Salah satu obyektif kunjungan saya ke RRT tercapai ketika di hari Senin siang, dalam perjalanan dari Suzhou ke Hangzhou, kami mampir di kampung bernama Tongli. Kami dapat melihat kehidupan rakyat lebih dekat meskipun mungkin saja kampung itu tidak typical kampung di Tiongkok. Tetapi dari perasaan maupun pengamatan saya, kami masuk ke suatu kampung yang bukan di-set hanya untuk turis, seperti kisah-kisah di jaman dahulu kala tetapi genuine, asli. Sebagai anak imigran Tionghoa dengan silsilah hampir 300 tahun tinggal di Nusantara dan sekarang bermukim di Toronto, sahaya hanya dapat mengucapkan terima kasih di dalam hati kepada kakek moyangku yang sudah bersusah-payah, mestilah, untuk hijrah ke Hindia Belanda. "Mengapa?," tanya Anda. Lantaran, kebetulan, si Tony memperlihatkan pispot untuk boker rakyat alias tidak ada WC di rumah mereka. Pispot itu kebetulan ada di depan rumah si empunya yang ketika kuintip, seorang manula. Sebelumnya saya sudah melihat pispot serupa dicuci orang di pinggir kali. Kata Tony, mereka sudah tidak lagi boleh membuang isi pispot ke kali. Lalu kemana sang isi dibuangnya? Ada satu bak penampungan yang kusamperi setelah ditunjukkan si Tony. Bener prens, isinya gituan sebak. Hanya anak Betawi sinting yang ngechek tinja bergentong-gentong dan salah satu servis pemerintah adalah menimba isi pelbak tahi itu, untuk kalau tidak salah dimanfaatkan sebagai pupuk agar sayuran dan buah-buahan yang kami nikmati di trip ini, semakin subur tumbuhnya :-). Di kota Tongli kami berkesempatan naik becak dimana pengemudinya duduk di depan dan kami dua penumpang di belakang. Jadi ada risiko sedikit, maksudku kalau-kalau gas alamiah si encek keluar tanpa bisa dikendalikannya :-). Untunglah di becak sahaya dan Pak Alvin, hal itu tak terjadi. Menarik juga melihat teknik mereka menghadapi tanjakan dan kemahiran mengemudi di turunan. Seperti halnya tukang becak dimana saja yang kita tidak tawar ketika naik, lantaran pemandu wisata sudah mengatakan ongkosnya cukup 25 Yuan p.p., di saat sudah kembali dan membayar ongkosnya, terjadi beberapa insiden. Ada yang minta US$ 5 alias 40-an Yuan, ada yang tidak mau dibayar tarip resmi karena katanya penumpangnya terokmok. Untunglah kami bisa memakai jasa pemandu kami untuk berdebat menghadapi sang tukang becak. Selesai melihat satu kampung di Venezia-nya PRC ini, kami kembali ke bis untuk lalu cabut ke Hangzhou, kota nirwana yang kedua. Suzhou terletak di arah barat laut dari Shanghai, Hangzhou di barat dayanya sehingga ketiga kota ini membentuk segitiga dan konon merupakan kota-kota makmur di delta sungai Yangtze. Sayangnya, ketika turun dari bis menuju restoran, kami disambut oleh beberapa pengemis dan belakangan, ketika selesai makan mau naik ke bis, seorang polisi galak menghardik supir agar cepetan cabut. Begitulah kalau masih ada yang namanya polisi di kahyangan :-). Seusai makan, beberapa nyonya di dalam bis mengacungkan tangannya ketika si Tony menawarkan jasanya untuk mengantar siapa saja yang mau, pergi ke toko tas aspal (asli palsu). Seperti Anda bisa temui dimana-mana di kota besar di dunia, tas bermerek seperti Gucci, Luis Vutton, Chanel, dst., bikinan Cungkuo atau Cibaduyut banyak dijual dengan harga seperberapanya. Sama seperti Anda bisa membeli arloji Rolex seharga beberapa dollar doang di Internet maupun di jalanan. Mong-ngomong Internet, sayang hotel bintang lima yang kami inapi selama ini tidak menyediakan jasa gratisan tetapi kudu bayar pren. Sori wae untuk mengeluarkan biaya searloji Rolex agar Anda bisa membaca tayanganku 'live'. Menurut brosur hotel sih, hubungan Internet bersifat broadband alias cepat. Obyektif kedua ikut tour ke China bagi saya adalah melihat ada apa saja di setiap kota yang kami kunjungi, kalau pemandangannya bagus, itu suatu bonus. Beijing kota pertama yang kami kunjungi sesuai dengan gambaran di kepala. Kotanya padat dengan condominium sebab tak mampu lah pemerintah terlebih rakyat untuk tinggal di rumah seperti kita. Lalulintasnya ramai tapi tak macet. Kalau devisa kedua terbesar negeri ini diperoleh dari turisme, tidaklah heran setelah melihat lautan manusia yang memenuhi Forbidden City. Stereotyping bahwa RRT kotor dan jorok, menurut saya ya stereotype alias tidak benar. Dibandingkan dengan Jakarta tempat lahirku, bak langit dan bumi. Sampaipun ke kampung dan lorong, selain keadaannya relatif bersih, juga tidak bau sama sekali. Dahulu saya sering dikirim ke Taipei, tugas kantor. Kota tersebut cukup jorok dan baunya ga karuan. Tidak demikian halnya ke 4 kota di trip kami ini, suwer rek. ... (bersambung) ...