The Chiniguchi River is Killarney without the crowds. Itulah kalimat pertama di buku berjudul A Paddler's Guide to Ontario's Lost Canoe Routes yang ditulis oleh Kevin Callan seorang canoeist dan penulis oke punya. Bila Anda sudah pernah ke cagar alam Killarney dan jatuh cinta tetapi sebel banget akan susahnya booking kesitu, mestilah kalimat di atas terus mendengung-dengung. Itulah yang saya alami sejak beberapa tahun lalu ketika pertama membaca dongengan si Kevin kesana, bahwa suatu hari beta pun perlu menjelajahinya. Ia tidak ngibul, geologinya mirip banget, danau-danau berair jernih berwarna kehijau-hijauan, bukit-bukit karang disana-sini, portage yang relatif mudah. Satu beda utama, di Chiniguchi ada air terjun istimewa alias kenceng banget di kolam bernama Paradise Lagoon dan ya itu, tak banyaknya canoeist yang kesana, berlainan dengan Killarney yang bisa mengalami canoe traffic jam :-).
Promosi yang cukup gencar daripada Jeha Outfitter hanya membuahkan hasil 4 manusia sinting yang demen kemping dan mau ikutan bersama. Padahal kita semua tahu bahwa usaha bisnis kami lebih mirip dengan sosialisme alias murmer. Untunglah trip kami berenam bukan saja sudah memuaskan dahaga menikmati keindahan alam ciptaanNya, juga ketagihan atau addiction kami semua akan permainan bernama truf, terpenuhi. Betapa tidak? Dari mulai mendarat di campsite pertama di Matagamasi Lake, sampai dengan jam terakhir di hari terakhir menjelang pulang, kami masih terus bermain. Ketika istirahat makan siang di dalam perjalanan pulang dan berhenti di Matagamasi Lake, kami buka lapak dan bermain kartu truf lagi :-), sebab memang itu juga permainan sinting, mesti ada yang kalah, terkadang minus semuanya dalam satu game.
Rencana perjalanan atau trip plan yang disiapkan sejak sebulan sebelumnya, direalisasikan pada hari Jum'at kemarin, 29 Agustus. Jam 9:15 pagi kami mulai berangkat dari rendezvous point, McDonald di dekat kota Barrie sebab pasutri Awi Herli startnya dari Kitchener-Waterloo alias jauh rek. Singkat cerita sebab perjalanan naik mobil mah biasa-biasa sahaja, setelah mencapai kota Sudbury yang jauhnya bangsa 5 jam dari Toronto, kami belok ke timur di Hw 17. Sekitar 15 menitan di jalan raya itu, yang sebagiannya disebut TransCanada highway sebab melintasi negeri ini dari timur ke barat, kami belok ke utara. Nah, jalanannya menjadi jalanan kampung beneran alias gravel road.
Dua puluhan kilometer di jalanan tak beraspal itu, ada pertigaan dengan papan petunjuk ke arah kiri untuk menuju Matagamasi Lake, danau dimana canoe akan kami turunkan ke air, istilahnya put-in. Belok dan injak gas lagi selama 5 km-an, ada pertigaan dimana perlu belok kanan kalau mau cepetan sampainya. Konon kalau mau bermobil terus dan senang di jalanan gravel yang bisa makan kaca depan boil kita, kita belok ke kiri sehingga put-in-nya lebih jauhan, paddlingnya lebih singkat. Sekitar 1.5 km setelah belok kanan, ada perempatan, persisnya jalanan jadi bercabang 3. Ambil yang paling kanan dan beberapa puluh meter kemudian, tibalah kita di tepi Matagamasi Lake dimana mobil bisa kita parkir gratis, engga pake hilang dop, kaca spion atau lainnya.
