Kalau Anda selalu mengikuti dongengan jalan-jalannya Bang Jeha, tentu tahu bahwa kami sering bertemu dengan Dewi Fortuna. Kemarin sebetulnya hari sedih untukku karena tambah tua lagi setahun :-). Eh, saya dan nyonya mendapat hiburan yang istimewa begitu kami masuk ke dalam Istana Topkapi di Istanbul. Ada beberapa puluh warga drumband militer yang berpakaian eks jaman Kerajaan Ottoman alias antik, semuanya lengkap pakai kumis (palsu) yang baplang. Mereka masuk bersamaan dengan kami dan mulai berbaris. Drumbandnya lengkap tak kalah dengan kepunyaan Tarakanita atau Ursula di jaman dahulu kala :-). Hanya mereka mempunyai kelebihan, ada yang cuma pakai kelewang doang, ada yang menyandang bedil dan busur panah dari tempo doeloe. Mereka lalu mulai memainkan alat musiknya dan memperagakan kebolehannya dalam baris-berbaris. Pokoknya drumband Tarakanita mah putus dah :-). Sebab mereka lalu menyanyikan paduan suara khas Turki di jaman itu. Mirip-mirip dengan alunan suara azan yang dinyanyikan oleh 6 cowok, pokoknya lain dari yang lain. Kesedihanku hilang seketika, apalagi ketika ikut tour di dalam harem Istana Topkapi. :-)
"Claire, which island of the Greek Isles that you think is the most beautiful?," tanyaku ke si nyonya yang semeja dengan kami yang berasal dari Yunani tetapi besar di Amerika Serikat. "I think it is Santorini and Mykonos is number two," jawabnya. Memang saya sudah beberapa kali mendengar tentang pulau yang satu itu tetapi apa boleh buat, tiada rotan akar pun jadi karena Grand Princess hanya akan berlabuh di Mykonos hari ini. Yang penting ia merepresentasikan satu pulau dari seluruh kepulauan Yunani. Mykonos adalah bak Balinya Yunani, pulau pertama yang dibanjiri turis internasional yang dimulai di akhir tahun 60-an. Ia terkenal sebagai tempat orkay, kehidupan malamnya yang wah dan suasana pesta di pulau tersebut. Bagusnya untuk kami berdua yang entah sudah naik berapa kilo, pulau itu hanya bisa dijalan-jalani pakai kaki alias engga banyak kendaraan bermotornya.
Baru ketika kapal membuang sauhnya kami mengerti mengapanya. Oya, kemujuran kami hari ini terjadi ketika kapal tak bisa merapat ke dermaga lantaran sudah ada satu kapal cruise lainnya disitu dan Mykonos cuma punya satu dermaga yang airnya dalam. Akibatnya kapal stop di tengah laut dan untuk ke darat, kami memakai motorboat gede yang sebetulnya dari armada life-boat. Akibatnya lagi, kami didaratkan pas tepat di tengah-tengah "alun-alunnya" Mykonos sehingga jalan kaki kemana-mana menjadi dekat. Ternyata yang namanya jalanan di pulau kecil itu, sempit-sempit prens, persis seperti gang-gang di Jakarta yang tak bisa dilalui mobil. Sebagian lebaran sehingga mobil kecil bisa muat, misalnya yang sekelas Suzuki Carry. Baru kami mengerti juga mengapa warga pulau ini luar biasa ramah-tamahnya sebab isinya tak lain tak bukan restoran, cafetaria dan toko souvenir maupun toko lainnya yang menjual benda-benda buat turis. Yup, 100% ekonomi mereka tergantung dari turisme sehingga mana mereka engga menjadi sangat ramah seperti orang di Pulau Bali. Hal itu kami buktikan ketika bertanya kepada 10 orang dimana gang berikutnya untuk sampai ke gereja Katolik, Church of The Virgin of Rosary, lantaran si bojo sudah gerah engga ke gereja sudah berapa lama tahu :-). Bagusnya lagi, gereja itu terletak di sebelah "katedralnya" gereja Katolik Ortodoks Yunani di Mykonos. Kutulis pakai tanda kutip sebab yang namanya katedral rek, gedean dan bagusan gereja paroki di kampung ente. Gereja Katolik di Cipanas, Sindanglaya ataupun di Megamendung masih jauh lebih bagus :-). Ya gereja Katoliknya lebih kecil mungil lagi, masih lebih kecil dari gereja di kota Whitney, di ujung timur cagar alam Algonquin yang suka kami kunjungi.
Ketika motorboat dari kapal mau mendarat di pantai Mykonos, saya melihat satu tampang Melayu dan kulirik badge-nya, Iwan, Indonesia. Tentu kutegur meski ia sedang sibuk bertugas menambatkan dan merapatkan motorboat. Ternyata hanya ada 20-an Melayus yang bekerja di cruise kami ini dan semuanya kata si Iwan, juga dikonfirmasi oleh si Djamil yang kemudian kami temui di dalam motorboat saat pulang, kerjanya di deck alias jadi buruh kasar. Djamil merasa hepi bisa bekerja hanya dengan kursus sebulan katanya ketika ia diterima saat lulus interview agen kapal. Agennya bernama Knud & Larsen, katanya lagi, dan kantornya ada di Gedung Mulia, Jl. Gatot Subroto. Ente anak Betawi pasti lebih tahu, yang penting, tiada kesempatan Bang Jeha buat dapet anggur gratis di saat makan malam :-). Dasar hamba mental Melayu juga ye prens :-), maunya serba perei. Sampai kisah berikutnya, bai bai lam lekom.