Sehari sebelum kami berangkat kemping berkanu ke cagar-cagar alam Ontario pada tanggal 1 Oktober lalu, seorang teman Cecilia meneleponnya. "Dua belas hari ngga nonton tivi?", katanya tak percaya. "Iya, saya hampir tak pernah nonton TV kog, jadi tak akan kehilangan," jawab isteriku. Demikian pula terjadi padaku di kantor. Sejam sebelum kantor bubar, seorang kolegaku menjenguk dan mengucapkan selamat berliburan. "Twelve days without the comfort of home?", katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala karena tahu tak mungkin ia dapat melakukannya.
Ya, itulah yang terngiang di kepala kami ketika kami mulai menikmati hal-hal yang tak akan mungkin dapat dinikmati kedua insan sejenis di atas :-). Dua belas hari kemping memang rekorku kemping di Kanada sehingga Silvana mantan Mbak Admin P-Net memberi hadiah satu kotak Cherry Coke kesenangan "pahlawannya" ketika kami bertemu lagi. Memang perjalanan kemping berkanu kami kali ini terdiri dari 3 babak. Yang pertama bersama Silvana dkk, yang kedua kami berdua saja, yang terakhir bersama Silvana dan sejumlah kawannya yang lain lagi di akhir pekan Thanksgiving di Kanada. Sebenarnya bukan hanya kedua teman kami di atas yang mempertanyakan "kenekadan" kami kemping di suhu yang terkadang di bawah 0C ini. Satu dua rekan kempingan kami juga bertanya, mengapa kami tidak melakukannya di musim panas dimana suhu masih hangat. Ada benarnya sebab di hari pertama, kami berdua hampir amblas alias kojor kata anak Betawi.
Kamis tanggal 1 Oktober itu adalah hari dengan angin yang kencang sekali. Sedemikian kencangnya sehingga dua kali Cecilia harus memperbaiki tali temali yang mengikat kanu kami ke atas atap mobil karena mengendor. Karena cukup jauhnya tujuan kali ini, yakni access point 22 atau Barron Canyon di cagar alam Algonquin maka kami memutuskan untuk menginap semalam di cagar alam lain, Bon Echo Park. Pemandangan warna-warni daun di musim rontok di cagar Bon Echo memang aduhai, terutama di danau bernama Semi Circle Lake (yang cerita maupun gambarnya masih dapat dibaca di hompejku). Nah, sesampai kami di 'transit campsite' ini, tanpa berpikir panjang, kanu kami turunkan ke air, tak peduli angin masih kencang bertiup. Kami ingin segera mengunjungi dan menikmati pemandangan di Semi Circle Lake dimana Silvana dan Cecilia pernah kuabadikan (untuk Anda yang mempunyai Web access, silahkan intip http://www.interlog.com/~hilwan/canoe.jpg). Yah, begitu kanu sudah sampai ke tengah-tengah Mazinaw Lake, salah satu danau terdalam di Ontario, dengan air yang kutaksir sekitar 5C suhunya, angin beliung mulai muncul. Kanu kami mulai diombang-ambingkan sebab tenaga 2 pendayung yang karena bukan kuda pasti tidak sampai 2 PK hanya mampu membuat kanu bergerak lambat sekali. Kami lalu memutuskan untuk kembali saja tetapi daratan ke arah campsite kami masih sekitar 1 km. Suatu ketika, Cecilia melakukan kesalahan dalam mengemudi sehingga kanu oleng berat, hampir terbalik dan Bang Jeha sempat berteriak 'brace'. Artinya berusaha agar kanu stabil kembali, baik lewat dayung atau dengan gerakan badan. Air masuk ke dalam kanu dan untunglah saya tidak salah memilih isteri yang badung :-) sebab ia tidak menangis ketakutan. Bagaimana mungkin mendayung dan sekaligus memeluki isteri yang sedang menangis. Kami lalu berusaha agar angin atau ombak datangnya tegak lurus dan musuh-musuhku mulai kuingat satu persatu, siapa-siapa yang akan kegirangan bila aku amblas :-). Hal ini sungguh tak boleh terjadi sehingga membuat tenaga mendayung Bang Jeha menjadi bertambah besar. Dengan air sedingin saat itu, angin atau ombak yang besar, di dalam waktu beberapa menit bila kami tercebur, kami sudah boleh mengucapkan "Ya Tuhanku, ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawaku sebab hypothermia akan segera melanda ;-). Rupanya Beliau masih berkenan Anda semua membaca tayangan-tayanganku dan SIM alias Surat Ijin Menulis dari-Nya Ia perpanjang. Akhirnya kami semakin dekat ke daratan dan betapa leganya setelah kanu hanya tinggal seratus dua ratus meter saja dari tepian.