Ketiga kanu yang bertengger di dua mobil kami langsung diturunkan, semua perlengkapan yang sudah rapi untuk dimasukkan ke kanu kami load dan serrrr berangkatlah kita berenam ngedayung di Matagamasi Lake. Asyiknya :-). Hujan sudah lewat atau berhenti ketika itu, matahari masih tertutup awan sehingga hari menjadi teduh. Ombaknya datang dari belakang dengan akibat paddling cuma 1 jam sudah sampai ke campsite yang pertama di danau itu. Sengaja memang sudah kami rencanakan untuk tidak melakukan portaging atau masuk lebih ke dalam di hari pertama. Selain sudah menjelang sore, kapan ada waktu tuk bisa main truf dong :-). Kidding. Kami ingin mandi dan bermain air terjun di Paradise Lagoon tersebut yang sudah kesohor atau diperkenalkan si Kevin. Konon semua yang mandi disitu dianjurkan cocok dengan alam, yakni berenangnya tanpa selembar benang agar sesuai dengan ketika kita semua dilahirkan atau keluar dari rahim ibunda :-). Istilah bulenya 'au naturel'.
Berkat jasa yang namanya programmer dan periset yang membuat komputer makin laju saja, yang namanya ramalan cuaca semakin akurat. Kami jadi tahu bahwa di hari pertama ngedayung, hujan paginya, cerah menjelang sore. Tiga hari berikutnya, Sabtu s/d Senin cuaca cerah, malam tak terlalu dingin. Itulah yang terjadi. Hujan yang menyirami jalanan pasir kerikil Kukagami Road membuatnya sama sekali tak berdebu sehingga mobil kami bisa tetap beriringan tak perlu menjaga jarak sekilometer agar engga makan debu :-).
Chiniguchi Waterway Provincial Park, karena masih perei bin gratis, tidak ada box atau kotak boker di campsitenya. Campsite yang ada pun cuma bikinan mereka yang sudah lebih dahulu sering kesana, sebelum daerah dengan pantai yang panjangnya ratusan kilometer tersebut dijadikan cagar alam. Daerah yang sampai ke Wanapitei Lake di barat dan Temagami Lake di timurnya, sudah dihuni suku-suku Indian Kanada sejak ribuan tahun berselang. Terbukti dari ditemukannya gambaran primitif (pictograph) mereka di beberapa tempat, termasuk di Matagamasi Lake, disamping peninggalan purbakal lainnya.
Sebetulnya, demi servis para kustomernya, JHO sudah membawa satu portable toilet untuk menunaikan panggilan alam itu. Sayangnya, dasar yang ikut memang anak kampung Melayu semuanya, mereka lebih demen gali lobang dan berak jongkok. Duh malu-maluin ye :-). Untung saja dua cewek bulek prenku dari Ottawa yang rencana bergabung, tidak jadi ikut. Kemungkinan mereka melihat menu masakan selama trip yang isinya nasi mulu :-). Kidding. Teresa salah satunya paling demen makan rendang daripada Mpok Cecilia, sedemikian sehingga ia jilati sisa-sisa bumbu yang melekat di daun salam dan di langkuasnya.
Karena tidak mau menghabiskan waktu untuk bisa bermain truf, begitu kami melihat satu campsite yang lumayan lahannya, kami semua turun mendarat. Tempatnya tidak terlalu terbuka tetapi cukup oke, seperti dapat kalian lihat dari beberapa fotonya. Sebenarnya, untuk Bang Herry dan Siodin, campsite tidak masalah engga ada tanah datarnya, asal cukup pepohonannya. Soalnya sekarang mereka tidur gelantungan di hammock kaya kalong :-).
