15 Desember 2001
Jam 4.59 pagi, "not too bad for a body clock", kataku dalam hati melirik ke radio alarm disisi ranjangku. Alarm itu masih setia bila diberi tugas membangunkanku sejak kubeli ia di Rochester, Minnesota 20 tahun yang lalu. Namun lebih sering aku dibangunkan oleh weker alamiah karya Oom Han di otakku. "Yang, semenit lagi jam 5," kataku membangunkan Cecilia. "Ya tahu," katanya sebab rupanya ia juga sama 'excited'-nya dengan suaminya. Betapa tidak. Dua tahun lalu seharusnya kami sudah berangkat 'cruise' mengunjungi beberapa pulau yang kami rencanakan, St.Thomas, St.Maarten, St.Lucia, St.Cecilia :-). Weleh-weleh, seminggu sebelum kami cabut di awal tahun 2000, mertua sempat koma di rumah sakit, 10 cairan infus menemaninya berjuang melawan sakarat maut. Untunglah tubuh buatan Pekalongan itu, meskipun sudah terkena septic shock karena bakteri E.Coli yang merasuknya, mampu untuk pulih kembali. Hanya, tanpa menyesal sedikitpun :-) cruise kami tentu sudah cabut alias kami benar-benar ketinggalan kereta, eh kapal. "There will be another cruise," kataku menghibur isteriku dan ia manggut setuju sekhalei. Rencana kami waktu itu adalah mengawali HUT Pernikahan kami ke 25 di Mei 2000 dengan ber-cruise, lalu di bulan Mei-nya canoe camping ke Boundary Waters Canoeing Area Wilderness di Minnesota, USA. "Man proposes but God disposes," kata wong Kanada dan kita mengamininya saja.
Akhirnya, sebagian cita-cita 2 tahunan lalu itu tercapai juga hari ini. Karena Anda semua pasti sudah pernah naik kapal terbang, kalau bukan dari Toronto ke San Juan, mungkin Jakarta - Surabaya atau Jakarta - Denpasar, maka kulewati saja kisah perjalanan sampai kami check-in di dermaga pelabuhan San Juan tempat bertenggernya kapal kami, Radiance of the Seas. Berkat situs Web dan pengalaman mau naik cruise tahun lalu, saya memilih sang kapal, tidak yang paling besar di dunia, hanya sekitar 90 ribu ton dengan maksimum penumpang 2500, tapi baru selesai dibuat tahun lalu dengan 'maiden voyage' April 2001. Kapal buatan Papenburg, Jerman, ini konon merupakan kapal yang paling luas pemandangan keluarnya karena penuh dengan kaca setiap tingkatnya. Selesai check-in dimana paspor kami "ditahan" dan diganti kartu kredit :-), kami masuk ke dalam sang kapal yang panjangnya 3 kali lapangan sepakbola, tingginya 15 tingkat atau deck. Si JeHa anak kampung Betawi memang terkagum- kagum berada di dalam kapal. Lift-nya berjumlah 9 serba modern dan juga dari kaca alias see-through. Oya, hampir lupa. Ketika kami keluar dari airport San Juan mau ke tempat ambil koper, weleh-weleh kami bertemu dengan teman kami pasutri eks Melayu, si B dan E. Mereka yang menegor Cecilia sebab kami mengenal seluruh keluarganya. "Mau cruise sama Radiance of the Seas ya," kata E yang Jowonya masih medhog buanget, maklum wong Suroboyo. "Iya," kata Cecilia. "Waduh, ada 100 awak kapal anak Indonesia," kata E lagi dan benarlah ucapannya. Ternyata 100 (dari 900) crew di kapal ini Melayus prens sadayana. Setiap hari kami bertemu 10 anak Melayu dari mulai di deck bawah sampai ke atas. Kepada si Didi di ruang makan yang menyapaku, kutanya, "Kalian KKN-an yach, bisa ada 100-an di kapal ini? Cabin stewardku, si Ida (Bagus) asal Melayu, di ruang makan ini ada kamu, si Stanley, Wahyudi, si Momon, si Polan, si Badu, gile banget." "Engga pak, cuma Royal Caribbean (perusahaan cruise yang punya kapal) udah punya kantor di Jakarta dan waktu mau ambil kapal ini di Jerman tahun lalu, pasang iklan dengan akibat banyak anak Indonya." "Iya deh, memang anak Melayu baik-baik dan sopan-sopan," kataku di akhir pembicaraan dengan mereka yang mengerubungi kami ketika tahu ada Bang Jeha dan Empoknya di kapal mereka.
"Ja'ul, kog engga jalan kedua-dua kartu kita," kataku ke Cecilia ketika mencoba membuka pintu kamar kami, nomor 4042, ocean view tapi di deck hampir paling bawah. Salah satu beda utama antara kabin di cruise adalah 'ocean view' alias bisa ngintip keluar ke laut atau 'inside cabin' alias terkurung. Karena sedikit punya modal sebab belum pensiun dari comberanku :-), sahaya memilih kamar disitu, di daerah tengah supaya buaian ombak dari kapal paling ringan. "We have upgraded your room to 9518 with an outside balcony," kata si noni yang melayaniku di bagian 'complain'. Ujug-ujug pindah ceritanya kami ke cabin itu, 5 tingkat di atas yang seharusnya. Pada waktu kami book, dalam waktu sedetik kukatakan ogah ke travel agent-ku ketika kudengar harga cabin ocean view di deck 9 (deck 10 paling atas buat wong sugih-arta sebab suite alias kamarnya dua kali lipat yang biasa). Hesbats sekhalei memang kamar yang diberikan kepada kami, kumplit pakai balkon dengan 2 kursi untuk "makan angin" laut sepanjang cruise kami. Tak salah lagi, isteriku sering disayang Oom Han seperti itu :-).
Sisa waktu di sore hari dan malam ini kami pakai untuk sedikit menjelajahi kapal, nge-check ada apa azha sih. Memang komplit dunia eksklusif bernama kapal cruise ini. Disamping toko berlian, cem-macem benda mahal lainnya, ada toko kopi mahal, toko buku mahal :-), dan semuanya yang serba wah. Disamping biaya telepon interlokal 7$ per menit, ada Internet atau flat rate 200 $ US unlimited selama cruise atau 0.50 $ US per menit. Tak usah yach. Tentu saja ada teater dan ruang makan yang dapat menampung 1000 orang. Sayang kolam renangnya kecil doang, masih kalah dengan kolam renang Tirta Mas :-). Selesai check-ngecheck, seluruh penumpang diminta berkumpul di pos yang sudah ditentukan untuk latihan kalau-kalau kapal mengalami nasib seperti Titanic. Penumpang deck 9 ngerumpinya di teater dan sambil memakai pelampung pada jam 10 malam, kapal mulai berlayar menuju St. Thomas. Tetapi itu adalah kisah esok hari dan Bang Jeha mau "berlayar ke pulau busa" dulu, sampai tayangan yang kedua, bai bai lam lekom.