18 Desember 2001
Sint Maarten dan Saint Martin adalah lahan terkecil di dunia dimana ada dua negara bercokol memerintahnya. Di pulau seluas 10 km kali 10 km ini Belanda dan Perancis membaginya menjadi 2 bagian, yang Perancis sedikit lebih besar. Philipsburg adalah ibu kota St. Maarten Belanda tempat kapal kami mendarat, sedangkan Marigot adalah ibukota St. Martin Perancis. Tidak ada perbatasan, tak ada imigrasi maupun bea-cukai karena di semua pulau yang kami kunjungi toko-tokonya bebas cukai. Bermodal GPS (Global Positioning System) yang kubawa dari Toronto, menjelang jam 7 pagi, kupantau kapal dengan kecepatan sekitar 15 km per jam mulai mendekati St. Maarten dari arah timur ke barat masuk ke pelabuhannya. Kecepatan maksimum kapal ini adalah 24 knot, kira-kira 45 km per jam dan bila di laut lepas, sang kapten anak Vancouver si James MacDonald mengebutnya sampai hampir maksimum, kuketahui kembali berkat GPS-ku maupun info dari layar TV yang memberikan perkembangan posisi kapal, kecepatan dan arahnya dari waktu ke waktu.
Di ruang makan semalam, seorang lagi anak Indo dari Bali datang ke meja kami dan memperkenalkan dirinya. "Selamat malam, Ketut nama saya Pak," katanya. Kamipun bersalaman dengan Ketut yang ramah dan sambil menunggu datangnya makanan-makanan pesanan kami, mengobrol sebentar dengannya. Ia juga angkatan pertama awak kapal ini yang pergi ke Papenburg, Jerman untuk diberi latihan. Ketut masih mending bujangan. Kasihan juga bila sudah beristeri dan terpaksa lah awak meninggalkan bini (atau mungkin suami) bila bekerja di kapal. Kalau kapal mendarat, kios-kios telepon di sekitar dermaga penuh dengan awak kapal yang sibuk menelepon kekasihnya di rumah masing-masing. "Sudah lebaran Pak," kata si Didi tertawa lebar sambil menunjuk gagang telepon yang dipegangnya. Ia sedang berbicara dengan isterinya ketika kami memergokinya di salah satu kios telepon. Si Didi juga anak baik. Kemarin, ujug-ujug ia datang dengan tampan minumannya karena ia memang bertugas di bagian bar. Ia membawa 2 pina colada untuk kami. "Ini dari anak-anak untuk Ibu dan Bapak, engga pakai alkohol," katanya sebab ia masih ingat Cecilia alergi dengan alkohol. Semua- semua gratis di kapal ini kecuali minuman beralkohol yang harus dipesan ke si Didi atau koleganya dan kartu kredit kapal perlu diberikan juga. Seperti saya katakan, setiap hari ada saja anak Indo yang baru kami kenal atau salaman. Sudah ada Wayan, Putu, Ketut, Made, tinggal Nyoman. Sudah ada anak Bali kasta Sudra, Waisya, Ksatria, tinggal kasta Brahma tetapi mungkin mereka cuma boleh bekerja di pura, Bang Jeha kurang periksa. Eniwe, mereka kelihatan hepi dan cukup kerasan, bisa berbahasa Indonesia sehari-hari karena banyak temannya. Satu dua memang ada yang THP (The Hurting People) tapi kelas ringan lach yauw. Terkadang mereka suka memasak sendiri nasi dan makanan yang lebih cocok ke lidah kita. Maklum kata mereka, anak-anak Indo konsennya di bagian FB, istilah atau singkatan dari Food and Beverage.