Beberapa ribu tahun lalu, manusia masih hidup sedemikian sehingga waktunya sepanjang hari habis terpakai untuk menyiapkan makanan. Dari mulai mencari atau berburu makanan, memasak, menyimpan atau memakannya. Tidak ada yang namanya rekreasi bagi manusia purba, the name of the game is survival. Menyiapkan makanan di rumah mudah sekali. Menanak nasi cukup dengan memasukkan beras dan air ke dalam 'rice cooker' dan tidak sampai setengah jam, nasi panas yang mengebul-ngebul sudah tersedia. Hanya, kalau Anda biasa kemping, Anda tahu alias sadar, bahwa usaha yang lebih besar yang dilakukan untuk menghasilkan sesuatu, membuat hasilnya serasa lebih nikmat. Indomie goreng dari tanah Melayu sudah merupakan santapan nikmat apalagi kalau kita masukkan sayur segar dan bakso ke dalamnya :-). Hanya menyiapkannya, apalagi untuk 6 orang, di pinggir sungai di jurang yang curam dengan angin cukup kencang dan air yang harus dimasak sepanci, itulah suatu seni :-). Yah, Cecilia dan saya kebagian tugas menyiapkan makan siang di hari ketiga kami kemping dan sungguh kami merasa menjadi manusia purba lagi karena seluruh waktu istirahat kami habis terpakai membuat Indomie goreng :-).
Karena usaha yang lebih besar, terutama bila bersusah-payah mendayung di tengah ombak ke tempat tujuan, segala pemandangan dan keindahan alam yang boleh kami nikmati di perjalanan kali ini menjadi lebih hesbats. Karena harus pakai hampir kecemplung dan amblas :-) di Mazinaw Lake, jauhnya jarak yang harus ditempuh mobil dan jalanan tidak beraspal di beberapa bagian, maka segala sesuatu menjadi lebih-lebih lagi indahnya. Bangun pagi ketika terang matahari mulai muncul di ufuk timur tetapi rembulan yang bulat sempurna sedang bersiap-siap kembali ke peraduannya di ujung barat. Seluruh permukaan air danau tampak berasap dan asapnya membubung ke atas sedikit demi sedikit, memberikan bermacam-macam bentuk yang tak mungkin dilukis meskipun oleh pelukis seperti Van Gogh atau Rembrandt sekalipun :-). Bunyi beberapa burung tahan dingin bernyanyi di pagi hari mengucapkan selamat pagi kepada hari yang indah, di tengah-tengah permainya warna-warni daun musim rontok dengan ratusan nuansa warna pelangi. Aaah, semuanya itu tak mungkin dapat dinikmati memang oleh kedua teman kami yang keheranan, yang hidupnya tak dapat berjalan mulus tanpa TV dan kenyamanan rumah :-). Kasihan ya. Selama sekitar sebelas malam, kami sempat menikmati panorama bintang-bintang di langit karena cerahnya udara dan tiadanya lampu-lampu kota. Berada di planetarium alami, di tengah sunyinya alam, tak mungkin tidak kita merasa sungguh kecil dan senantiasa kagum kepada-Nya.
