Etappe keempat antara Laurie Campground dengan Ingonish Campground di Cape Breton Highlands National Parks of Canada, mulai membuat trip ribuan kilometer ini 'worth it', paling sedikit untuk keluarga Benso sebab saya dan Cecile pernah kesini. Perjalanannya relatif mudah, dari Hw 102 ke arah utara, begitu mentok di Hw 104 langsung ambil kanan ke arah timur dan terus wae sampe di ujung jazirah Nova Scotia. Satu-satunya kota atau ndeso yang menarik sebelum sampai di Canso Causeway atau jembatan penyeberangan ke pulau Cape Breton adalah Antigonish yang dilalui Hw 104, sekitar 100-an km sebelum Canso. Di kota itu terletak St. Francis Xavier University yang sering terpilih sebagai universitas teroke punya untuk 'undergraduate studies' di Kanada ini. Tidak heran sebenarnya sih, apa lagi yang mau dilakukan manusia di desa seperti itu, ribuan km dari mana-mana, kalau tidak belajar dan berdoa (agar kalu nyontek kaga ketahuan :-)).
Menjelang jam makan siang, ketika perut para warga sudah mulai berbunyi, kami mampir di Whycocomagh, suatu campground lainnya di Cape Breton Island yang terletak agak di tengah-tengah pulau. Adalah peraturan di Ontario, kalau kita kemping maka di hari kita pulang, kita bisa masuk ke cagar atau campground mana saja, tanpa perlu membayar 'day use fee'. Ketika kami masuk ke dalam campground dan terlihat lapangan luas dengan fasilitas WC di pinggirnya maupun gazebo alias sawungan untuk berteduh, kesanalah mobil kami parkir. Cari perkara namanya untuk ke kantor cagar dan bertanya apakah aturan di Nova Scotia sama dengan di Ontario. Selama kami tidak diusir artinya boleh :-). Asyik juga piknik makan roti dengan telur ceplok 'fresh' ditambah sambel-lingkung asal Palembang sebab selama ini kami selalu makan 'junk food' di restoran, kecuali ketika makan lobster di Chow Restaurant.
Tidak lama setelah kami cabut seusai makan siang, melihat tanda jualan lobster segar, diiming-imingi makan malam lobster buatan dhewek, kami berhenti. Karena penjualnya cowok, maka kami antepin kedua bini-bini yang syoping. Soalnya pengalaman kemarinnya ketika beli kayu dimana penjualnya cewek, saya dan Benso mendapat serpis oke banget. Aturan atau ukuran jumlah kayunya adalah di suatu jeglokan dari besi berbentuk huruf U. Saya sudah pengalaman beli kayu pake ukuran (satu cord) begitu dan jumlahnya sedikit. Nyonyaku udah jeritin dari dalam mobil, "Pilih yang kecil-kecil supaya muat banyak." Ya, kalau terlalu besar alias ada ruangan kosong tak terisi antara satu batang kayu dengan yang lainnya, kita rugi. Bersama Benny saya mencari kayu yang pas ukurannya satu sama lain dan menaruhnya di 'U-shape pedestal' tersebut. Ketika sudah mulai penuh, eh si noni terus yang ngambilin kayu dan dengan segala senang hati ya saya atur tumpukin sedemikian sehingga ada sekitar 20 cm munjungnya sebelum ia berhenti. Begitulah pelayanan cewek kalau ia senang ada cowok ramah ganteng kaya si Benny yang membeli :-). Makanya ketika saya melihat yang jualan lobster dua orang cowok, kami tugaskan nyonya-nyonya kami yang membelinya. Tahu-tahu, baru beberapa menit mereka masuk ke dalam suatu gudang tempat penjualan lobster, keempat puteri-puteri keluar cengar-cengir kaga bawa lobster. Why? Kemahalan rek, satu lobster mentah ceking, katanya jatuhnya bangsa $ 12-an, sama azha dengan harga di Scarborough atau Mississauga. Tak us-us ye. Mungkin dilihatnya pelat nomor mobil Ontario, turis borjuis, naiklah harga sang lobster mentah. Rupanya cowok penjual tahu yang beli emak-emak, bukan perjaka tingting kaya waktu kami beli kayu :-). Alhasil prens sadayana, menu makan malam kami kembali menuju ke masakan tradisionil khas Indonesiyah, nasi kuning dengan cem-macem lauknya.
Sebelum menuju Ingonish, kami mampir exit ke suatu kota bernama Baddeck, yang pernah sahaya dan nyonya kunjungi juga. Kota tersebut menjadi terkenal se-Kanada, kalau Anda belum tahu, karena disitulah Alexander Graham Bell sang orbek beristirahat atau ke cottage-nya. Ya namanya orjen, orang jenius selaen beken, tentu saja banyak eksperimennya yang dilakukannya di rokumnya di Baddeck, antara lain main layangan dan motorboat bernama hydrofoil. Nah, yang menarik ketika menjelang masuk pintu museum ekshibisi Oom Bell adalah melihat sejumlah ponggawa Parks Canada sedang mogok. Museum tetap dibuka kata mereka tetapi mbok tolong tanda-tangani petisi yang mereka sediakan. Petisi akan dikirim ke PM Kanada si Paul Martin, Stephane Dion menteri urusan perkempingan alias yang membawahi Parks Canada, agar pemerintah maju lagi ke meja perundingan. Sekarang ini keadaan sedang mandeg alias yang mogok sudah diantepin gih mogok, gubernemen tidak sanggup menaikkan gaji mereka sesuai dengan tuntutan para cangkulers karena duit abis dipake jalan-jalan para bos-bos kesono kesini termasuk sebagian ya ditilep di-KKN-in. Dengan segala senang hati, para emak mengisi petisi, apalagi ketika mendengar harga karcis diturunkan 50%. Kalau begini sih boleh sering-sering mogok. Seriusan, mogoknya para punggawa Parks Canada ini memang membawa hikmah bagi kami kempingers karena beberapa cagar alam tetap dibuka dan tidak dipungut bayaran. Bagaimana lalu fee-nya di Gros Morne Park, tunggulah kisah sambungan serial ini. Sampai berjumpa, lam lekom bai bai.