rapi dan meja-mejanya khas. Ruang olahraga atau senam di samping aula, boljug. WC-nya cukup resik dan yang paling menyenangkan saya ketika mulai bersekolah ada keran air di muka kelas yang ketika ditekan muncrat airnya ke atas. Sejak SD s/d SMP, keran air untuk kami minum adalah keran biasa doang yang dibuka dan airnya menggelegar keluar, kampungan beeng. Tentu saja ada ruang perpustakaan dan cem-macem lapangan seperti sepakbola yang sudah saya singgung di awal tayangan, lapangan basket dan volley serta satu dua lahan untuk olahraga atletik seperti lompat jauh, lempar peluru, dst.
Di sekolah seperti CC tentu saja banyak kegiatan ekstra-kurikuler-nya dari mulai cem-macem klub dan klik sampai ke majalah Pemancar sampai ke klik kemping dan piknik dimana Bang Jeha suka ikut. Selain kesibukan belajar dan berolahraga, kami warga CC mempunyai program-program rutin yang menarik antaranya rally jalan kaki. Umumnya rally dijadikan pertandingan antar kelas dalam rangka peringatan HUT CC atau 17 Agustusan atau kala saya ulang tahun, becande mek. Beberapa minggu sebelum hari-H rally, kami akan memulai latihan baris-berbaris dulu. Soalnya itulah yang paling utama dinilai, kerapihan di dalam berbaris nanti di jalan raya meskipun dari waktu ke waktu akan ada godaan seperti misalnya melewati tukang es baltik :-) atau rombongan cewek bahenol yang mau nonton ke bioskop Garden Hall, Podium atau Menteng :-). Ketika saya masih di kelas 1A, kelas jurusan Pasti saat itu, kuingat yang memimpin tim rally kami adalah si Pa'ul yang belakangan menjadi jenderal Ngabri beneran. Rupanya hobbynya berbaris dan memberi komando ia teruskan secara serius :-). Tidak jelas nasib pak jendral Paul eks dokter pribadi cing eyang setelah si cing lengser di Mei 1998. Mungkin saja ia sekarang jadi dokter pribadi Mbak Ega, presiden ente-ente warga Melayu.
Menyinggung Mbak Ega, saya memang seangkatan dengannya karena ketika kami anak-anak kelas 3 SMA CC ujian negeri, CC ditunjuk PDK menjadi sekolahan tempat anak-anak SMA Tjikini dan SMA IV Jalan Batu ujian bersama-sama. Selama menghadapi ujian dari beberapa mata pelajaran SMA, Mbak Ega satu ruangan dengan saya tapi kami engga saling nyontek kog. Mana ada anak CC yang berani nyontek di ujian pemerintah kecuali sakti sekhalei :-). Dapat saya laporkan, selama ujian itu, tidak pernah saya lihat sekalipun Mbak Ega selesai dan keluar ruangan duluan. Konon ia tidak diberkahi otak sehesbat babenya, kata anak-anak CC yang mengenalnya. Weleh, sori mek, ngedongeng pengalaman anak CC kog jadi ngegosipin presiden ente. Maap ye, sampai serial berikutnya, bai bai lam lekom.