Bangun pagi tidak kuterus mandi :-) tapi masak kopi kalau di interior. Sambil air menjelang mendidih, saya pergi masuk ke arah hutan untuk menurunkan tas-tas makanan yang sebelumnya kami kerek ke atas. Itulah acara rutin hamba di setiap kempingan. Hampir selalu saya yang bangun pertama di pagi hari. Umumnya sekarang Siodin rek Kediri yang sekuat Hercules, tak lama akan ikut bangun menemani saya minum kopi Indofood 3-in-1 Mochachino. Di hari Sabtu pagi, bacang buatan isteriku yang merupakan makanan ideal kalau perjalanan bermobil ke put-in jauh, masih ada beberapa biji. Ransum bacang bisa dimakan sambil nyetir, apalagi kalau ada yang suapin :-). Daripada buang waktu ngantri beli makanan di warung slowfood seperti Wendy, McDonald atau Tim Hortons.
Bacang kupanasi dan kubagi ke Siodin serta Bang Herry yang juga sudah ikut bangun, mungkin mencium hawa bacang masuk ke hammocknya :-). Sambil menghabek bacang, kunikmati pemandangan air di atas danau yang embunnya mulai menguap ke atas. Tak lama, sepasang loon atau bebeknya Kanada datang menghampiri, tak salah lagi demen bacang juga :-). Karena di interior, kita bisa menjadi insan yang lebih tahu diri dan mengakui Oom Han, kubuka renungan untuk pagi hari itu yang ternyata diambil dari Matius 25 ayat 14, mengenai talenta. Kata Mas Kris yang mendongengkan parabel itu, manusia banyak talentanya, duit maupun bakatnya, rumah maupun tendanya. Berkat talenta yang dimiliki Bang Jeha, GPS berisi topomap Canada yakni peta hutan danau sungainya, tibalah kami di cagar Chiniguchi. Memang sejak dari masih di SD, saya sudah biasa melakukan trip planning, a.l. bersepeda mancing ikan ke Ancol bersama beberapa teman-temanku anak Betawi.
Hartoni prenku belum lama ini keheranan bertemu dengan dokter yang atheis. Saya lebih heran lagi bahwa banyak astronomer yang tak kalah atheisnya, padahal segala macam ukuran kehebatan kebesaran di Planit Bumi mah tidak ada apa-apanya dibandingkan yang ada di ruang angkasa. Itu sebabnya ada istilah astronomical untuk mendeskripsikan sesuatu yang wah banget. Sreeettttt, bunyi ritsliting pintu tendaku terbuka dan si dabos muncul :-). Selesailah lamunan beta di pagi hari di tepi danau sebab tugas kami berdua untuk menyiapkan makan pagi berupa nasgorpingdan, nasi goreng pinggir danau :-).
Selesai bersantap nasi goreng di pinggir danau, pas matahari mulai terik hingga semua yang perlu dilipat, hammock, tenda, sawungan, lapak truf :-) sudah kering, kami bersiap-siap cabut menuju Wolf Lake, danau yang paling oke di sekitar Chiniguchi River. Akan ada 2 portage a 350-an meter, praktis berturutan dari Matagamasi Lake ke Silvester Lake sebab cuma ada kolam 300-an meter di antara kedua portage. Kembali berkat jasa GPS dengan software topomap Canada, tidak terlalu sukar menemui portage yang pertama. Airnya semakin jernih disamping tidak banyak lagi nyamuk maupun blackflies musuh kami lantaran suhu sudah dingin di malam hari.
Portaging pertama relatif mudah, untuk kami lalu ngeload, dayung beberapa menit sampai ke awal portage kedua di danau kecil tak bernama itu. Nah, portage keduanya cukup menantang, berbatu-batu terjal sebab praktis ada di lamping bukit. Di bawahnya aliran sungai Chiniguchi yang deras membentuk jurang yang cukup dalam di beberapa bagian. Menjelang akhir portage, karena sudah membaca kisah si Kevin Callan, saya melihat tepian dari Paradise Lagoon di sebelah kiri portage trail, di belakang aliran air sungai. Selesai mengangkut semua kanu dan barang, dengan modal makan siang 'beef wrap' karya Herli Awi, kami balik menuju Kolam Firdaus tersebut. :-) Kaga gampang rek menuju firdaus, emangnye :-). Ingat ada aliran sungai deras banget dimana juga tak ada jembatan. Untunglah ada batang kayu mati yang sudah ditaruh para pionir, untuk dipakai menyeberang dengan gaya merangkang merayap menggapai ranting pohon cemara di atasnya. Inilah gunanya untuk selama masih bugar dan belum gempor, selama keseimbangan masih bagus, untuk pergi ke dalam cagar alam hutannya Kanada prens sadayana. Kalau hidupmu cuma kau pakai untuk nyangkul 10 jam sehari 7 hari seminggu, salah besoarlah dikau cape-cape sengsara-sengsara pindah dari negeri antah-berantah Indonesia.