Suhu yang dingin memang membawa hikmah seperti tiadanya lalat dan nyamuk dan serangga pengganggu lainnya. Namun, bila sudah di bawah 0C, kasihan memang kepada teman-temin kami yang harus tidur sendirian di dalam tenda. Bila Anda belum tahu, tubuh manusia memberikan pemanasan alami sebesar 100W dan bila cukup minyaknya seperti isteriku, 110W :-). Beberapa hari lagi saya ingin mendaftarkan ke kantor patent penemuanku di perkempingan kali ini. Kog? Memangnya membawa laptop apa ke dalam hutan? Bukan urusan programming tetapi saking dinginnya suhu, tidak mungkin lagi rasanya kami bertukar pakaian untuk tidur di dalam tenda. Pasti gemetar luar binasa begitu baju mulai dibuka. Jadi kami berganti pakaian di depan api unggun yang hangat menyala. Karena panasnya, berganti pakaian dalam alias bugil pun dapat kulakukan. Itulah yang kami kerjakan di malam-malam yang dingin sebelum kami masuk ke dalam tenda kami, pada saat Silvana dkk sudah tidak bergabung lagi alias di babak kedua kempingan kami. Sebenarnya lagi, bagi saya, tidak peduli juga untuk ditonton siapapun di dalam keadaan 'au naturel' dan ini kulakukan ketika kami beruntung mendapat suhu yang hangat di babak ketiga kemping berkanu kami. Saya sempat loncat ke air danau yang suhunya 5C :-). Tubuhku sudah hampir kering ketika Cecilia bergegas berlari membawakan handuk karena tak tega melihat "pemanas 100W-nya" dilihat orang lain :-). Ya, teknik anak Betawi lulusan "kolam renang" rawa-rawa Kemayoran memang ampuh untuk mengeringkan tubuh.
Alkisah, sekitar 10 ribu tahun lalu, embahnya danau besar atau kami sebut The Great Lakes bermuara ke suatu sungai yang sekarang menjadi Petawawa River dan Barron River. Karena pergeseran geologis, terjadi suatu jurang sedalam sekitar 100 meter di Barron River yang dinamakan Barron Canyon (apa lagi :-)). Itulah tujuan utama perjalanan kemping berkanu kami kali ini yang dimulai 1 Oktober dan berakhir 12 Oktober. Tentu bagi anak-anak Amrik yang tinggal di Arizona atau dekat dengan Grand Canyon jurang sedalam 100 meter adalah "kwaci" alias tak ada artinya :-). Tetapi bagi anak Kanada, terutama para pencinta alam, Barron Canyon cukup indah dan menarik sekhalei. Ketika saya dan Cecilia tiba pertama-tama di daerah itu, kami melakukan 'hiking' di Barron Canyon Trail, yakni suatu trail sepanjang 1.5 km di atas jurang. Barron River di bawah kami tempat kami berkanu keesokan harinya tampak kecil dan tak berarti. Suatu danau raksasa yang merupakan eyangnya danau-danau besar bernama Algonquin Lake bermuara di sungai yang sekarang kecil itu dengan volume air sekitar 1000 kali air Niagara Falls. Setelah beberapa ratus tahun, glacier yang menjadi sumber airnya menciut sehingga meninggalkan sisa Barron River yang kemudian mengalir ke Ottawa River sebelum menuju ke Samudera Atlantik lewat Kali Santo Laurensius :-) (St. Lawrence River).
