19 Desember 2001
Sama seperti hari-hari sebelumnya, kapal selalu meninggalkan pelabuhan yang pada umumnya memang indah-permai ketika saya dan Cecilia sedang latihan di kelab kebugaran di deck 12 kapal kami sebelum makan malam. Untunglah isteriku "tahu diri", makan masakan uenak setiap harinya tetapi ia rajin "membayarnya" dengan exercise terus. Di pagi hari bila melancong kemana-mana kami lebih sering jalan kaki dari naik taksi, di sore hari atau berenang di kolam renang kapal yang airnya asin atau berolahraga di kelab kebugaran. Pemandangan pelabuhan Castries, ibu kota St. Lucia, pulau milik Perancis cukup oke punya. Karena jauhnya pelayaran, baru menjelang jam 10 pagi kapal mendarat. Kata si bule dari bagian promosi kapal ini, kalau ia hanya bisa memilih mengunjungi satu pulau saja dari seluruh pulau-pulau di Caribbean, ia pilih St. Lucia. Selain indah menawan, pulau ini baru "diketemukan" sebagai obyek turisme alias tidak "hancur berantakan" seperti Sanur dan Kuta. Itulah sebabnya, saya dan Cecilia memodali ikut 'snorkeling tour' di St. Lucia karena konon, pemandangan di bawah airnya luar biasa.
Cuaca sebetulnya mendung sejak kapal berlabuh. Menurut si bule lagi di brosur mereka, snorkeling tour yang ini sangat terbatas jumlahnya, yakni maksimum 30 orang. Semalam Cecilia sudah ngebet mau book tapi kata hamba yang selalu memperhitungkan risiko, tunggu azha sampai besok lihat cuacanya seperti apa. Kalau kita batalin, duit 150 $ US melayang alias tidak dikembalikan. Tapi sebetulnya, snorkeling atau skin-diving itu ideal bila matahari ditutupi awan asal angin jangan kencang saja sebab kepala kita akan pusing dibuai ombak pada saat harus menarik napas ke permukaan air. Sejak kami berangkat dari San Juan, ramalan cuaca tidak pernah sunny atau matahari bersinar terang. Dua hari pertama 'partly cloudy' dan tiga hari terakhir ini 'cloudy'. Dengan suhu sekitar 30-an C, sebetulnya bagus asal tidak hujan dan memang demikian halnya. Hanya selama ini pula tiada kesempatan yang bagus jadinya untuk melihat baik matahari terbit maupun terbenam. Pemandangan bintang pun demikian pula, jarang seluruh kubah langit terbuka. Namun semalam kami sempat ajojing diiringi band anak-anak Caribbean dibawah planit Jupiter, Saturn dan bintang-bintang di rasi Orion, Bintang Luku kata anak Indonesia karena bentuknya yang seperti bajak atau luku. Asyik juga berdansa di bawah bintang gemintang diiringi band anak-anak item Karibia.
Tadi pagi jatah bertemu awak kapal Melayu tambah satu lagi setelah Cecilia melihat nama Rochyadi tertulis di dada si tukang masak telor ceplok (omelette). Jadilah kami mengobrol sambil ia memasak omelette pesanan kami dan beberapa penumpang lainnya. "Dari mana Pak?," tanyanya. "Jakarta, Anda?" "Sama dong Pak, saya juga dari Jakarta." "Oh anak Betawi nih, dimane kampungnye?" "Di Kebayoran Pak, blok A. Senang sekali bisa bertemu orang asal dari Indonesia Pak," katanya lagi. Karena maklum akan kerinduan anak-anak ini bisa mengobrol dengan penumpang di dalam bahasa ibunya, makanya saya tidak katakan dari Kanada :-). Meskipun awak kapal ini banyak warga Melayunya, mereka tentu tidak bebas bercengkerama. Selama jangka kontrak itu tidak ada hari liburnya, mereka bekerja 7 hari seminggu, sedikitnya 12 jam per hari. Mereka "libur" di akhir kontrak. Begitu kapal nanti selesai cruise dan mendarat di pagi hari, mereka berlayar lagi di malam harinya. Seperti saya ceritakan di tayangan terdahulu, bila mereka ada waktu bebas, tentu tidak mereka pakai ngerumpi dan ngobrol tapi ke darat, syoping a la kadarnya dan menelepon keluarganya, terutama yang sudah beristeri.
Menjelang jam 12, Bang Jeha dan Empoknya sudah menunggu rombongan peserta snorkeling dari kapal kami. Laku banget dan ternyata ada 35 peserta alias sekapal speedboat. Lumayan penghasilan St. Lucia Scuba hari ini, nama tour atau snorkeling lokal yang mengurus dan akan memandu kami. Kusempat bicara dengan Erol, diving guide, yang kata Cecile mirip banget dengan OJ Simpson tampangnya. "How far is the diving site?" "Not too far, a 45-minutes boat ride," katanya. Belakangan, kembali berkat GPS-ku, ternyata cukup lumayan jauhnya, sekitar 30-an km. Dapat kami tempuh dalam waktu singkat karena motor 2 x 250 PK sang speedboat dikebut kapten Garfield dengan kecepatan 40-an km per jamnya. Dengan jarak segitu, kita sudah dapat sampai ke 'diving site' yang oke di Kepulauan Seribu, tempatku mengagumi salah satu kreasi Oom Han, pemandangan di bawah air. Weleh-weleh, ternyata 'diving site' berada di pinggir pantai, ideal sekali untuk Cecilia yang baru pertama kali ini melakukan snorkeling sebab tidak jauh dari daratan. Variasi jenis ikan maupun karangnya cukup banyak, ada clown fish, angel fish, gorgeous fish, amazing fish :-), dsb. Ada karang otak, karang api, karang turi, karang anyar :-). Pokoke lumejen sekhalei prens, it's worth it. Akibatnya waktu yang disediakan selama 1,5 jam berlangsung sangat cepat. Pelayanan anak-anak pribumi di pulau ini juga cukup baik. Ada beberapa guru maupun pemandu yang bisa melayani mereka yang membutuhkan. Tidak sukar untuk menjual turisme di pulau bermodal ikan karang ini. Seperti kudongengkan di tayangan ketiga yang lalu, matahari, sejarah, pantai maupun 'diving snorkeling' di Nusantara tidak perlu kalah dari seluruh pulau di Kepulauan Karibia ini. Sayangnya ... Anda dapat mengisi sendiri titik-titik itu. Sekian dulu, sampai berjumpa di kisah berikutnya.