Tiba di Kolam Firdaus, kekecewaan demi kekecewaan melanda beta. Kog? Tiga bule yang lagi berenang, semuanya pake baju mek :-). Ada 2 sejoli yang tak lama kemudian nyemplung juga, sami mawon sarua keneh, pake baju, duh :-). Akibatnya ketika dabos melarangku untuk kasih contoh soal ke mereka, bagaimana seharusnya menjadi anak alam Kanada alias bukaan semua, saya nurut wae dah. Jadilah kami berenang bak anak kota. Untungnya, dasar suami Jawi :-), kami sempat menikmati pijitan alamiah dari air terjun yang tumpah ke Paradise Lagoon, yang merupakan aliran cabang dari Chiniguchi River.
Selesai bermandi-ria di Kolam Firdaus, kami cabut lagi mendayung menuju Wolf Lake. Silvester Lake ini sudah jernih meskipun memang kalah jernihnya dibandingkan Killarney OSA maupun Nellie. Lah yang namanya gratis gimana mau persis sama sih mek :-). Suatu tantangan terjadi ketika hendak melewati selat sempit antara kedua danau di atas. Ada aliran air cukup deras dari arah depan atau Wolf Lake, sedemikian sehingga kami perlu ngedayung full power dalam melewatinya. Begitulah sikon di interior trip, dibutuhkan fitness yang cukupan untuk bisa menikmati cagar alamnya Kanada.
Mendayunglah kami ceritanya bertiga kanu di Wolf Lake yang bentuknya agak bulat. Kucari campsite yang selain lahannya luas, juga daerah pantainya serba terbuka untuk di malam hari dipakai melihat bintang-gemintang. Campsite pertama yang kami jumpai kudapati sudah cukup ideal dan mendaratlah kami disitu. Karena kami cuma berenam dimana dua orang ber-hammock, maka kami cuma membutuhkan tanah datar untuk 2 tenda. No problemo sama sekali. Tempat api unggun tersedia sebab kami membawa jagung dan yam atau ubi manis untuk dibakar. Kayu-kayu mati lumayan banyaknya.
Tak perlu ditulis lagi kegiatan apa saja sepanjang sisa siang sore hari yang cerah di hari Sabtu kemarin. Anda yang belum ketagihan main kartu seperti bridge misalnya, tak akan bisa ngerti eniwe :-). Permainan truf banyak ja'ul dan jailnya sedemikian sehingga dari waktu ke waktu, rakyat pada menjerit karena ya ja'ul dikerjain orang atau ada yang keembat. Itu sebabnya saya katakan, untuk kami para sintingers, engga cocok banget kemping di tempat car camping dimana park ranger berkeliaran maupun tetangga di sebelah tenda kita ada puluhan banyaknya. Dapat saya tambahkan, kedua anak Betawi Bang Herry dan Bang Jeha, di trip kali ini menjadi semakin muanteb jawine rek. Gimana engga, kalu yang lagi maen 4 jowo, mereka pake boso ngoko :-) dimana a.l. bilang 'book' bu, bilang masuk, masu. Duh Jowo, gue demen deh ame elo atu :-).