Belum kapok padahal hampir amblas kemarinnya, di hari kedua kemping itu, sekali lagi kami mencoba berkanu di Mazinaw Lake menuju Semi Circle. Angin masih belum reda juga dan kami memutuskan berangkat saja ke cagar Algonquin dengan tujuan Barron Canyon. Silvana mempunyai suatu tempat favorit yang dipesankannya kepada kami untuk memasang tenda disitu, di suatu tempat bernama The Cascades. Masih siang ketika kami tiba dan kami agak keheranan mengapa tempat itu indah baginya sebab pemandangan biasa-biasa saja. Barulah setelah kami dapat meresapi ketenangan alam, kami mulai mendengarkan bunyi gemerciknya air di "air terjun-air terjun" kecil di sungai Barron itu. Ia tidak tahu betapa saya ikut menikmati juga tempat kesayangannya ini, ketika sebelum tidur saya sempat melamunkan masa-masa kempinganku di Paragajen atau Curug Luhur dekat Cisarua. Bila Anda masih ingat, tempat itu pernah kusinggung di tayangan Pengalaman Imigran Toronto-ku, tempat yang sekarang sudah menjadi Taman Safari :-(. Mendengar bunyi gemerciknya air di The Cascades, membawaku ke tanah air tercinta dengan segala suka duka kempingan kami di Paragajen. Menjelang malam, Silvana tiba bersama 3 temannya untuk bergabung dan melakukan "pertunjukan istimewa" keesokan harinya.
Seorang teman Silvana bernama J. dari Ottawa (mana lagi :-)) menjadi bos kelompok biduan/biduanita amatiran yang tanpa latihan, langsung melakukan pagelaran di jurang di atas sungai sambil berkanu. Memang hesbats sekhalei akustiknya sebab di sebagian tempat, suara koor atau paduan suara 8 suara (dari yang kuncinya benar, bass, alto, tenor, sopran) sampai yang pakai "kunci Inggris" dan fales :-), bergema. Itulah yang kami lakukan di siang hari ketiga setelah kelompok kecil kami bergabung dengan kelompok lainnya lagi dari Ottawa. Hanya satu instrumen musik yang dipakai mengiringi kami bernyanyi yakni drum atau gendang. Saya sangat terkesan dengan J. karena ternyata gendangnya sempat retak tetapi secara sangat manis ia menceritakannya. Ia tidak menyalahkan Silvana yang telah menitipkannya kepadaku. Kutaruh cukup hati-hati di dalam 'canoe pack', suatu tas ransel sebesar alaihim. Demikian pula, seingatku, tas tersebut tidak pernah jatuh terbanting. Kata J. ketika melihat gendangnya retak, "It's made of ceramic that's why it's broken." Jadi ia menyalahkan si benda, bukan si manusia, apalagi Bang Jeha :-).
Memang teman-teman Silvana anak-anak bae semue, kata anak Betawi. J. dan P. (yang ikut kemping berkanu ke Killarney) mengundang saya dan Cecilia di malam harinya untuk kemping bersama mereka. Soalnya, 'canoe site' yang sudah kami pesan masih harus ditempuh cukup jauh dan tak mungkin dapat kami capai sebelum gelap. Besar risikonya berkanu di saat hari sudah gelap sehingga tawaran J. kami terima.
Saya tidak mengada-ada kalau saya berkata bahwa saya tidak akan sinting atau menjadi anak Betawi yang bego bila tidak menonton TV selama dua ratus hari :-). Terakhir saya sengaja menonton TV adalah ketika Lady Di meninggal karena kecelakaan lalulintas di kota Paris Agustus tahun lalu. Jadi dua belas hari sih ecel alias tidak ada apa-apanya. Hanya, saya akan menjadi blo'on kalau selama 12 hari "menganggur", tidak ada buku yang dapat saya baca. Nah, di kemping babak II setelah kami berdua berpisah dengan Silvana dkk, kami tinggal di tepi suatu danau yang cukup indah bernama Sec Lake di ujung paling timur di perbatasan cagar alam Algonquin, tepatnya di access point nomor 20. Selama 3 hari kami menikmati masa-masa bulan madu tapi pake bengkelai :-) dari waktu ke waktu. "She was on my nerve," kata anak Kanada, kecuali kalau doi menang main Scrabble. Ya, kami isi hari-hari kami dengan berkanu di pagi hari, bermain Scrabble di sore hari dan merenung di muka api unggun sambil saling membagikan dongengan baik yang kami alami di masa lalu, maupun aspirasi kami di masa mendatang. Kecuali suhu yang mendekati 0 C setiap malamnya, udara selalu cerah dan matahari bersinar manja alias kami tak perlu memakai 'suntan lotion' lagi.
