Cartagena yang didirikan pada tahun 1533 oleh Don Pedro de Heredia orang Spanyol, kaya dengan sejarah maupun pelabuhan perampokan kekayaan Colombia. Hanya kalau Batavia kekayaan hasil bumi Hindia Belanda yang lewat kota kite, melalui Cartagena, emas dan batu jamrud (emerald) negeri tersebut diekspor. Karena itulah raja Spanyol, Felipe II membangun dinding perlindungan yang hesbat bagi kota tersebut, sedemikian sehingga bukan saja anti perompak, tapi juga tahan terhadap serbuan armada Inggris dengan 186 kapal dan 24000 tentara di tahun 1741. Bila Anda seperti saya suka mendengarkan pidato Bung Karno maupun membaca tulisannya, beliau kagum akan Simon Bolivar, yang pada tanggal 11 Nopember 1819 memproklamirkan kemerdekaan Colombia dari penjajahan bangsa Spanyol. Nah, bangsa yang sudah hampir 200 tahun merdeka pun masih banyak copet dan jambretnya :-), sedemikian sehingga cruise director malam ini mewanti-wanti kami para turis untuk meninggalkan perhiasan dan arloji mahal di kapal maupun bawa duit seperlunya saja.
Kota itu hanyalah kota pelabuhan yang relatif kecil, penduduk cuma 900-an ribu dibandingkan dengan Bogota, ibukota Colombia yang 7 juta lebih. Penduduk Colombia sendiri sekitar 43 juta dimana 95% Katolikers. Ekspornya yang utama selain kopi adalah narkoba dan ini dikenal dimana-mana. Kata Francis, anak penjaja narkotik di Vancouver banyak yang berasal dari Colombia. Tentu anak negeri itu bukan monopolis tukang jualan narkoba. Kata si Sofyan awak kapal di bagian kopi, kemarin waktu mendarat di Montego Bay, dua awak kapal Itali kena dikerjain. Ketika mereka sedang duduk ngelencer keluar, ke dalam kantongnya dijejelin narkotik dan tentu "tertangkap" oleh bea-cukai ketika mereka mau balik ke kapal. Saya pakai tanda kutip karena kita semua TST bahwa sang petugas bea cukai mestilah kongkalikong dengan si penjaja narkoba. Sofyan tak tahu bagaimana cerita kelanjutannya tetapi ia juga pernah mendengar ada penumpang yang dikerjakan demikian dan "didamaikan" oleh kumpeni MSC.
Republik Colombia dengan sejarah kemerdekaan 200-an tahun terdiri dari cem-macem suku bangsa. Campuran bule-Indian bernama mestizo 58%, keturunan Eropa 20%, mulatto yakni blasteran Afrika-Eropa 14% dan sisanya kecil-kecil persentasinya. Yang mirip dengan tanah air kita, meski bahasa nasionalnya Spanyol, ada 200-an bahasa daerah alias bahasa Indian. Sama seperti 5 bahasa yang dipakai di kapal ini, selain Spanyol, Perancis, Itali, Jerman dan Inggris juga dipakai di Colombia, konon. Cruise director kapal ini, si Franco Pili fasih berbicara dalam kelima bahasa itu, jelas dari apa yang disampaikannya setiap malam dan pemakaian istilah-istilah yang khas di dalam setiap bahasa. Mungkin itu sebabnya bahwa mayoritas penumpang kapal ini ya buleks dari ke 5 negara di atas. Kepala item sungguh bisa dihitung dengan jari. Anak Asianya saya perhatikan, paling banyak 20-an, 5 dari Kanada :-). Sebagian besar perempuan yang suaminya Caucasian. Tidak pernah saya mendengar pembicaraan di dalam bahasa Asia. Mungkin mereka semua, Asians yang suka ikut cruise orangnya semart, tahu bahwa makanan di kapal ini, pagi sore siang malam adalah masakan Italiano. Seperti tadi siang pulang tour, saya pesan chicken with rice Cantonese style, tulisan di menunya. Lah yang keluar masakan Chinese bukan, Italiano bukan, masih enakan nasi goreng bikinanku :-).
Negeri yang ratusan tahun dijajah Spanyol ini, kelihatan arsitekturnya tak beda jauh dengan di Indo, bangunan kolonialnya. Juga gaya hidup penduduknya, a.l. warung ada dimana-mana, cem-macem orang jualan pakai gerobak. Puanasnya lebih parah dari di Montego Bay sebab kami semakin mendekati katulistiwa. Colombia berbatasan dengan Equador yang terletak yah di equator, juga dengan Peru, Brazil dan Venezuela selain tentu dengan Panama yang terletak di Amerika Tengah. Konon lagi, Cartagena yang letaknya strategis dijadikan kota pelabuhan utama wong Spanyol ketika mereka mulai satu persatu mengkolonisasi daerah-daerah di Amerika. Tak heran mayoritas penduduknya Katolik, sama seperti Phillipine di Asia.
Ketika kami mulai melakukan 'walking tour' tadi, yang lebih tepat disebut 'stopping and shopping tour' lantaran sering banget stop dan masuk toko :-), barulah saya maklum kenapa si cruise director mengatakan Cartagena adalah kota yang aman. Lah puluhan satpam polisi khusus turisme (ada tulisan demikian di lengan baju mereka) yang patroli, kumplit dengan senjata pentungan dan pestol. Hanya sedikit yang kurang afdol, lebih banyak lagi penjual berbagai macam jualan, terus mengikuti kami sejak dari perhentian bis sampai kami balik lagi. Ada yang jualan kacamata, rokok, cerutu alias lisong kata anak Betawi, baju kaus, taplak meja bordiran, belum yang jualan minuman, buah-buahan, pokoknya apa juga yang bisa dijual dan dibeli, ada deh. Kata si Nico sang tour guide, angka pengangguran di Cartagena 30% alias masuk di akal kalau begitu.
Sama seperti bedanya melihat sampah di Ngarai Si Anok dengan di Montego Bay, melihat puluhan penjaja demikian, tentu saja sebagian besar dari mereka 'desperate' untuk dibeli, lah ngikutin terus, lain dengan melihat ibuk-ibuk, apalagi anak-anak di Kintamani berjualan kain songket dan nano-nano. Hampir tidak ada anak yang berjualan di Cartagena, semuanya orang dewasa yang mudah digelengkan kepala atau dijawabi 'no'. Selain itu jualan mereka tidak ada satupun yang menarik untuk kubeli, siapa yang mau ngisep lisong. Engkongku yang senang lisong sudah almarhum, baju kaos seabrek-abrek, topi sudah punya. Sami mawon ketika disuruh masuk ke dalam toko jamrud. Sahaya cuma memanfaatkan untuk numpang kencing :-). Tapi perempuan Amrik, jamrud segede kepala jarum pentul, US$ 60, ia beli azha. Engga pa pa lach yauw, negeri Colombia dan warga Cartagena memang membutuhkan bisnis turisme, yang kata si Nico salah satu sumber penghasilan mereka yang utama.