Selesai bersantap nasi goreng di pinggir danau, pas matahari mulai terik hingga semua yang perlu dilipat, hammock, tenda, sawungan, lapak truf :-) sudah kering, kami bersiap-siap cabut menuju Wolf Lake, danau yang paling oke di sekitar Chiniguchi River. Akan ada 2 portage a 350-an meter, praktis berturutan dari Matagamasi Lake ke Silvester Lake sebab cuma ada kolam 300-an meter di antara kedua portage. Kembali berkat jasa GPS dengan software topomap Kanada, tidak terlalu sukar menemui portage yang pertama. Airnya semakin jernih disamping tidak banyak lagi nyamuk maupun blackflies musuh kami lantaran suhu sudah dingin di malam hari.
Portaging pertama relatif mudah, untuk kami lalu ngeload, dayung beberapa menit sampai ke awal portage kedua di danau kecil tak bernama itu. Nah, portage keduanya cukup menantang, berbatu-batu terjal sebab praktis ada di lamping bukit. Di bawahnya aliran sungai Chiniguchi yang deras membentuk jurang yang cukup dalam di beberapa bagian. Menjelang akhir portage, karena sudah membaca kisah si Kevin Callan, saya melihat tepian dari Paradise Lagoon di sebelah kiri portage trail, di belakang aliran air sungai. Selesai mengangkut semua kanu dan barang, dengan modal makan siang 'beef wrap' karya Herli Awi, kami balik menuju Kolam Firdaus tersebut. :-) Kaga gampang rek menuju firdaus, emangnye :-). Ingat ada aliran sungai deras banget dimana juga tak ada jembatan. Untunglah ada batang kayu mati yang sudah ditaruh para pionir, untuk dipakai menyeberang dengan gaya merangkang merayap menggapai ranting pohon cemara di atasnya. Inilah gunanya untuk selama masih bugar dan belum gempor, selama keseimbangan masih bagus, untuk pergi ke dalam cagar alam hutannya Kanada prens sadayana. Kalau hidupmu cuma kau pakai untuk nyangkul 10 jam sehari 7 hari seminggu, salah besoarlah dikau cape-cape sengsara-sengsara pindah dari negeri antah-berantah Indonesia.
Tiba di Kolam Firdaus, kekecewaan demi kekecewaan melanda beta. Kog? Tiga bule yang lagi berenang, semuanya pake baju mek :-). Ada 2 sejoli yang tak lama kemudian nyemplung juga, sami mawon sarua keneh, pake baju, duh :-). Akibatnya ketika dabos melarangku untuk kasih contoh soal ke mereka, bagaimana seharusnya menjadi anak alam Kanada alias bukaan semua, saya nurut wae dah. Jadilah kami berenang bak anak kota. Untungnya, dasar suami Jawi :-), kami sempat menikmati pijitan alamiah dari air terjun yang tumpah ke Paradise Lagoon, yang merupakan aliran cabang dari Chiniguchi River.
Selesai bermandi-ria di Kolam Firdaus, kami cabut lagi mendayung menuju Wolf Lake. Silvester Lake ini sudah jernih meskipun memang kalah jernihnya dibandingkan Killarney OSA maupun Nellie. Lah yang namanya gratis gimana mau persis sama sih mek :-). Suatu tantangan terjadi ketika hendak melewati selat sempit antara kedua danau di atas. Ada aliran air cukup deras dari arah depan atau Wolf Lake, sedemikian sehingga kami perlu ngedayung full power dalam melewatinya. Begitulah sikon di interior trip, dibutuhkan fitness yang cukupan untuk bisa menikmati cagar alamnya Kanada.
Mendayunglah kami ceritanya bertiga kanu di Wolf Lake yang bentuknya agak bulat. Kucari campsite yang selain lahannya luas, juga daerah pantainya serba terbuka untuk di malam hari dipakai melihat bintang-gemintang. Campsite pertama yang kami jumpai kudapati sudah cukup ideal dan mendaratlah kami disitu. Karena kami cuma berenam dimana dua orang ber-hammock, maka kami cuma membutuhkan tanah datar untuk 2 tenda. No problemo sama sekali. Tempat api unggun tersedia sebab kami membawa jagung dan yam atau ubi manis untuk dibakar. Kayu-kayu mati lumayan banyaknya.
