Perjalanan montor mabur dari LA ke Beijing cuma 12 jam saja. Sahaya memakai kata cuma sebab dibandingkan dengan perjalanan Toronto - Jakarta yang hampir setiap tahun saya jalani, waktu sedemikian oke sekali, cuma setengahnya. Jam terbangnya pun menjadi oke sebab ketika sudah teler seharian, a.l. perut saya amblas mens seusai menikmati es duren di resto Vietnam di LA, plus ngantri beberapa jam di airport, sahaya bisa tidur sampai menjelang pagi waktu setempat ketika kami mendarat. Acara pertama di ibukota RRT tersebut adalah makan pagi 'dim sum', orang juga menyebutnya 'yum cha', di suatu resto yang lumejen sekali. Dibandingkan dengan jenis masakan 'dim sum' di Toronto, kota tempat tinggalku, bisa dikatakan berimbang dah. Yang lebih penting, kami dapat menikmatinya atau pun pas dengan selera kami yang sudah terbiasa dengan bumbu-bumbu a la Indonesiyah. Soalnya satu dua teman sedulur kami pernah sumpah kaga mau ke Cungkuo lagi lantaran makanannya tidak enak sama sekali, tidak kemakan, kata mereka. Pastilah mereka bukan ikut tour ICAA dari Los Angeles :-).
Tidak seperti biasanya, ataupun mungkin karena inilah pertama kali saya dan isteri ikut tour yang direncanakan orang lain, biro perjalanan, saya sama sekali tidak membaca-baca dulu ada apa di setiap kota yang akan kami kunjungi. Artinya kupeduli wae mau diajak dibawa kemana sebab tujuan utama saya adalah melihat negeri tempat 7 generasiku berselang berasal. Ketika saya ditanya engkoh menteri, dari kampung mana persisnya di propinsi Hokkian atau Fujian bahasa Mandarinnya embahku berasal, saya tidak bisa menjawabnya. Belakangan ketika pulang ke kamar di hotel dan memeriksa "buku pinterku" alias laptop yang berisi stamboom, silsilah keluarga besar Tio dimana saya bisa melacak jejakku di dunia, tertera sang cikal bakal bernama Tio Him berasal dari propinsi Hokkian, residensi Liongkei, afdeling Ciangciu, distrik Wiethung. Lain kali saya perlu menghapalnya sebab siapa tahu kami dijamu oleh Hu Jin Tao kalau pergi ke RRT kembali. Kata Pak Frits Hong ketua ICAA, bahasa Mandarinnya kampung kakek moyangku berasal, disebut Lungci.
Acara hari pertama di Beijing cukup padat. Seusai makan pagi, kami dibawa ke Forbidden City oleh tour guide kami, si Jefferson dan Mary. Jefferson adalah pemandu yang istilahnya 'national tour guide', menemani kami selama kunjungan ke semua kota. Mary pemandu wisata lokal yang spesialisasinya adalah mengenai Beijing. Dari semua data-data historis maupun statistik yang diberitahukannya kepada kami, yang paling diingat rakyat tentu jumlah selir seorang kaisar Tiongkok, yakni 3000 perempuan sahaja. Lewat 'hiking' di pelataran Forbidden City yang luasnya bukan alang-kepalang, kami mulai mempercayai bahwa ribuan perempuan bisa disekap di lahan tersebut. Kalau Anda seperti saya bertanya-tanya, bagaimana menggilir 3000 perempuan supaya dapat giliran dengan sang baginda, jawabnya mudah sekhalei. Dilotere pren. Karena tidak ada laki-laki lainnya di kota istimewa tersebut, semuanya disret bijinya alias menjadi orang kasim, maka mestinya selir yang menjadi hamil mengandung anak sang kaisar. Bila itu terjadi, selamatlah jiwa doi daripada kemusnahan ikut mati bila si kaisar aut. Ya, kata Mary, tidak boleh ada laki-laki lain di dunia ini yang bisa ML dengan seorang selir kaisar. Selir yang hamil dan lalu beranak, mendapatkan perlakuan istimewa, ia diberikan kapling perumahan yang terdiri dari beberapa ruangan, ketimbang sekamar doang bila nasibnya belum kebagian giliran esek-esek, boro-boro bisa bunting.
Di ujung Forbidden City terletak lapangan Tian An Men yang menjadi terkenal ke seluruh dunia ketika para demonstran anti korupsi RRT di tanggal 5 Juni 1989, dilindas tank dan yang kaga kebagian roda besi tank ditembaki sampai mati. Entah berapa ribu jumlahnya sahaya kurang ingat. Yang kuingat, seorang mahasiswi S2 dari PRC yang sedang kerja praktek saat itu di kumpeniku dan menjadi anak-buahku, menangis ketika mensyer peristiwa tersebut kepada saya. Belakangan kutahu ia mendapat visa istimewa, diterima sebagai 'refugee claimant' dari dalam Kanada dan memutuskan tidak kembali lagi ke RRT setelah lulus. Kita tinggalkan tragedi tersebut dan memang tidak ada acara renungan di trip ICAA sebab obyektif kunjungan kami adalah mengunjungi negeri leluhur mayoritas 150 peserta. ... (bersambung) ...