Kemarin, di kelab kebugaran saya menimbang tubuhku lagi. Turun 2 pound :-). Sebelum berangkat cruise, beratku 160 pound. Di timbangan pertama 161 dan kemarin 159. Cecilia tidak sehepi daku. Ia naik satu pound katanya. Artinya timbangan tersebut memang lebih jujur dari yang pertama. Tidak mungkin kan baru sehari saya bisa naik 1 pound. Jadi, meskipun setiap sore hari kami ikut 'fitness' dilatih oleh si Darina, nama si bahenol yang menjadi pemandu, hari ini kami jalan kaki ke 'downtown'. Jalan kaki 20 menit bila tidak meleng sudah sampai di apa yang namanya daerah 'town pier'. Rupanya pulau ini salah satu favorit kapal cruise. Bayangkan, di dermaga Philipsburg ketika kami mendarat, sudah ada 3 kapal cruise lainnya sebesar alaihim. Yang satu tak kalah besarnya dari kapal kami, Disney Magic Cruise. Yang satu lagi kapal dari Princess Cruise dan terakhir dari Crystal Cruise. Lewat perumpian di meja makan dengan beberapa orang yang sudah ikut 10-11-12 kali cruise, pilihan kami tidak salah. Semuanya senang dengan kapal, pelayanan, maupun makanan cruise ini. Tidak percuma saya sudah melakukan riset lewat Internet. Kata mereka, Crystal Cruise hebat sekali pelayanannya karena 1 awak kapal per penumpang, di cruise kami 1 berbanding 2. Princess juga hebat karena harganya di dekat langit :-). Akan halnya Disney, tentu kalau Anda senang Mickey Tikus dan Donald Bebek, itulah pilihan kapalmu.
St. Maarten tidak terlalu mengesankan untukku. Oke sih, orang-orangnya jauh lebih ramah dari orang di Pasar Koja Tanjung Priok :-). Seperti juga di St. Thomas dan Antigua, banyak yang menawarkan taksi ataupun tour eksklusif. Hanya baru di St. Maarten ini kami dua kali ditawari tour gratis keliling pulau ke beberapa tempat obyek wisata, plus "perangkapnya" kupon diskon permata 100 $. Tanpa si noni menjelaskan bahwa "tidak harus membeli" saya sudah tahu akalan berlandaskan teori psikologi ampuh ini. Sekali kita sudah diberikan sesuatu yang "cuma-cuma" akan sukar sekali untuk mengatakan TIDAK ketika kita disuruh membeli sesuatu; cognitive dissonance theory-nya Leon Festinger. Beberapa teman kami di Toronto, yang kemakan iklan "gratis" dijamin akan diberikan TV, tidak perlu beli asal mendengarkan ceramah jualan time-share, semuanya menjadi THP. Satu dua tidak bisa bilang TIDAK ketika disuruh membeli rumah di suatu tempat "eksotik" patungan dengan puluhan pemilik lainnya sehingga kita hanya bisa memakainya satu dua minggu doang setahun. Satu dua yang tabah dan bermental baja alias ndablek, menjadi THP ketika TV gratisnya berukuran 12 inci saja :-). Satu dua lainnya sumpah tujuh turunan tidak mau lagi ikut apapun yang gratis-tidak-usah-beli demikian.
Jadi, berlatar-belakang pengalaman hidup syering beberapa teman kami, dengan mudah dan mantep Cecilia dan saya mengatakan, "Sorry, no thank you we don't need a 12 inch TV, oops a free tour." :-) Setelah puas putar kayun di downtown selama 2 jam termasuk melihat ada hotel bernama Pasanggrahan, menyaksikan beberapa turis bule rambutnya dikepang kecil-kecil a la anak Negro Karibia, mengucapkan trims kepada Oom Han lewat perantaraan St. Martin de Tours di gereja bernama beliau, membeli coklat Belgia asli yang dijual, mampir di restoran Tionghoa membeli aqua botol, kami balik kembali ke kapal. Satu peringatan kepada Anda-anda berperut Melayu kaya si Bebeth yang lemes kalau tidak makan nasi sehari, hindarilah cruise :-). Makanannya serba bule alias menu Barat. Sejak kami mulai cruise ini di hari Sabtu lalu, baru sekali ada menu masakan 'beef sze-chuan', satu rupa doang tapi ada nasinya. Cuma itu satu jenis makanan Asia di antara 100-an variasi makanan lainnya. Lagipula, nasi yang dimasak adalah a la India (memang banyak koki India di kapal) alias pera atau kering-kerontang. Baru mulai jelas mengapa jarang sekali kami bertemu penumpang bermata sipit kaya Bang Jeha Anda :-). Sampai kisah berikutnya.