Tak perlu ditulis lagi kegiatan apa saja sepanjang sisa siang sore hari yang cerah di hari Sabtu kemarin. Anda yang belum ketagihan main kartu seperti bridge misalnya, tak akan bisa ngerti eniwe :-). Permainan truf banyak ja'ul dan jailnya sedemikian sehingga dari waktu ke waktu, rakyat pada menjerit karena ya ja'ul dikerjain orang atau ada yang keembat. Itu sebabnya saya katakan, untuk kami para sintingers, engga cocok banget kemping di car camping dimana park ranger berkeliaran maupun tetangga di sebelah tenda kita ada puluhan banyaknya. Dapat saya tambahkan, kedua anak Betawi Bang Herry dan Bang Jeha, di trip kali ini menjadi semakin muanteb jawine rek. Gimana engga, kalu yang lagi maen 4 jowo, mereka pake boso ngoko :-) dimana a.l. bilang 'book' bu, bilang masuk, masu. Duh Jowo, gue demen deh ame elo atu :-).
Tiga puluh satu Agustus 2008, dua puluh delapan tahun tinggal dan kemping di negeri ini, da best in da world kalau kata saya :-) . Mana ada tempat kemping di Amrik, Eropa maupun Asia dengan puluhan danau seluas di Chiniguchi (dan ratusan kalau sampai ke Temagami) yang gratisss. Ketika kubangun di pagi hari bersejarah itu, semua masih sunyi sepi. Bang Herry dan Siodin pren ngopiku masih bermimpi di hammock mereka. Tak heran. Semalam kami ngeceng bintang di langit yang cerah sampai jam 12 malam dimana meteor demi meteor menghunjam bumi menambah semaraknya pemandangan. Seluruh kubah langit terbuka untuk dilihat dan bilyunan bintang di galaksi Bima Sakti ngeriyek berhimpun berupa kabut dari utara ke selatan sehingga dinamai Jalan Susu, Milky Way. Akhir pekan Labour Day memang ideal sekali untuk mengeceng bintang sebab suhu belum terlalu dingin dan nyamuk sudah pensiun.
Rencana hari itu adalah R&R, rileks dan rekreasi berkanu menyusuri lagi Chiniguchi River ke arah utara. Formasi kanu kutukar. Saya mendayung bersama Herli dan Siodin, dabos bersama Bang Herry dan Awi. Karena mereka saenak udele ngedayungnya, padahal saya tekun mengikuti petunjuk GPS ke arah portage, mereka menemukan pulau kecil yang unik di tengah Wolf Lake. Yakni sepanjang beberapa puluh meter dari pulau itu, ada gugusan batu karang yang rata, pas di bawah permukaan air. Akibatnya kita bisa berjalan kaki tanpa terbenam atau cuma sebatasan lutut atau mata kaki. Sayang Wan Redjo prenku yang hobi meditasi engga ikut sebab ia kepengen banget bisa berjalan di atas air. Katanya sehabis tahapan bisa melayang, levitate, berikutnya berjalan di atas air.
Tidak berapa lama, portage P190 menuju Dewdney Lake sudah kutemukan. Ya, karena relatif berupa crown land atau belum menjadi provincial park seperti yang lainnya, tidak ada portage sign maupun campsite sign di seluruh Chiniguchi. Ini membuat trip kami jadi lebih seru. Karena day trip maka tak banyak barang bawaan kami, hanya makanan siang pita bulgogi kreasi Siodin yang sudah termashur sejak Nellie Lake trip tahun lalu. Oya, karena tulisanku mengenai trip itu masuk di majalah Melayu seAmrik, Indonesia Media, 2 mingguan lalu saya mendapat telepon. Si cewek yang tertarik dengan Nellie Lake tinggal di Colorado Spring katanya. Saya pikir ia mau ngebook trip kami sebab ia minta dihubungkan dengan Jeha Outfitter. Engga tahunya cuma mau tanya dimana Nellie Lake dan seenak apa pita bulgogi Siodin :-).