Anda anak lama di P-Net ini masih ingat akan rabbi bernasib malang bernama Harold Kushner? Ya, amblas ia disikat Bung Analise karena komentar seorang pembaca bukunya berjudul 'When Bad Things Happen to Good People' yang secara gegabah menyimpulkan apa yang dibacanya. Buku si Kushner berjudul 'When All You've Ever Wanted Isn't Enough' menjadi temanku di kempingan babak II dan juga sumber diskusi dengan Cecilia yang sudah lebih dahulu membacanya. Lumejen sekali filsafat atau pandangan rabbi ini sehingga kalau saya tidak kepalang sudah menjadi Katolik, mungkin saya akan bergabung di sinagoganya :-). Becanda pren. Asyiknya jadi Katolik, kalau sebel dengan Romo paroki kita, tinggal pindah paroki dan tidak perlu keluar dari gereja, ya kan?
Dari judul bukunya, tanpa membaca Anda mungkin sudah dapat menerka, apa kira-kira thesis si Kushner yang ditulisnya di buku itu. Katanya, 'The happiest people you know are probably not the richest or most famous, but those who own canoes and could go away on camping trip for 12 days" :-). Seriusan, tulisnya, 'Happiness is a butterfly - the more you chase it, the more it flies away from you and hides. But stop chasing it, put away your net and busy yourself with other, more productive things than the pursuit of personal happiness, and it will sneak up on you from behind and perch on your shoulder'. Yah, kedua bahu kami berdua penuh dengan "kupu-kupu" di hari-hari kemping berkanu itu :-).
Saya memang tidak akan melakukan resensi buku si Kushner di tayangan ini tetapi buku yang kubawa dan kubaca itu, sungguh sedap dan cocok untuk mengisi suasana kemping kami kali ini. Sama seperti makan Soto Betawi pake emping tike :-) (maaf untuk yang tak tahu keasyikannya emping itu). Tetapi karena banyak sekali sahabatku kutu-bukuis di P-Net ini, baik saya comot satu lagi filsafatnya si Kushner dari bab terakhir bukunya. Sebenarnya ia dipengaruhi seorang biolog bernama Lewis Thomas yang mengatakan bahwa hukum alam yang terbesar bukannya 'survival of the fittest' tetapi 'the principle of cooperation'. Plants and animals survive not by defeating their neighbors in the competition for food and light but by learning to live with their neighbors in such a way that everyone prospers. God is the force that moves us to rise above selfishness and help our neighbors. God pulls us upward of ourselves, as the sun makes plants and trees grow taller. God summon us to be more than we started out to be.
Kemping tiga babak kami ini berakhir atau lebih tepat, babak ketiga dimulai ketika kami bertemu lagi di suatu tempat sesuai perjanjian dengan Silvana dan keempat temannya, ya dari Ottawa. Satu yang cewek, S. sudah kami kenal dari 2 camping trip sebelumnya. Bertujuh, dalam tiga mobil dengan kanu di atasnya, kami beriringan menuju pedalamanan ke suatu danau bernama Crotch Lake, tidak jauh dari cagar alam Bon Echo. Hesbatsnya jalan raya di propinsi ini, meskipun sampai ke pedalaman, masih terpelihara mulus sehingga kami tetap dapat berkecepatan tinggi. Tanpa mengalami kesulitan, kami dapat sampai ke tepi danau dan kali ini kempingannya gratisan karena Crotch Lake berada di "selangkangan" pemerintah :-) atau disebut crown land. Kami hanya perlu membayar biaya parkir ke petani yang memiliki tanah yang kami jadikan tempat parkir. Inipun murah biayanya, 5$ sepanjang kempingan dan tidak pakai dicolong.
