Mengunjungi Negeri Leluhur III

Akan halnya soal makan selama trip ini, standardnya cukup tinggi. Setiap makan siang maupun malam, 10 courses, makan pagi 'buffet all you can eat'. Seusai kami makan siang di restoran pemerintah dekat lapangan Tian An Men, acara berikutnya adalah ... syoping membeli krim mutiara. Acara atau tepatnya krim mutiara yang konon bisa membuat kulit wajah si pemakai kelihatan 20 tahun lebih muda, menjadi penting bagi isteriku sejak ia dikira berumur 35 padahal sudah 53 saat tersebut :-). Takut terkena serangan jantung bila sampai harga bedak yang dibelinya ratusan dollar, namun tidak ingin menahan semangat doi untuk tetap dibilang berumur 30-an tahun, sahaya menunggu saja di dalam bis. Benar belaka, dengan wajah berseri, sejam kemudian ia keluar dari sang toko pabrik, yang juga punya pemerintah, sambil memperlihatkan krim mutiara. Barangkali di seluruh dunia cuma di RRT yang pemerintahnya mengelola segala macam jualan, dari mulai toko sampai ke restoran sampai ke hotel. Kunjungan ke kelenteng Tienthan atau Heaven's Temple di sebelah toko mutiara tidak menarik untuk dilaporkan dah sebab disitu cuma tempat ngerumpinya manula sambil bermain kartu menghabiskan waktu.

Yang sedikit kurang asem berbelanja di toko-toko di RRT, harganya tidak menentu. Yang dikatakan 'fixed price', harga mati bila di toko pemerintah, masih bisa ditawar juga kalau kita kaga napsu mau memiliki benda milik PRC tersebut. Yang lebih kurang asem, satu dua barangnya lebih murah dibelinya di Chinatown Los Angeles, sedemikian sehingga beberapa tante-tante yang semart buka rahasia ke saya. Katanya sepulang dari trip mereka akan pergi ke 'Chinatown LA' untuk membeli oleh-oleh bagi prens mereka buleks. So pasti akan ada tulisan 'Made in China' dan dengan demikian menjamin keaslian oleh-oleh itu. Siapa yang bilang perempuan Indonesia tidak pandai? :-) Mayoritas peserta trip ini, sekitar 150 warga Indo dengan beberapa isteri, suami bulek dan juga segelintir buleks, perempuan. Tidak kekurangan jumlah manulanya, terutama di group yang berlainan dengan kami, sampai beberapa sudah di kursi roda. Jelaslah semakin menonjolnya kemudaan isteriku dan ia hepi banget bisa ikut trip ICAA ini :-). Akan halnya darimana peserta berasal, sekitar 10 dari GTA, the Greater Toronto Area, 30 dari San Francisco, dan yang lainnya dari daerah Los Angeles. Namun, kalau kita mengajak peserta ngobrol, ada azha yang dari Washington DC, Virginia, San Diego sampai ke yang sengaja datang dari Indo. Sebabnya tak lain karena majalah Indonesia Media dimana iklan tour kami terus terpasang selama berbulanan, beredar di mancanegara termasuk di Nusantara.

Hari kedua di Beijing merupakan hari terberat secara fisik. Sesuai makan pagi di hotel Holiday Inn yang lumayan mewahnya, sedemikian sehingga Anda tidak akan tahu bahwa sedang berada di republik rakyat kalau matamu ditutup sepanjang perjalanan ke hotel, kami cabut menuju Tembok Besar. Itulah terjemahan di dalam bahasa ibu kita, apa yang di cerita silat kita kenal dengan nama Ban Lie Tiang Sia, The Great Wall kata tetangga Anda. Kita lewatkan kesempatan syoping satu jam lebih mampir di toko kumala atau jade. Selain tidak menarik beta beli-beli perhiasan begitu, akibat membuang waktu di sang toko, Bang Jeha Anda kemudian tidak mempunyai waktu cukup untuk mendaki Tembok Besar sampai ke puncaknya. Sudah jam 11 lewat ketika kami sampai di pelataran parkir tak jauh dari bawah Sang Tembok. Pakai foto-foto dulu 150-an orang, kebayang kan ngaturnya dan ada tambahan 10 kamera ekstra kepunyaan rakyat yang mesti diambil oleh si pemandu wisata kalau ia mau melihat duit tipnya :-). Alhasil cuma ada waktu satu jam untuk mendaki dan menuruni 8 menara Tembok Besar di tempat itu. Tour guide kami memang sudah mengatakan, yang penting bisa 'claim' sudah memanjatnya, tidak penting sampai di menara ke berapa. Sedemikian sehinga di menara kedua saja sudah ada toko berjualan sertifikat 5 Yuan, "I have climbed the Great Wall". Kalau GPS saya belum rusak sejak pendakian Gros Morne Mountain tahun lalu, menara kelima dimana kami memutuskan untuk berhenti saja, mencatat angka ketinggian 450 meter. Pendakian ke menara selanjutnya sudah tidak securam pendakian sebelumnya, dikonfirmasi oleh John, anak bule Amrik yang ceweknya orang kita. John yang masih muda, mungkin mau 'show off' ke si Caroline :-), bukan saja ia sampai ke menara 8 yang tertinggi, tapi juga ke dua menara lain di bawah nomor 8. Ia harus berlari di penurunannya dan katanya kakinya serasa bayem ketika turun, my feet were shaking. Jujur juga doi :-). Bagi Anda yang kecewa bahwa jagoanmu Mpok Cecilia tidak sampai ke puncak menara tertinggi, satu-satunya hiburan Anda adalah, tidak ada anak Melayu lainnya yang kami lihat setelah menara kelima. Cuma si Bryant Irawan bocah 12 tahun yang masih mampu naik sampai ke menara ke tujuh, katanya, "I didn't see anyone else". ... (bersambung) ...

Home Next Previous