Tiba di ujung portage di Dewdney Lake dan mulai paddling saya menjadi maklum mengapa danau itu dipilih sebagai tempat pemukiman para ranger. Airnya bening tak kalah dari Killarney, pemandangannya pun oke, suasananya asri. Ketika daerah ini masih dijadikan logging area alias banyak manusianya, rupanya diperlukan kehadiran polisi hutan atau park ranger. Maklum dah manusia, kalau berempat mereka main truf, kalau jumlahnya 40 mereka akan nge-clique dan tak heran lalu bengkelai. Saya mendayung mengarahkan canoe ke arah ranger cabin sebab disitulah kami akan makan siang.
Karena sudah puluhan tahun ditinggalkan mantan penghuninya, rumah yang dijadikan cabin sudah reyot rusak tak bisa ditinggali lagi. Lahannya sudah ditumbuhi cem-macem pepohonan dari yang kecil sampai cemara yang besar. Saya jadi teringat villa di Kandang Badak di lereng Gunung Pangrango. Ketika saya pertama mendaki, villa itu masih asyik, pendiangannya masih berfungsi dan jendela kacanya lengkap, double pane. Ketika kemudian saya kesitu lagi, jendela kacanya sudah hancur, sebagian pintu dan kayu-kayuannya sudah dijadikan kayu bakar oleh oknum KAMI KAPPI (kesatuan aksi mahasiswa indonesia kesatuan aksi pemuda pelajar indonesia). Belakangan lagi terakhir saya kesana villa megah yang dibangun oleh park ranger Belande itu, sudah tinggal alasnya doang alias punah. Hidup KAMI KAPPI :-), ganyang warisan kolonialisme :-).
Balik ke kempingan Bang Jeha beserta man-teminnya, begitu mendarat saya keluarkan peralatan untuk memanaskan bulgogi di atas kompor butane portable. Kompor MSR firefly itu saya pertama bawa ketika kami kemping di Eropa berhubung tabungnya banyak dijual disana dan naphta tidak begitu dikenal. Meskipun bahan bakarnya jauh lebih mahal per BTUnya dibanding naphta tetapi ringkes kecil banget, cocok untuk backpacking camping. Bayangkan bedakan lagi dengan kompor minyak tanah a la abang-abang tukang mie tektek yang dulu kubawa mendaki Pangrango :-). Pokoknya Bang Jeha ikut kemajuan jaman dah :-).
Karena lahan yang kurang asyik di muka ranger cabin tersebut, disamping Bang Herry sudah kepengen berjalan di atas air, maka selesai menyantap pita bulgogi, kami berangkat balik menuju Wolf Lake. Berhubung tadi saya dan prens sekanu tidak melewati pulau kecil tersebut jadi memang norak sedikit melihat geologinya lain dari yang lain. Suhu di tanggal 31 Agustus itu memang yang paling panas, mana kami ngedayung masih di siang hari. Begitu kanu kudaratkan, langsung kubuka semua-semua, mula-mula takut kepada dabos alias masih pakai celana renang. Belakangan ada yang menantang, siapa takut alias bang jeha anak kampung Betawi lulusan Ciliwung, berenang au naturel :-). Kalau saja kami tidak habis ngedayung, mungkin airnya rada dingin sebab Chiniguchi sudah di atas banget letaknya, tepatnya 46 derajat 51 menit lintang utara menurut lokasi di GPS.