Meskipun danau ini cukup besar, sekitar 3-4 jam mendayung dari ujung ke ujung tetapi kami memilih tinggal di suatu pulau cukup besar yang tidak jauh letaknya dari tempat kami mulai. Pulau bernama Big Island ini memang cukup indah dan besar, sampai-sampai kami berteman dengan sekeluarga tikus yang juga ikut menghuni dan mampir dari waktu ke waktu terutama bila kami sedang menyiapkan makanan. Tiada yang istimewa di hari pertama yang kami lewati kecuali suhu yang entah mengapa, kog jadi panas mendekati 20-an C sehingga kami dapat berenang lagi. "Indian summer," kata orang sini. "Mengapa dinamakan demikian?," tanya saya suatu ketika pada saat baru menjadi imigran. "Karena orang Indian tukang ngibul dan Indian summer adalah musim panas bohong-bohongan," kata temanku.
Hari Minggu yang seharusnya hari beristirahat dan ke Misa Kudus, kami "kudusi" dengan menikmati segala ciptaan-Nya terutama Danau Selangkangan itu dengan melakukan apa yang namanya 'day trip' ke suatu dam atau bendungan di ujung utara danau. Makan siang a la Kanada merupakan hidangan yang menjadi tanggung jawab R., teman Silvana. Suatu jenis makanan yang baru pernah kulihat, disajikan. Baba Ganousjh namanya. "Apa isinya?," kutanya Silvana. "Egg plant, terong." "Wow, this is not good for men R.," kataku. Ia tidak mengerti sehingga Bang Jeha mantan pengarang st... harus menjelaskannya :-). Benar saja, karena rakus ingin mencobai seperti apa si Baba satu ini, perutku amblas hari itu, bukannya onderdil yang di bawah perut :-). Meskipun "singgasana" letaknya jauh di dalam hutan, saking sudah hapalnya karena sering sekali harus "bertahta", ketika Cecilia ikut mulas, dengan mudah saya dapat menjadi pandunya.
Setelah makan siang dan di perjalanan kembali, demi menghormati "sabbath" saya dan Cecilia pulang beristirahat tetapi Silvana dkk terus melancong. Kwalat juga mereka sebab sempat nyasar berjam-jam di sekitar danau itu. Saking kasihan kepada R., malamnya aku bantu memijit doi, kebetulan sebab suaminya tidak ikut :-). Ya, tukang-tukang pijit amatir beraksi setelah kenyang menyantap hidangan istimewa sajian Silvana. Seratus kali kempingan sudah kulakukan tetapi belum pernah saya menyantap hidangan ayam kalkun, menu Thanksgiving dalam kemping. Setelah mendengarkan komentar 8 orang lainnya (3 teman lain datang bergabung menjelang sore) bahwa hidangan kalkun a la Wasitova ini memang istimewa, meskipun perut tidak beres, kusantap juga ayam kalkun panggang beserta 'cranberry sauce'-nya dan kentang tambusan di api unggun. Bayarannya cukup sekali lagi ke "sang kotak wasiat", 'privy box' istilah kami, di dalam hutan :-).
Karena menyadari bahwa lalulintas di akhir pekan panjang menuju ke Toronto akan sama gaswatsnya seperti iringan mobil dari Puncak ke Jakarta di hari Minggu sore, maka saya dan Cecilia beserta 2 teman Ottawa lain yang juga harus pulang awal, berangkat lebih dahulu meninggalkan keenam canoeist lainnya. Tidak terasa 12 hari sudah berlalu dan meskipun di beberapa bagian jalanan menjadi macet, tidak ada artinya dibandingkan puluhan jam hari-hari berkupu-kupu yang boleh kami nikmati di dalam kemping berkanu kali ini. Thank you Lord for another Thanksgiving week-end trip that You have granted us. Twelve days without TV were really blessings we received from You. Sampai berjumpa di kisah kempingan kami di musim semi tahun depan, insya-Tuhan di akhir-pekan 9 Mei 1999. Salam dari Toronto.