Mengunjungi Negeri Leluhur VIII

Satu tempat lagi di Hangzhou yang kami kunjungi sebelum makan siang adalah Ling Yin Buddhist Temple, suatu kompleks kelenteng yang luas, bagus dan bersejarah. Kebetulan hari itu adalah hari mendoakan arwah leluhur bagi mereka yang patuh kepada tradisi kuno Tionghoa, Ceng Beng istilahnya. Jadi kompleks kelenteng penuh dengan manusia berlimpah ruah. Seusai makan siang, kami langsung cabut menuju Shanghai, perjalanan 3 jam dari Hangzhou menuju arah timur laut. Sepanjang jalan, yang tampak menyolok adalah konstruksi bangunan maupun jalanan dimana-mana. Beberapa peserta yang sudah pernah mengunjungi RRT berkomentar bahwa di dalam beberapa tahun berselang, kemajuan pembangunan di Tiongkok memang luar biasa pesatnya. Percaya atau tidak, kata si Tony pemandu wisata, setiap hari ada satu bangunan bertingkat 10 atau lebih yang diresmikan di Shanghai.

Kesuburan RRT tidak perlu disangsikan lagi, bisa swasembada untuk menghidupi 1,3 milyar manusia. Hal itu jelas terlihat dari tanah hijau dimana-mana, kebun dan tanaman yang dikelola manusia, sering terlihat manual atau tanpa mesin. Sistim irigasinya pun terlihat berjalan bagus, saluran air tampak dari saat ke saat. Yang sedikit tak kusangka, mungkin juga karena tanah RRT memang luas sekali, tidak terlihat bahwa inilah negara berpenduduk terbesar di dunia. Tidak seperti di Tanah Jawi dimana manusia berjubelan dari mulai di dalam kota sampai ke jalan-jalan raya, di luar kota umumnya jarang kami melihat gerombolan orang, ngerumpi atau bekerja. Bila kita lewat bangunan pabrik, tidak tampak mobil berbaris berjejeran seperti di Amerika Utara tetapi rak sepeda. Ya itulah kendaraan umum para pekerja di RRT, velocipede. Satu keanehan lagi buat anak Betawi yang jadi rada norak ketika di RRT adalah sepeda yang dilengkapi dengan aki sedemikian sehingga tanpa dienjot si pengendara bisa melaju dengan asyik. Sepeda listrik itu hanya kami lihat di Suzhou, Hangzhou dan Shanghai, konon karena STNKnya mahal sekali di Beijing sehingga hampir tidak ada sepeda motor.

Sekitar 3 jam perjalanan kami tempuh dari Hangzhou ke Shanghai pakai stop kencing di tengah jalan di tempat jualan snack. Sejak dahulu kala Shanghai memang kota termodern di RRT sehingga tak usah heran bila Anda menjumpai 'adult shop' di republik rakyat ini. Ya, kalau tak suka akan ML, mana mungkin jumlah penduduk bisa mencapai semilyaran demikian. Macetnya lalin terasa banget di kota besar ini, meski bukan yang terpadat di RRT karena cuma 17 juta, kalah dengan Xiongxi misalnya. Eniwe, kami tiba juga di restoran kapal terapung di atas Sungai Huang Pu. Selesai makan, kami didrop di suatu jalanan, Nanjing East Road dimana para ibu-ibu melaksanakan 'shop till you drop' dan seluruh sisa Yuanku perlu diberikan ke 'da boss' yang berbelanja dari jam 7 s/d 10 malam. Yang lebih mengherankan beta adalah melihat nenek-nenek uzur masih berjalan menjauhi tempat ngumpul padahal sudah jam 9 malam, alias mereka akan terus syoping ampe gempor :-).

Melihat sedemikian menggebunya semangat syoping para Melayus ini, tak kalah dari ibu-ibu pejabat bila sedang di luar batang, maka tour company yang kami pakai, Super Vacation memberikan pelayanan super dengan kesempatan syoping sekali lagi di Shanghai di hari terakhir kami di RRT, Rabu 6 April 2005. Ilmu psikologi sekali lagi dimanfaatkan oleh para penjaja kumala di toko tersebut sehingga dua buleks yang selama ini kuperhatikan jarang membeli, kena kegaet. Yang satu disuguhi teh gratis sehingga jadi beli teh beberapa dos, yang lainnya terus dikuntit amoy manis sehingga ngerogoh US$ 100 untuk membeli satu gelang kumala. Suatu insiden kecil terjadi yang dilaporkannya ke saya sebab sering kududuk di sebelahnya di baris terbelakang di bis kami. Ia membayar 'jade band'nya katanya dengan lembaran 100 $ kepala kecil dan si encek bos toko ogah menerimanya. Kalau Anda Melayu luar batang yang sering pulkam, pasti pernah mengalami insiden serupa, duitmu kaga laku di Republik Indonesia. Si bulek Amrik yang panjang akalnya mengatakan, tidak masalah, ia seorang penulis dan akan ditulisnya nanti sepulangnya di Amrik bahwa suatu toko kumala di Shanghai, dan ia minta kartu nama si encek plus toko, tidak mau menerima pembayaran seorang turis Amrik dengan mata uang sah pemerintah Amrik. Konon, si encek mengkeret dan duit cepek dollar bergambar kepala Ben Franklin yang gepengan, menjadi laku, prenku bulek memiliki sang gelang kumala. Setelah dompet beberapa peserta dikuras, kami cabut dari kompleks pertokoan tersebut untuk makan siang terakhir di Shanghai. Habis makan, kami cabut menuju airport untuk penerbangan ke Beijing, selanjutnya ke Los Angeles. Zai Jian Cung Kuo :-), artine rek, gue cabut ye :-). ... (tamat di seri berikutnya) ...

Home Next Previous