Puas mandi, tugas Jeha Outfitter bagi kustomernya menunggu, yakni mencari kayu mati di sepanjang pinggir pantai yang selalu ada. Ketemu bekas beaver lodge yang sudah ditinggalkan para beavernya sehingga kesitu tujuan utama kami, saya nyonya dan Siodin. Kayu bekas dipotong beaver adalah kayu pilihan, so pasti. Lama terbakarnya dan diameter ukurannya juga pas selengan sebetis. Kami tambahkan dengan beberapa kayu pinus dari batang cemara mati lainnya, cukuplah persediaan kayu bakar untuk jagung yang dibawa Herli Awi. Entah mengapa panen jagung kali ini melimpah banget. Belum lama kami ke Chinatown dapet 5 sedollar dan boleh pilih serta gede-gede. Semoga masih banyak jagung untuk kempingan berikutnya di akhir pekan Thanksgiving Day Oktober nanti.
Selesai memanen kayu bakar sekanu kami balik kembali ke campsite di Wolf Lake untuk ber...main truf lagei :-). Untung juga dah engga ada bulek yang ikut sebab malu-maluin bangsa Jawi banget, ihik ihik. Ya kedua anak Betawi yang ikutan, karena minoritas maka kalau kami masuk, kami terpaksa dah bilangnya 'bu' juga, bukan book :-). Akan menarik permainan truf di Bice Lake trip Oktober nanti sebab formasinya 2 Jawi 2 Betawi 2 Medan 2 Canadian :-). Sebetulnya banyak juga sih kegiatan kami yang lainnya. Misal Bang Herry yang sekarang sudah jadi pelukis pro, bawa buku tentang ilmu lukis melukis. Bang Jeha bawa buku karya Henry Nouwen yang kesintingannya bisa duduk seharian di muka lukisan The Prodigal Son di Hermitage Museum St. Petersburg. Cecile bojoku sesekali melemparkan pancingannya ke danau. Awi dan Herli sering duaan wae dan Siodin si jomblo kasian deh loe sorangan doang.
Tanggal 1 September tiba, hari kami cabut pulang. Karena banyak sekali perlengkapan yang menjadi tugas saya dan Cecile membereskannya, kami tidak bisa ikut 4 orang sinting main truf lagi sehabis makan pagi. Masakan paginya bagi saya bak serasa di Padang alias engga bisa dimakan karena pedasnya. Yakni bakmi kuah a la Korea dengan cem-macem bakso. Namun bojoku yang tugas masak breakfast berbaik hati membuatkan saya indomie goreng plus 4 biji bakso :-). Jadi teringat lagi ketika suka manjat gunung di kala daku masih muda belia. Menu makanan naik gunung adalah standard, bisa 3 kali sehari supermie. Kalau ada yang rajinan seperti saya :-), maka saya masakin nasi plus bawa barang kaleng bangsanya kornet atau hamenworst. Bandingkan dengan menu masakan kami di trip ini sbb.
Meal assignment
===============
Friday lunch (on the road to Matagamasi Lake put-in): bacang (Cecilia)
Friday dinner (on Matagamasi Lake campsite): Rice w/ Swedish meatball (Herry)
Saturday breakfast: Indonesian fried rice (Cecilia)
Saturday lunch: Daging lapis in tortila wrap (Awi Herli)
Saturday dinner (on Wolf Lake campsite): Rice with beef rendang (Cecilia)
Sunday breakfast: Omelette in tortila (Awi Herli)
Sunday lunch: Pita with bulgogi (Siodin)
Sunday dinner: Pasta with pepperoni (Awi Herli)
Monday breakfast: Korean noodle with meatballs (Cecilia)
Begitulah menu masakan di trip Jeha Outfitter sekarang ini, selamat tinggal supermie, mie instan, indomie, gengsi dong :-). Sekian saja dongengan trip di akhir pekan lalu, sampai berjumpa di dongengan ke Algonquin Ralph Bice Lake, 11-13 Oktober 2008. Lam lekom bai bai.